Dia meraba-raba ranjang kasur yang kosong belakangan ini Alessa tidur seranjang dengan Jovian. Keberadaan Pria itu disisinya sudah jadi kebiasaan untuk Alessa. Pagi-pagi Alessa malas beranjak dari kasurnya. Padahal Alessa harus menyiapkan sarapan untuk Jovian yang sudah jadi kebiasaannya selama beberapa minggu ini. Alessa pun beranjak dari ranjang kasurnya kemudian berjalan menuju dapur. Alessa memasak sup karena ia tahu Jovian menyukai makanan berkuah dan segar. Tak lupa membuatkan Pria bermata biru itu satu cangkir kopi panas. Tak lama Alessa menatap Jovian yang baru keluar dari kamar mandi. Alessa terkekeh kecil. "Kenapa kamu tertawa?" tanya Jovian sedang mengeringkan rambutnya.Alessa segera menjawab. "Rambutmu pirang, matamu biru dan namamu Heide, aku kira orang eropa malas mandi," canda Alessa."Oh, kebiasaan sejak kecil tinggal di Indonesia," sahut Jovian.Alessa mengangguk. Jika dipikir-pikir lagi Jovian memiliki penampilan yang mirip dengan ayahnya tapi ibunya Julia tampak
"Hiks ... aku senang karena aku mulai mencintainya tapi apakah aku harus mempertahankan bayi ini?" Alessa mulai terisak sendiri dalam keheningan toilet. Dia bahkan mengabaikan ucapan Mina dari sambungan teleponnya. Alessa mendadak merasa takut dengan kehamilannya sendiri."Alessa, dengarkan aku, kali ini berbeda karena kalian saling mencintai," ucap Mina dari seberang sambungan telepon ini. Alessa termangun mendengar ucapan Mina. Alessa memang merasa bahagia bersama dengan Jovian. Ia bahagia menjalani pernikahan pura-puranya ini. Mereka memang sungguhan menikah tapi dengan tempo waktu tertentu. "Aku menandatangi kontrak dua tahun menikah tapi baru berjalan tiga bulan, aku malah hamil," ucap Alessa terkekeh sendiri. "Kak, aku matikan ya nanti aku telepon lagi." Alessa berucap sembari menutup sambungan teleponnya. Kini Alessa mulai merenungi kelanjutan hidupnya sendiri. Alessa menghabiskan waktu dengan melamun sembari berbaring di ranjang kasur. Kedua mata Alessa juga sudah sembab kar
"Akan aku majukan rencananya, Alessa harus benar-benar mati kali ini," gumam Julia seorang diri. Julia langsung memasuki mobil putihnya yang sudah terparkir di depan apartemen. Wanita itu sempat menekan nomor seseorang melalui ponselnya. "Besok, aku mau kau membereskannya dengan rapi," ucap Julia singkat. Julia langsung mematikan ponselnya kemudian beranjak pergi. Hari sudah larut malam tapi Alessa masih terjaga. Alessa merebahkan dirinya di sofa ruang tamu kemudian menatap kosong siaran berita dari televisi. Usai kedatangan Julia membuat Alessa menjadi merasakan traumanya lagi namun dia tak sanggup mengatakannya pada Jovian. Pintu apartemen terdengar berdecit terbuka. Jovian pergi keluar apartemen seorang diri untuk membelikan macaron. Jovian memandangi Alessa yang berbaring di atas sofa dengan kedua mata sembabnya. Jovian pun mendekati Alessa sembari menyodorkan bungkusan berisi macaron."Alessa, sejak sore kamu belum makan apapun," ucap Jovian."Aku mual," sahut Alessa singkat.
