Vivi masih menekuk wajahnya tak bersahabat. Tuduhan Benji masih saja terngiang di otaknya. Sebagai seorang wanita, tentu ia tersinggung dituduh seperti itu. Padahal, ia tidak seperti yang dituduhkan. Pesanan mereka datang. Seperti biasa saat sedang berkunjung, Vivi memesan ayam goreng paha yang menjadi favoritnya. Saking seringnya makan di sana, sang penjual sampai hafal menu yang selalu ia beli. Matanya langsung berbinar melihat paha ayam yang besar dan sambal serta lalapan yang menggoda iman. Setelah berdoa dan cuci tangan, ia langsung melahap makanan itu ke dalam mulutnya. Rasa nikmat makanan itu, mampu membuat rasa kesalnya perlahan surut di hatinya. Tapi tidak ketika melirik Benji, rasa tak sukanya pada Benji semakin bertambah sejak hari ini. Dan mulai dari detik ini, Benji masuk dalam daftar pria yang tidak ingin dia kenal selama dalam hidupnya. "Mau nambah?" tanya Benji tiba-tiba di sela makannya. Melihat Vivi yang makan dengan lahap, membuat nafsu maka
Langit bangkit dari duduknya dan menghampiri Benji yang nampak sedikit gugup itu. "Kamu apakan dia Ben, sampai dia lari ketakutan seperti itu?" Benji menggeleng. "Aku tidak apa-apain, Pak." "Jangan bohong. Vivi tidak akan sampai terluka jika kamu menjaganya dengan baik. Lebih baik kamu mengaku daripada aku mencari tahunya sendiri." Benji meringis. Ancaman Langit tentu tidak bisa ia anggap remeh. Ini masalah kecil, tapi kenapa masalahnya melebar kemana-mana. Apa hubungan Vivi dengan sepupunya itu? Benji menatap Vivi penuh tanya. Yang ditatap, hanya mendelik seraya mengoceh tanpa suara. Itu terlihat dari bibirnya yang bergerak merangkai kata tidak jelas. "Katakan, Ben. Jangan buat kakak sepupumu ini marah dan malu atas perbuatanmu!" kata Langit penuh peringatan. Senja dan Vivi saling bersitatap. "Kakak sepupu?" Bibir mereka secara bersamaan mengulang kalimat keramat Langit. Mereka mengerjap. Berarti? Vivi seketika dilanda rasa panik. Ia sudah membuat
"Kamu siapa?" Dengan sekali gerakan pria itu mendorong tubuh Melly untuk masuk ke dalam rumah itu. Menggunakan satu kakinya pria itu menutup pintunya hingga menimbulkan suara nyaring yang mengagetkan. Lalu, pria itu mendorong Melly sampai wanita itu terjebak di dinding. "Lepaskan!! Kamu siapa?" Melly berusaha mendorong tubuh kekar pria itu menggunakan tangannya. Memberontak dan mencari celah. "Kamu tidak perlu tau aku siapa. Tapi jika kamu berani menganggu adikku lagi, kamu akan mendapatkan akibatnya." "Siapa adik kamu, brengsek?! Aku tidak tau siapa yang kamu maksud. Bisa saja kamu salah orang. Jadi lepaskan aku sekarang juga atau akan berteriak meminta tolong agar kamu di gebukin warga di sini." Pria itu tersenyum sinis. Sama sekali tidak takut dengan ancaman wanita di depannya ini. Malah, ia semakin menghimpit tubuh Melly sampai wanita itu terlihat ketakutan. "Le_lepaskan aku. Tolong!!" lirihnya. Melly menyadari akan ada bahaya di depannya saat ini.
