Share

2. Keputusan Yang Rumit dan Konflik Batin

Keheningan rumah besar Ivander Abraham seolah membelenggu suasana hati yang gelisah. Konflik mulai merajalela sejak Samantha menemukan Ivander dan Anna yang berselingkuh.

Ivander duduk di ruang tengah rumahnya yang terasa begitu hampa. Dia merasa ragu dan takut akan reaksi Samantha, saat dia harus mengatakan perihal tentang hal yang lainnya.

Sejauh ini, Ivander telah mencoba menghindari topik ini dengan segala cara, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi menghindar. Karena Samantha memang harus tau, Ivander terlihat menghampiri kamar tamu yang kini Samantha tempati.

Tok,tok,tok.

"Samantha, biarkan aku bicara. Aku akan menjelaskan hal yang lainnya Samantha, ku mohon kau jangan terus mengurung diri seperti ini. Ayolah keluar, aku ingin jelaskan semua yang telah terjadi saat kau tidak ada di sini, Samantha... tolong buka pintunya," pinta Ivander dengan hati yang khawatir.

"Kamu mau menjelaskan apa lagi? Tak cukupkah, kau telah membuatku kecewa dan sakit hati? Kau mau membunuhku secara perlahan?" Samantha yang terduduk di lantai, sambil memeluk lutut dan berderai air mata.

Ivander terlihat mengacak rambut kepalanya penuh frustasi.

"Tolong, buka pintunya. Aku ingin bicarakan hal penting yang lainnya, Samantha."

"Aku tidak mau! Jangan ganggu aku! Kau senang sekali rupanya menyakiti aku, kau benar-benar jahat dan brengsek, Ivander!" Teriak Samantha dengan frustasi sambil tergugu.

"Samantha, ayolah. Jangan seperti anak kecil, kita sudah dewasa dan kamu harus terima nasib, salahmu yang telah meninggalkan aku," ujar Ivander tetap berdiri di depan pintu kamar tersebut.

Ceklek.

Ppllakk!

Sebuah tamparan nyaring, mendarat di pipi mulus Ivander untuk yang ke sekian kalinya. Sementara Anna yang sedari tadi mengintip, bergidik ngerih melihat kelakuan istri majikannya tersebut.

"Dasar tidak punya malu! Sudah salah masih saja membela diri dan menyalahkan orang lain, aku bisa saja menuntutmu ke pengadilan, atas pasal perzinahan dan penipuan! Kamu menikah tanpa persetujuan dariku!" ucap Samantha penuh emosi.

Ivander menatap sabar pada Samantha.

"Ayo, kita bicara. Setelah ini, kau juga pasti akan marah kembali. Beri sisa emosimu untuk mendengarkan hal yang selanjutnya," tukas Ivander menarik Samantha untuk menuju ruangan kerjanya.

Samantha kesal dengan penuturan Ivander yang seolah meledeknya.

"Lepaskan! Aku tidak mau!"

"Ikut sebentar," balas Ivander dengan masih terus menarik Samantha yang terus berontak.

"Kapan, kau akan mengusir jalang itu, Ivander?!!"

"Dia bukan jalang, dia hanya pelayan."

"Aku tidak sudi melihat dia lagi! Kau ingin membunuhku dengan membuatnya terus berada di rumah ini, Ivander?"

"Kau, bicara apa Samantha? Ayo, jalan yang benar, jangan seperti monyet kecil yang tengah merengek," ucap Ivander dengan santai.

Bugh!

Samantha menendang kaki Ivander, Ivander terus saja membawa Samantha menuju ruang kerjanya.

"Ivander, aku memang perlu kita berbicara empat mata. Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan. Tapi, tidak, untuk sekarang!" tegas Samantha seraya menatap Ivander dengan sebal.

"Tentu, sayang. Apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat sangat serius sekali?" ujar Ivander dengan meledek dan memancing rasa kesal Samantha lagi.

Samantha jelas marah dan merasa tidak dihargai perasaannya.

Bbrrakk! Samantha menggebrak meja.

"Aku merasa kamu telah mengabaikanku akhir-akhir ini, Ivander. Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu dan juga jalang simpananmu! sepertinya kamu telah lupa, bahwa kita masih dalam status suami istri!" Pekiknya kemudian.

Ivander menghela nafas.

"Sayang, aku tahu aku telah sibuk, tapi aku mencoba untuk memberikan yang terbaik bagi kita berdua. Ini bukan berarti aku mengabaikanmu," Ivander mencoba menjelaskan.

"Ini lebih dari sekadar sibuk, Ivander. Aku merindukan waktu bersama kita, saat kita bisa saling mendengar dan mengerti. Aku tidak ingin hidup dalam hubungan yang hanya ada secara fisik, tanpa emosi yang mendalam," keluh Samantha dengan nada keras.

"Aku minta maaf, sayang. Aku akan berusaha lebih baik untuk memberikan perhatianmu dan mendengarkanmu dengan baik. Aku tidak ingin kehilangan hubungan denganmu," Ivander berusaha memberikan pengertian dan memahami kondisi Samantha.

