"Pernikahan ini sama sekali tak ada artinya, Meera. Dia bukan suamiku dan aku bukan istrinya. Jangan mengungkit tentang hal itu.""Pernikahan ini sama sekali bukan apa-apa. Aku bahkan menganggapnya tak pernah terjadi. Aku berharap bisa menghilangkan ingatanku yang satu itu."Dirga bahkan lebih dibuat marah dengan pernyataan Davina tersebut ketimbang memergoki gadis itu sedang membuang tenaga atau waktu di dapur. Mencurahkan hati sialan pada sesama pelayan. Sial. Bahkan tak seharusnya gadis licik itu berhak bicara hal semacam itu.Davina nyaris terserimpet kakinya sendiri karena dipaksa mengikuti langkah Dirga yang terburu. Tubuhnya tertarik ke depan, membentur dada Dirga ketika pria itu tiba-tiba berhenti."Tidak bisakah kau memperhatikan langkahmu, hah?"Davina menegakkan punggungnya dan berdiri dengan kedua kakinya. Bukankah pria itu yang membuatnya terjatuh? Kenapa mendadak Dirga menjadi begitu uring-uringan?"Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dalam setiap langkahmu ag
Saat Dirga kembali ke kamar, ia tak menemukan Davina di tempat tidur. Tapi pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan suara muntahan yang terdengar membuatnya gegas berlari menghampiri gadis itu. Di kamar mandi, Davina bersimpuh di depan lubang toilet dan memuntahkan isi perutnya. Dirga membungkuk di belakang gadis itu, mengusap punggung dan menguncir rambut Davina yang terurai dengan tangannya yang lain. "Kau baik-baik saja?"Davina menjawab dengan satu muntahan lagi. Lonjakan dari dalam perutnya begitu kuat hingga air mata merembes di ujung matanya. Tetapi muntahan kali ini membuat perutnya merasa lebih baik dan ia tahu sesi muntahan tersebut akan segera berakhir.Setelah napasnya mulai kembali normal, Dirga membantu Davina bangun dari simpuh dan duduk di pinggiran bath up. Kemudian menutup lubang toilet dan menyalakan flush, lalu menyambar tisu dari meja wastafel dan membersihkan keringat di wajah dan sisa muntahan di sekitar bibir Davina."Kau ingin minum?"Davina mengangguk den
“Kau belum tidur?” Dirga akhirnya bersuara karena sejak tadi Davina bergerak ke kanan dan kiri dengan tak nyaman.Davina menoleh ke belakang, melihat Dirga yang ternyata matanya masih terbuka padahal sejak tadi pria itu sama sekali tak bergerak dan bersuara. “Kau belum tidur?”“Aku bertanya padamu lebih dulu.”Davina menggeleng pelan. “Bolehkah aku berjalan-jalan sebentar, perutku terasa tidak nyaman.”“Ini sudah malam, gadis licik.”“Hanya di depan kamar. Jadi langkahku tidak akan mengganggu tidurmu.”Dirga terdiam sejenak. “Di dalam kamar saja. Kupikir kamar ini cukup luas, kan?”Davina tampak terbengong, sekali lagi mengulang perintah Dirga. Biasanya Dirga jelas akan terganggu dengan suara langkahnya, bahkan ketika hanya ke kamar mandi. Dan sekarang pria itu menyuruhnya berjalan-jalan di dalam kamar. Apakah pria itu sengaja menyindirnya?“Tidak jadi.” Davina menggeleng dan kembali berbaring memunggungi Dirga.“Kenapa? Kau khawatir mengganggu tidurku?” Dirga bangun terduduk dan meny
Davina tak mengangguk. Terakhir kontrol, dokter mengatakan pertumbuhan janinnya sudah normal dan sehat. Hanya perlu menjaga asupan gizi. Dirga pun pernah bertanya tentang berhubungan intim pada dokter. Sepertinya hanya untuk ini.“Apakah kau sudah merasa lebih baik?”Entah kenapa Davina mengangguk dan bibirnya langsung ditangkap oleh Dirga. Pria itu melumatnya dengan rakus meski tetap berhati-hati agar tak menyakitinya.“Katakan kalau aku membuatmu tak nyaman,” bisik Dirga tanpa melepaskan pagutannya. Membaringkan tubuh Davina dengan lembut sementara tangannya mulai menelusup ke balik pakaian tidur gadis itu. Menyentuh kulit telanjang Davina yang mulut dan lembut. Luapan gairahnya begitu besar. Bagaimana tidak? Sudah sebulan penuh sejak gadis itu keluar dari rumah sakit, Dirga mati-matian menahan hasratnya setiap kali melihat kulit Davina ketika pakaian gadis itu tersingkap, atau ketika gadis itu sedang berpakaian, atau bahkan ketika melintas di depannya dan aroma manis yang tertangka
PrologDavina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan p
"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting
Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.*** Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan
Praanggg ...Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai. "Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengat