*Apa sih maksud Ibuk ini, memangnya Ibu kira aku sebodoh apa?”“Wah pinter jawab, Mina sekarang, Pak!” kata ibu sambil melirik pada bapak. Laki-laki itu asyik menonton televisi yang menayangkan siaran langsung, sepak bola dari dua klub bola terkenal di dunia.“Alhamdulillah!” jawab bapak datar.“Kenapa kamu ngeliatin kamar Linda terus, jangan mikir yang macam-macam ... soalnya Ibu tahu, kamu nggak bakal kepikiran ke sana!” kata Ibuk lagi.“Kepikiran ke mana memangnya?”Aku kesal, Ibu sudah lama tidak menegurku dan seolah-olah sudah berubah. Namun, perubahan itu hanya terjadi selama pernikahan dua adikku dan, sekarang ibu kembali seperti dulu. Sebenarnya aku bersyukur, tetapi tetap saja perasaanku jadi sedih begini. “Ya, mana Ibu tahu pikiran yang ada di otakmu itu!”“Alhamdulillah! Pak, Ibu tahu aku punya pikiran di otak!”“Hus! Semua manusia yang hidup normal itu pasti punya otak dan pikiran ... itu salah satu kelebihan yang diberikan Allah pada manusia, yaitu memiliki akal!
“Ya, Maafkan Mina sekali lagi, ya, Buk!” Aku benar-benar mengharapkan maaf dari ibuku karena dia aku bisa melanjutkan hidupku. Apa pun kekurangannya, kedua orang tua tetap harus aku hormati dan taati. “Tidak bisa!” teriak Bapak dari balik pintu yang terbuka separuh, karena laki-laki itu hendak masuk. “Bapak sudah pulang dari masjid?” tanyaku heran. Perasaanku baru sebentar Bapak ke luar, tapi sekarang sudah ada di rumah lagi. “Sebentar apanya, kalian ini asyik ngobrol, mana tahu kalau lupa waktu!” “Astagfirullah!” Aku berkata sambil beringsut dari memeluk ibu dan turun dari tempat tidur. “Terus, apa maksud Bapak bilang tidak bisa?” tanya ibu, yang ikut turun dari ranjangnya untuk sholat juga. “Ya, tidak bisa dimaafkan kalau tidak sholat!” kata Bapak, membuat aku dan ibu cemberut. Aku menghapus sisa air mata agar benar-benar kering, tidak mungkin aku keluar sambil menunjukkan kesedihan. Malu. Setelah itu aku baru pergi ke kamar untuk sholat magrib. Saat itulah kulihat Linda berd
Ini juga maksudnya apa coba? Akhirnya aku membaca semua pesannya kemarin dari awal. Ternyata dia mengirim makanan dan menyimpannya di depan pintu petakanku. Ada-ada saja! Aku keluar rumah setelah selesai membaca semua pesan, dan membalas satu persatu pertanyaan adik-adikku. Sepertinya mereka membicarakanku di belakangku, karena mendengar cerita ibu tadi malam. Aku kira pasti Linda yang menyampaikannya pada Landu. Kalau Linda tidak mendengar dan membicarakannya dengan saudara kembarnya, tidak mungkin mereka bisa menulis pertanyaan aneh itu kepadaku. Saat aku membuka pintu, kulihat ada kantong kresek warna putih yang tergantung di pegangannya. Aku langsung mengambilnya, setelah menyibakkan mukenaku yang panjang hingga menutupi tangan. Ternyata di dalamnya berisi makanan, sebelum masuk ku cium aroma bungkusan di dalam kantong kresek itu, sambil menoleh ke kanan ke kiri. Untungnya tidak ada orang, kecuali dia! Aku sedikit terkejut ketika melihat laki-laki itu berdiri sambil menatap
“Dek Mina! Siapa mereka?” Baik bener mereka!” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. Aku pun menoleh dan kulihat Mas Ragil berdiri di samping motor pinjaman itu lagi.Kenapa dia bisa ada di sini pagi-pagi begini, tapi aku tidak perlu menanyakan keheranan itu padanya.Lagi pula, apa urusannya menanyakan siapa yang mengantarku. Tidak ada sama sekali.“Bukan siapa-siapa!” Aku menjawabku ketus. Kesel sih, soalnya dia sok perhatian sekali.“Alhamdulillah! Ada orang baik seperti mereka yang mau nganterin kamu ke sini!”“Ya, Mas! Alhamdulillah!” jawabku bersyukur. Memangnya dikira cuman dia aja yang baik dan mau nganterin aku.“Tapi kok yang perempuan mirip kamu, ya!”“Iyalah, dia adikku dan suaminya! Puas?”Mendengar jawabanku itu mas Ragil menyeringai.“Jadi adikmu sudah nikah? Terus kamu kapan? Ayo! Cepat nyusul, mumpung ada yang nganggur, nih!” katanya sambil merapikan kerah kemejanya.Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya melengos. Apa maksudnya, coba? Aku tidak butuh pe