"Ayo ikut aku!!" Langit memegang tangan Senja dan menariknya untuk keluar. "Mau kemana? Aku mau kerja, Mas?" Senja berusaha menolak Langit. "Pokoknya kamu harus ikut." "Tapi aku tidak bisa!!" kukuh Senja. Langit terdiam. Ia menoleh ke arah Senja yang masih berada dibelakang. "Apa kamu lupa siapa bosnya dimana kamu bekerja? Apa kamu lupa siapa yang menggaji kamu setiap bulannya?" tanya Langit seraya melotot garang. Ia tidak suka saat Senja menolaknya. Padahal, ia adalah bosnya, lalu kenapa Senja sama sekali tidak menghiraukan perintahnya. "Iya. Aku tau kalau kamu bos di mana aku bekerja. Tapi aku tidak ingin menerima gaji buta, Mas." "Kalau kamu tidak Ingin menerima gaji buta, menikahlah denganku. Maka aku akan memenuhi kebutuhanmu. Kamu hanya perlu bekerja di ranjangku." Senja mendelik mendengar kalimat Langit yang bar-bar. Sedangkan Vivi dan Benji hanya pura-pura tidak mendengar. Percayalah, bahwa mereka pun malu mendengar kalimat yang tak seharusnya m
"Nja, aku ingin, Nja," pintanya dengan suara parau. Mata yang awalnya terpejam, perlahan terbuka. Dilihatnya wajah Langit yang memerah menahan hasrat yang siap diledakkan sekarang juga. Otaknya yang tengah berkabut, tentu akan ia menerima ajakan bercinta yang sudah lama tidak ia rasakan. Kenikmatan yang sempat ia rindukan. Tapi, hatinya mencoba waras ditengah terpaan hasrat yang menggelora. Mata mereka saling tatap. Dan itu cukup lama. Sampai Langit bisa menyimpulkan penolakan dari Senja walau tanpa kata. Seketika ia merasa bersalah karena sudah merusak Senja dengan keegoisannya. "Maafkan aku, Nja." Lantas, Langit langsung beranjak dari tubuh Senja yang ia tindih sedari tadi. Tangannya terulur untuk membantu Senja beranjak dari tidurnya dan duduk di depan Langit. "Maafkan aku, Nja. Aku khilaf," ucapnya lagi dengan sorot mata penuh penyesalan. Senja terdiam cukup lama, sampai akhirnya segaris senyuman terbit di bibirnya. Ia menggeleng pelan
Untuk sesaat membuat Senja terdiam. Kata-kata Langit memang tampak biasa saja tapi jika ditilik lebih lanjut, tentu kalimat itu mengandung sejuta makna. Sebagian yang ia tau, Langit terlahir sebagai orang kaya tapi miskin kasih sayang. Itulah yang membuat Langit terlihat ketus dan dingin. Tapi saat bisa mengambil hatinya, ia akan menjadi pribadi yang jauh berbanding terbalik. Langit menjadi manusia rapuh yang haus akan kasih sayang. Manja dan cerewet. Senja mendekat dan memeluk lengan Langit dengan erat. Jika sudah begini, ia merasa bersalah karena sering kali menolak Langit saat pria itu mengajaknya menikah. Apakah ini saatnya ia menerima lamaran itu? Langit tersenyum sumbang. Merasa konyol dengan apa yang ia katakan barusan. "Kamu pasti kaget ya mendengar kalimatku barusan? Maaf, aku bisa menjadi diriku sendiri saat bersamamu, Nja. Dan inilah yang kurasakan selama ini sebelum mengenalmu. Sepi." Langit seolah tau apa yang dipikirkan Senja saat ini. Tapi ia y
Menjelang sore, Langit dan Senja baru kembali ke hotel. Bukan untuk bekerja, tapi menemui Benji karena ada hal penting yang katanya ingin disampaikan oleh pria itu. Langsung saja Langit menuju ke loby hotel. Sedangkan Senja sendiri memilih untuk tetap berada di mobil. Ia tidak ingin menjadi bahan gunjingan ketika melihatnya pergi bersama Langit. Kadang Senja melamun. Mimpi apa dia bisa menjalin hubungan dengan pria nomer satu di tempatnya bekerja. Padahal sebelumnya ia sudah bertekad menutup hatinya untuk mahkluk yang bernama pria. Tapi kenapa Langit berbeda. Matanya menatap keluar kaca mobil. Otaknya masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia mencintai Langit, tapi ia sadar jika itu tidak akan mudah untuk di lalui. Apakah ia sanggup? Harus. Karena ia sudah melangkah sejauh ini. Asyik bergelud dengan pikirannya sendiri, Senja sampai tidak menyadari Langit sudah duduk di balik kemudi. Menatap dengan tatapan heran dan penuh. "Sayang." Senja masih d
"Mama." Yuke menoleh. Seketika senyum di bibirnya terbentuk lebar. Merekah dengan mata memerah melihat anak yang ia rindukan datang tiba-tiba. "Langit." Wanita parubaya itu pun melangkah dan mendekat. Lantas langsung berhambur ke pelukan Langit yang begitu ia rindukan. Tanpa sadar, air matanya mengalir begitu saja dari sudut matanya karena luapan rasa bahagianya. "Mama sangat merindukanmu, Nak. Kenapa kamu tidak pulang beberapa hari ini?" Punggungnya bergetar. Yuke terisak dalam tangisnya. Dalam dekapan hangat putranya. Langit menelan ludah kasar. Ia merasa bersalah karena sudah meninggalkan mamanya sendirian. Meski hatinya sempat marah atas apa yang dilakukan sang mama, tapi ia tidak menampik jika begitu menyayangi wanita yang telah melahirkannya itu. Ia berharap mamanya bisa berubah setelah ia tinggal pergi beberapa hari. "Maafkan Langit, Ma." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya. Cukup lama saling mendekap, hingga akhirnya pelukan itu teru