"Aku tahu kamu telah bekerja keras, Ivander, dan aku mendukungmu. Tapi kita harus menjaga hubungan kita agar tetap kuat. Kita harus berbicara dan mendengarkan satu sama lain," Samantha, mengendurkan nada.

Ivander tersenyum lembut.

"Terima kasih, Samantha. Aku janji akan memperbaiki hubungan kita. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Tapi kau harus dengar semua penjelasanku ini."

Ivander mulai menceritakan awal mula terjadi perselingkuhannya dengan Anna.

Kegelapan malam menggulunginya seperti awan mendung. Ivander, yang sebelumnya cenderung frustasi, telah mencari pelarian dalam minuman.

Dia kerap mampir ke sebuah bar untuk melupakan masalahnya, dan malam ini adalah salah satunya. Minuman keras telah menjadi teman setia dalam menghadapi tekanan hidupnya.

Kembali ke rumah dalam keadaan mabuk parah, langkah Ivander goyah saat dia berusaha untuk masuk ke dalam rumah. Dalam keadaan mabuk itu, ingatannya buram, dan wajah Anna berganti dengan wajah Samantha.

"Aku mencintaimu, sayang. Cup... Aku merindukanmu," papar Ivander sambil memeluk dengan erat sosok Anna pembantunya.

"Tuan, ku mohon sadarlah! Aku Anna, Tuan," Anna berusaha untuk melepaskan pelukannya tersebut.

Ivander terus saja memeluk sambil menciumi Anna dengan penuh nafsu, meskipun Anna berusaha berontak berkali-kali, tenaganya tetap kalah.

"Kamu cantik malam ini, cup... Aku merindukan kehadiranmu, sayangku."

"Tidak! Tuan, aku mohon sadar!" kilah Anna masih terus berontak.

"Cup, aku mencintaimu. Sungguh aku ingin melakukannya malam ini bersamamu, sayang. Aku merindukanmu, sayang. Cup... Aku mencintaimu, aku mencintaimu," ucap Ivander pada telinga Anna.

Lama-lama Anna merasa terbuai dengan segala cumbu rayu Ivander, hal yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

"Cup... Tuan Ivander. Apakah kau mencintaiku?"

"Aku sangat mencintaimu, malam ini aku ingin bersamamu," balas Ivander dalam keadaan tidak sadar.

"Cup, cup, Tuan aku akan melayanimu, aku sangat mencintaimu dan aku ingin terus bersamamu," ujar Anna yang terlena dan membalas perlakuan Ivander.

Mereka akhirnya terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi, penuh dosa dan menggoyahkan prinsip moral mereka. Hubungan terlarang ini merusak segalanya dan membawa mereka ke jurang keputusan yang sangat sulit.

Pagi menyingsing, dan mereka terbangun dalam keadaan shock. Anna, yang awalnya merasa sangat terkejut dan bingung, kini merasa sangat malu dan menyesal.

"Oh Tuhan, Anna! Apa yang terjadi?" Ivander terkejut bukan main dengan melihat keadaan mereka.

"Tuan, semalam Anda telah menodai saya. Ini adalah mimpi buruk. Anda memaksa saya, Tuan," jelas Anna dengan panik.

"Kita harus menemukan pakaian kita segera. Ini adalah keadaan yang sangat memalukan!" Tegas Ivander mengambil pakaian Anna.

Ivander, yang tidak bisa mengingat secara pasti apa yang terjadi, mencoba membangun ingatannya. Itu adalah saat-saat yang sangat sulit untuk mereka hadapi.

Anna dengan cemas dan hati yang penuh penyesalan, mengambil semua pakaiannya dengan cepat. Dia kembali ke kamarnya dan menutup pintunya dengan erat.

Beberapa hari berlalu, Anna masih belum keluar dari kamarnya. Ivander merasa khawatir dan kebingungan tentang apa yang harus dia lakukan. Tidak ada yang dapat dia lakukan selain menunggu dan berharap bahwa Anna akan segera keluar.

Tok,tok,tok.

"Anna, tolong keluar kamar. Kali ini aku sangat butuh bantuanmu! Hanya kau bisa menolongku, Anna!" tegas Ivander mengetuk pintu kamar Anna.

"Tidak, Tuan. Ku mohon ... Jangan ganggu aku sementara waktu, aku belum sanggup untuk bertemu denganmu," mohon Anna dengan malu.

"Aku butuh bantuanmu, keluarlah Anna. Tolong berikan sikap profesionalmu padaku, kita harus segera bekerja sama, Anna."

Sekretarisnya telah mengundurkan diri secara mendadak, dan mereka membutuhkan penggantinya secepat mungkin.

Kepala Ivander berputar saat dia mencoba untuk menemukan solusi. Dia tahu bahwa Anna tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, tapi dia adalah satu-satunya orang yang dia percayai.

Anna, yang awalnya merasa sangat canggung, mulai belajar bagaimana cara mengoperasikan komputer dan menjalankan tugas seorang sekretaris.

"Baik, Anna, mari kita mulai. Pertama, mari buka program pengolah kata."

"Saya rasa ini Microsoft Word, apakah benar Tuan?" Anna mengikuti instruksi Ivander.

