***
Tak hanya Soo, para pengawal yang menemani wanita itu sama brengseknya. Aku bahkan harus dipaksa keluar dari dalam mobil dengan tangan terikat layaknya penjahat.
“Ah, menyebalkan sekali, bukan? Harus tertangkap dua kali oleh wanita sepertiku,” hina Soo, ia tersenyum seraya memasukan kembali G2 Elite yang telah ia tunjukan di depan publik.
Entah kenapa para petugas keamanan di rumah sakit ini tidak mengamankan Soo, wanita di larut malam dengan senjata yang teracung kepadaku, itu bukanlah sesuatu yang bisa disebut main-main, nyawaku taruhannya jika aku melawan.
“Tapi aku akan bersikap lembut kali ini kepadamu, karena jas hitam ini sudah tak lagi membuatku kedinginan.” Ia mencium jas hitam yang menutupi tubuhnya dan meremasnya dengan penuh perhatian.
“Lalu apa lagi yang akan kamu lakukan padaku? Bukankah sudah kubilang, aku tidak akan menyerahkan Cincin Hitam kepadamu,” tegasku.
“Sebaiknya
Gisele meninggal dengan penghinaan, Revan menyerahkan Cincin Hitam kepada Soo, dan perteman Reno dengan Revan yang tak terduga. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa jadi seperti ini? Apa yang akan Revan lakukan selanjutnya? Wah menarik, bukan? Makanya jangan sampai ketinggalan, simak terus kisahnya, yah:)
*** “Apa dia benar-benar pergi dengan keadaan seperti itu?” tanya Reno. Sebelum melancarkan serangan balasan ke kediaman Soo, kuajak dia untuk masuk ke sebuah apartemen kecil di dekat pasar rakyat Semarang. Pada awalnya, aku memarahi Reno karena pria itu meninggalkan posisinya seenak jidat, tapi ketika kudengar penjelasan darinya, aku tidak bisa memarahinya lagi. Singkatnya, ia memiliki informasi berharga tentang keberadaan Stefano di Semarang dan kota sekitarnya. Ia mendapatkan informasi tersebut dari informan yang tak ingin namanya diketahui, sebut saja dia Mr. X. “Aku tidak ingin mengulang apa yang sudah kukatakan, mengingatnya saja sudah membuat hatiku sakit.” “Aku mengerti,” balas Reno. Ia melempar tas besar yang ada di tangannya ke atas kasur dan menarik rasleting tas secara perlahan. Kuperhatikan jalanan di luar, tampak lengang dan sunyi, hanya ada beberapa orang yang lalu lalang di jalanan tersebut. “Apa ini cuk
***Dua jam berlalu, pembantaian yang kami lakukan berakhir sudah. Kulihat mayat dari anak buah Soo banyak bergelimpangan di atas lantai dengan luka tembak yang besar, kebanyakan dari mereka tertembak peluru kaliber besar yang berasal dari senapan Reno.“Mereka semua sudah mati, aku harap kamu menyesali apa yang sudah kamu perintahkan.”Kutarik tangan Soo dan mengajak wanita itu keluar kamar, ia tampak terkejut, takut, dan gemetar melihat banyak rekan-rekannya yang tewas.Bahkan ia tidak bisa menutupi ketakutannya tatkala melihat beberapa potongan tubuh berserakan di lantai rumahnya, ada kepala yang terlepas, mata yang tercopot hingga organ perut yang tercerai berai.“Aku tidak menutup kemungkinan ada yang selamat dari tragedi hari ini,” ucapku, dengan tenang aku berbicara padanya seolah aku tidak memiliki kesalahan apa pun.Kubuka tas milikku dan mengeluarkan bom yang sudah Reno persiapkan, terdapat tiga buah bom den
***Selang dua hari kemudian, Soo mengabari sang penelepon misterius dan mengatakan kalau ia sudah menangkapku. Sungguh tak terduga ketika aku mendapati antusiasme dari penelepon misterius ketika mendengar informasi dari Soo.‘Cepat pertemukan aku dengannya’ begitulah yang dikatakan sang penelepon misterius, aku merasa tersanjung mendengarnya, layaknya seorang fans yang begitu menantikan kabar dari artis idola mereka.“Mereka setuju dan akan datang di lokasi,” ucap Soo.Rencanaku berjalan lancar sejauh ini, mereka belum menyadari kalau pertemuan ini memang sudah direncanakan.H-1 sebelum pertemuan, pada malam hari kubuat rencana yang tersusun agar esok bisa berjalan dengan lancar. Reno menyimak perkataanku dan mengangguk tanda mengerti di setiap perkataanku.“Apa kamu tidak keberatan? Melepas borgolnya sama saja dengan membiarkannya kabur?” tanya Reno, mempertanyakan hal yang kuusulkan.Akan sangat
***Minggu pertama dipersembunyianku, aku mulai menetap di sebuah desa di salah satu kota kecil di Jawa Barat. Desa ini cukup unik, karena berada di atas perbukitan dan hijau oleh ladang perkebunan.Para penduduk desa biasa memanggilku Pak Lutfi, banyak nama samaran yang kugunakan dan nama kali ini sepertinya cocok bagiku. Begitu juga dengan Reno, ia memilih nama Asep yang mana sangat identik dengan warga Jawa Barat.Sore itu, aku barusan pulang dari ladang perkebunan yang kubeli dari sudagar kaya, perkebunan stroberi dan wortel. Perkebunan ini akan kugunakan sebagai perisai agar warga desa tak mencurigaiku, bahkan kami harus merubah sikap agar bisa bergaul dengan warga lainnya.