“Memangnya dia kenapa sih, Mas?” tanyaku heran dengan reaksinya barusan.Pada saat itu perjalanan sudah tiba sampai di pabrik, mas Ragil menepikan motornya dan aku pun turun. Lalu, dia berkata, “Kamu Meu tahu soal Abid? Nanti deh, kalau kamu pulang baru kita ngobrol, asal kamu nggak lembur dan pulang malam!” Dia terlihat lebih mengancam diriku.Mendengar permintaannya itu aku merasa dia itu sok ngatur, apa urusannya tidak suka aku pulang malam? Tentu aku tidak terima karena tidak ada hubungan apa pun di antara aku dan dirinya.Aku menggelengkan kepala dan berjalan melewatinya seraya berkata, “Ya, terserah aku, lah, mau lembur apa enggak!”Aku tidak mendengar lagi panggilan atau tanggapan Mas Ragil atas ucapanku dan aku tidak menoleh lagi padanya. Bahkan, aku tidak tahu apakah dia tetap ada di sana atau langsung pergi.Namun, aku teringat kalau belum mengucapkan terima kasih kepadanya hingga aku pun segera mengirim pesan. Tulisanku mengucapkan kata-kata penghargaan itu. Tak lama
“Dek! Kita, kan, pernah ketemu waktu pesta pernikahannya Abid ... waktu itu kamu juga bilang kalau istrinya Abid itu adikmu, berarti kamu ini anaknya Pak Ananto?” Tiba-tiba pertanyaan Mas Ragil berubah menjadi semakin menyebalkan. Namun, aku memilih diam, daripada harus menjawab pertanyaan konyol itu. Aku tidak mungkin mengatakan iya ataupun tidak, karena aku seperti makan buah simalakama. Kalau aku berkata iya, maka bisa jadi Mas Ragil akan mengatakan hal itu kepada bapak. Seandainya bapak tahu bahwa, Mas Ragil adalah tetanggaku, tentu akan segera menjodohkan aku dengan laki-laki itu. Sebaliknya kalau aku mengatakan tidak, itu artinya aku berbohong. Akhirnya aku matikan saja telepon itu. Males banget dengerinnya. Mas Ragil melakukan panggilan kembali, tapi aku abaikan. Bahkan, saat ia mengirim pesan pun tidak aku baca. Aku memilih untuk tidur saja, ibadah sudah aku tunaikan semua. Pada keesokan paginya, aku baru membuka telepon genggam, setelah selesai salat dan bersiap-siap. Aku
“Abid?” kataku terkejut, seketika hatiku waspada dan jantungku seperti bertambah detakannya. “Mbak Mina! Baru saja saya mau mengetuk pintu!” katanya gugup.“Ada apa, ya? Kok, tumben ke sini, mana Linda?” aku bertanya setelah berhasil menguasai keterkejutanku. Kulewati Abid di pintu dan menyimpan ember pakaian di dekat jemuran baja yang kuletakkan persis di depan jendela kamarku.“Ada, lagi di restoran yang di Prapatan jalan!”“Oh kenapa nggak ikut ke sini?”“Katanya mau ngajakin Mbak Mina pulang--kalau mau, dia tadi masih pesan makanan buat dibawa ke rumah ibu! Dia minta aku ke sini soalnya mau telepon tadi HP-nya ketinggalan!”“Oh gitu, tapi aku baru beres nyuci dan belum mandi, nanti aja lah, kapan-kapan aku pulang! Eh, Linda baik-baik saja kan?”“Ya, baik, Mbak! Alhamdulillah dia pulang itu karena mau ngomong ke ibu kalau dia sekarang sedang hamil!”“Alhamdulillah! Jadi, sakit kemarin itu karena ngidam?”“Ya mungkin begitu!”“Ya, sudah! Kalau begitu kamu nggak usah nun
“Dek Mina nggak ingat sama sekali, soal masa kecil kita?” tanyanya, terlihat tidak puas dengan jawaban dan sikapku.“Masa kecil yang mana? Sudahlah Mas, nggak usah dibahas, itu masa lalu! Lagian, kejadian masa kecil itu kan banyak sekali nggak mungkin semuanya aku ingat!” Aku menutup pintu rapat-rapat, Setelah selesai bicara dan tak lupa menguncinya. Aku berniat tidur lagi menikmati waktu liburanku, mumpung hari masih tergolong pagi.Sebelum aku tidur, sempat kudengar telepon genggam di meja kecilku berbunyi, itu suara notifikasi. Mungkin, ada pesan masuk, tapi kuabaikan.Nanti sajalah menjawabnya.Aku terbangun ketika adzan zuhur terdengar di telinga dari arah masjid yang tidak jauh dari kontrakanku berada. Lalu, aku ke kamar mandi untuk menyelesaikan hajatku sekaligus berwudhu. Setelah salat dzuhur, barulah aku melihat beberapa pesan yang masuk tadi. Salah satunya dari Linda, ada juga dari Mas Ragil.Linda menyampaikan kekecewaannya, melalui nomor Abid—suaminya, karena aku ti