"Iya, kamu benar, Anna. Sekarang, kita akan membuat surat. Klik file, lalu baru."

"Lalu, langkah selanjutnya apa, Tuan?"

"Sekarang kamu bisa mulai mengetik surat. Ketik judul, tanggal, dan alamat pengirim. Santai saja, agar jari-jarimu mudah terbiasa untuk mengetik."

"Seperti ini, Tuan Ivander?" Tanya Anna yang mulai mengetik.

"Iya! Sekarang, mari masukkan isi suratnya."

Mereka bekerja sama mengatur format surat, menambahkan konten, dan mengeditnya. Kemudian, Ivander melanjutkan dengan mengajar Anna cara menginput data perusahaan ke dalam spreadsheet. Mereka bekerja bersama dengan penuh konsentrasi dan kolaborasi.

Setelahnya mereka kembali merasa nyaman satu sama lain dan mulai bercanda.

"Hahahaha, kamu bisa saja Anna. Eh, ngomong-ngomong kue dengan resep barumu ini, sangat enak sekali," ujar Ivander memuji Anna sepenuh hati.

Anna yang mendengarnya, begitu senang dan berbangga hati.

"Tuan bisa saja, ini rayuan atau pujian? Mengapa Tuan, bisa sekali menyenangkan pagi ini," dia tersenyum lebar pada Ivander.

Ivander tersenyum.

"Karena memang benar enak, belum lagi ... Kau begitu cantik pagi hari ini."

"Ah, Tuan bisa saja. Aku jadi malu," wajah Anna memerah setelahnya.

Hingga suatu hari. Anna, yang merasa bahwa dia harus menghadapi masa lalu mereka, memberanikan diri untuk berbicara dengan Ivander.

"Tuan Ivander, saya merasa kita harus membicarakan apa yang telah terjadi antara kita, sebelumnya."

Ivander menatap Anna dengan tatapan penuh keraguan dan ketegangan.

"Ya, mungkin sekarang sudah saatnya," katanya dengan suara serak.

"Saya merasa sangat bersalah, Tuan Ivander. Saya tidak boleh terpengaruh dengan apa yang terjadi dengan seharusnya, dan sepatutnya saya bisa menghindari itu."

Ivander merenung sejenak sebelum akhirnya mengakui.

"Anna, itu adalah kesalahan kita berdua. Saya seharusnya tahu batas dan kamu juga. Ini adalah tindakan yang tidak bisa kita ubah, tapi yang bisa kita kendalikan adalah, bagaimana kita melanjutkan untuk kedepannya."

Anna tersenyum tipis, merasa lega karena Ivander tidak menyalahkan sepenuhnya dirinya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanyanya memandang Ivander.

Ivander memikirkan jawaban yang tepat.

"Kita harus belajar dari kesalahan kita, Anna. Kita tidak bisa merubah masa lalu, tapi kita bisa membangun masa depan yang lebih baik."

"Bisakah anda menikahi saya, Tuan?" tanya Anna dengan ragu namun penuh harap.

Ivander mengangguk dan menyetujuinya.

"Tentu saja, aku akan bertanggung jawab dan segera menikahimu."

"Terima kasih, Tuan."

Seiring berjalannya waktu, Ivander dan Anna saling mendukung satu sama lain dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Samantha memutuskan untuk menguatkan diri, pada Ivander setelah mendengarkan penuturan dari Ivander.

"Apakah, kalian berdua benar-benar saling mencintai, satu sama lain?" Samantha bertanya dengan penuh rasa khawatir.

"Aku mencintai kalian berdua, Samantha. Aku tidak bisa mengatakan bahwa perasaanku lebih besar padamu, atau pada Anna."

"Itu tidak mungkin, Ivander. Kau harus pilih salah satu di antara kami. Jika kamu mencintaiku, tolong lepaskan Anna. Dia benalu dalam rumah tangga kita!" seru Samantha dengan tidak terima akan kejujuran Ivander.

"Tapi dia, yang telah menolongku selama kamu tidak ada. Dia yang telah membantu perusahaanku hingga bisa kembali, Samantha. Sedangkan kamu, pergi begitu saja, hingga membuatku terluka. Dan aku tidak akan melepaskan Anna begitu saja!" Ivander memaparkan semua kebaikan Anna pada istrinya tersebut, agar mengerti.

Samantha mendengus kecewa dan ia harus menelan kenyataan pahit.

"Dengan begitu, berarti kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Samantha lagi untuk terus memastikan.

"Aku juga masih mencintaimu, Samantha."

"Mustahil, Ivander!" Kilahnya dengan cepat.

"Tidak ada yang mustahil dalam dunia ini, aku mencintaimu dan Anna. Ku harap kalian berdua hidup rukun, dalam rumah ini," ujar Ivander bangkit berdiri.

"Hahahaha ... Kau tengah mengatakan lelucon rupanya. Aku tidak sudi, memiliki madu! Terlebih madu dari pelayanku sendiri!" Samantha bangkit berjalan lebih dulu dan keluar ruangan.

Ivander hanya memandang punggung tubuh Samantha.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status