“Tampaknya perlu menunggu sampai beberapa hari lagi,” ucap salah satu warga yang bekerja kepadaku, ia bertugas mengumpulkan buah-buahan yang siap panen, tapi jika musim panen belum datang, dialah yang bertugas untuk mengawasi ladang.Namanya Suto, pria berusia 4
***“Maaf telah mengganggumu semalam.”Kukunjungi rumah mereka kembali seraya membawa makanan ringan yang kubeli di swalayan desa. Risa tampak mencoba menjauhiku ketika tangan-tangan ini hendak meraih tangan putih wanita tersebut, apa ia masih kesal karena ucapanku semalam?“Hmm….” Ia melenggang pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, kulihat Soo tampak sibuk menyapu lantai dan membereskan bagian-bagian yang kotor.“Apa ada masalah di antara kalian berdua?” tanya Soo ketika tengah menyapu lantai, ia pasti menyadari perubahan sikap dari Risa yang mendadak ketika melihat kehadiranku di rumah pengasingan tersebut.Kupandang lirih Soo sembari tersenyum kecil, “Tidak.”Soo hanya berdeham pelan menanggapi apa yang kukatakan. Pagi itu, entah kenapa udara cukup dingin berhembus menerpaku, dan begitu juga dengan suasana di rumah pengasingan tersebut, begitu ding
***Kubuka kedua mata ini dan mendapati aku berada di atas kasur dengan keadaan kepala diperban, tampaknya ada yang datang menyelamatkanku ketika malam itu tubuhku sama sekali lemas tak bisa digerakkan.Aku telentang di atas kasur dengan diterangi lampu kamar dan sinar matahari yang menyeruak masuk pagi hari itu, terlihat juga di antara barang-barang di atas meja, terdapat piring, gelas, dan sebungkus rokok yang tergeletak tanpa pemilik.Rasa sakit akibat luka yang ditimbulkan benda tumpul tersebut masih terasa nyeri, sesekali kulihat darah yang mulai merembes keluar membasah perban putih yang melilit kepalaku.Pintu terbuka, atensiku terpancing ke arah seorang wanita tua yang tengah menyiapkan seember air hangat dengan kedua tangannya. Ia datang bersama dengan Suto yang membawa pakaian ganti untukku.“Apa yang sedang kamu lakukan di rumahku?” tanyaku, suaraku cukup pelan karena fisikku yang lumayan lemah pagi itu.“Oh, ter
*** “Tahan, Tiara!” Suara dari arah belakang Tiara menghentikan wanita itu untuk meletuskan tembakan ke arah kepalaku. Terdengar suara langkah pria itu berjalan menghampiri kami berdua, sebuah cerutu besar menempel di mulutnya, berpakaian jas hitam dan kaca mata hitam layaknya pria di dalam SUV. “Kita membutuhkannya hidup-hidup, jangan kamu bunuh dia karena perasaanmu,” ungkap pria di samping Tiara, wanita itu tiba-tiba mengangguk dengan pasrah layaknya anak yang sedang diceramahi oleh orang tuanya. Darah yang keluar semakin deras dari bahuku, tampaknya proyektil peluru kembali bersarang di tubuhku akibat tembakan tersebut. Kepalaku begitu pusing, tangan dan kakiku sudah terlalu lemas untuk digerakan. “Bawa dia sebelum dia kehabisan darah!” titah pria paruh baya tersebut seraya membalikan tubuhnya cuek meninggalkanku bersama anggota lain yang bertugas melakukan perawatan pertama pada lukaku. Kulirik dengan mata lemah, Tiara tanpa ekspr
“Lepaskan dia, Risa,” titah Tiara.Risa tersenyum sembari menghela napas panjang, ia melepas suntikan tersebut begitu juga dengan cengkeraman tanganku. Ada hal yang tidak kumengerti dari Tiara, kenapa dia melindungiku dan memerintahkan Risa untuk berhenti?Tiara memerintahkan Risa untuk pergi dari ruang tersebut, sepertinya hanya ucapan Tiara yang akan didengar olehnya, mengingat kalau kuingat kembali ia melakukan hal sejauh ini hanya demi kebahagiaan Tiara.Dengan kata lain, membebaskan Tiara dari belenggu penderitaan dan kesedihan yang sedang dialaminya. Semua pangkal permasalahan yang terjadi berpusat padaku, karena hal itulah Risa mengambil langkah untuk melakukan percobaan pembunuhan.Tiara masih berdiri di lawang pintu yang terbuka, menatap ke bawah seraya berkacak pinggang. Kuyakin ia pasti kedinginan di malam hari seperti ini, mengingat aku yang masih mengenakan selimut tebal saja masih terasa dingin.“Terima kasih.”