"Kalau begitu jawabanmu bersama Jovian, jadi bersiaplah pada bencana keduamu, Wanita Kampung," cibir Julia. Julia mendecak kesal. Seharusnya dia sudah menghabisi Alessa yang jadi penghambat untuknya tapi Julia tahu cara melemahkan tekad Alessa. "Lihatlah dirimu, apa kau model? pendidikanmu? bisa apa kau bersanding dengan anakku yang kemilau di podium itu, Tuan Muda Kaya Raya yang seharusnya berdampingan dengan Wanita jelas asal usulnya." Julia menegak segelas wine yang sedari tadi ia pegang. "Kau tidak ingat ya, anakmu sudah pernah mati, ckck," kekeh Julia. Julia beranjak pergi usai melihat wajah terancam dari Alessa. Dia tersenyum puas menatap raut wajah Alessa yang menyadari ancamannya. "Setelah ini, kau akan merasakan kematian lagi," ucap Julia sembari melenggang pergi.Alessa langsung bersandar pada ujung meja. Pikirannya jadi tak fokus belum lagi kedua tangannya jadi mendingin. Perasaan tak nyaman menyelimuti dirinya. "Apa ... apa dia baru saja mengancamku lagi?" tanya Alessa s
Sehari sebelumnya ... "Kak, ini aku Alessa," ucap Alessa sembari memegang ponselnya. Niatnya sudah bulat, usai terbebas dari penculikan atas penyelamatan yang dilakukan Jovian. Alessa menyusun rencana kaburnya bersama Eidar. Semula Alessa menceritakannya pada Mina namun Mina menyarankan Alessa meminta bantuan Eidar. Semua itu karena sebenarnya seseorang bernama Rinka Amarei mencari keberadaan Alessa melalui Eidar. Kebetulan ini membuat keuntungan bagi Alessa. "Kak kata Kak Mina sedang pendidikan lanjut di Kyoto ya?" tanya Alessa masih pada sambungan teleponnya. "Aku mau kabur, Kak." Alessa berucap sembari menahan getar pada bibirnya. Saat ini Alessa sudah memantapkan keinginannya. Ia bertemu dengan Eidar di bandara. "Iya, ayo kita pergi Kak Eidar," ucap Alessa sembari menurunkan topi yang ia kenakan. "Biar aku saja yang membawa kopermu," sahut Eidar. Pria itu mengambil alih koper yang semula Alessa pegang. Dia bahkan menggandeng tangan kanan Alessa sembari berjalan mendorong koper
"Itu karena ... dendam sudah membutakannya tapi ujung-ujungnya Alessa terperangkap pada dendamnya sendiri," jawab Eidar. Rinka memengang cangkir keramiknya. Selama ini dia tidak tahu menahu dengan hidup yang Alessa alami. "Bisakah kau katakan semuanya yang kau tahu mengenai Alessa?" pinta Rinka. Raut wajah Eidar langsung berubah. Alessa pernah berucap padanya untuk merahasikan masalahnya dengan Julia dan Jovian. Keraguan menyelimuti Eidar ketika Pria itu hendak berucap terdengar derapan langkah kaki. "Oh, Kak Eidar," gumam Alessa sembari menguap. Alessa bahkan menyelimuti tubuhnya dengan selimut seperti gulungan bola yang berjalan. Eidar jadi tersenyum ragu. "Alessa, hai," ucap Eidar. Alessa melirik ibunya yang tengah duduk di depan Eidar. Alessa tahu pasti sudah terjadi perbincangan diantara mereka mengenai Alessa karena Eidar tidak bisa berbohong. Raut wajah ragunya sudah tampak oleh Alessa. "Aku tahu kalian sedang membicarakanku," terka Alessa. Rinka tersenyum sembari men
"Ayolah Alessa, anak-anak kalian tidak tahu masalah yang kalian lakukan tapi mereka berhak untuk sehat, lihat badan kurusmu bagaimana bisa nutrisi anak-anak kalian terpenuhi?" Mina berusaha membujuk Alessa meski harus menaikkan nada bicaranya. Mina jadi saksi buruknya sikap Jovian karena Alessa menghilang dan Alessa yang menderita karena jauh dari Jovian. "Kalian sebenarnya sama-sama saling mencintai tapi senang menyakiti diri sediri," celetuk Mina sembari menghela napas. "Alessa, Mina benar ... selama ini kamu mengurung diri, bersembunyi dan tak perduli dengan dirimu sendiri," sahut Eidar yang berdiri diambang pintu sembari membawa kantung berisi minuman pesanan Mina. Eidar jadi tahu jika Mina sengaja menyuruhnya keluar untuk berbincang berdua dengan Alessa. Mina menghela napas. "Aku bukan membela Jovian ...," ucap Mina terpotong oleh Eidar yang menyahut."Aku tahu, kau sering menemui Jovian belakangan ini," sahut Eidar."Kau mau menuduhku begitu!" bentak Mina."Tidak salah bukan?
"Apa ... Dia tadi utusan Kak Jovian?" tanya Alessa.Eidar menatap Alessa yang saat itu senyuman dan kedua tatapan matanya tidak sejalan. Kedua mata madu Alessa menatap sendu namun senyumannya terpatri lembut. Tidak ada kebahagiaan yang semu seperti itu. Eidar meraih tangan kanan Alessa. "Jawab aku dengan jujur, apa kamu mencintai Jovian?" tanya Eidar. Pertanyaan itu membuat Alessa membelalakkan matanya. Perasaan yang Alessa rasakan saat ini berbanding terbalik. Ia mencintai Jovian tapi juga membencinya. Alessa menggelengi pertanyaan Eidar. "Aku tidak tahu," jawab Alessa."Baiklah, maaf seharusnya tidak menanyakannya," ucap Eidar bernada kecewa. Meskipun begitu Eidar mengajak Alessa bertemu dengan Mina di klinik Kakak iparnya. Eidar menatap Alessa yang kala itu hanya termangun di dalam bus. Eidar tidak bisa meluluhkan hati Alessa meski ia sudah mencobanya. Eidar pun membiarkan Alessa yang larut dalam lamunannya sembari terus mengawasi sekitar. Tiba di distrik Higashiyama Eidar terus