Davina tak mengangguk. Terakhir kontrol, dokter mengatakan pertumbuhan janinnya sudah normal dan sehat. Hanya perlu menjaga asupan gizi. Dirga pun pernah bertanya tentang berhubungan intim pada dokter. Sepertinya hanya untuk ini.“Apakah kau sudah merasa lebih baik?”Entah kenapa Davina mengangguk dan bibirnya langsung ditangkap oleh Dirga. Pria itu melumatnya dengan rakus meski tetap berhati-hati agar tak menyakitinya.“Katakan kalau aku membuatmu tak nyaman,” bisik Dirga tanpa melepaskan pagutannya. Membaringkan tubuh Davina dengan lembut sementara tangannya mulai menelusup ke balik pakaian tidur gadis itu. Menyentuh kulit telanjang Davina yang mulut dan lembut. Luapan gairahnya begitu besar. Bagaimana tidak? Sudah sebulan penuh sejak gadis itu keluar dari rumah sakit, Dirga mati-matian menahan hasratnya setiap kali melihat kulit Davina ketika pakaian gadis itu tersingkap, atau ketika gadis itu sedang berpakaian, atau bahkan ketika melintas di depannya dan aroma manis yang tertangka
Clay terbahak dengan keras, menarik tubuhnya menjauh dan membiarkan Reyna berdiri dengan kedua kaki wanita itu. “Kau pikir aku percaya dengan omong kosongmu?”Reyna mendorong dada Clay dengan kasar. “Terserah kalau kau tak mempercayainya.”“Kau pikir Dirga akan menikahimu??” tanya Clay lagi sambil menahan tawa gelinya. “Ya, hentikan harapanmu sendiri, Reyna baby. Aku akan menjadi saksi terkabulnya impianmu.”Mata Reyna melotot tak terima dengan ejekan tersebut, ia merapikan pakaiannya dan berbalik. Menghilang di ujung tangga.*** Di meja makan, Clay tak berhenti menahan tawanya. Melihat bagaimana Dirga memberikan perhatian pada Davina, sementara Reyna hanya duduk dengan wajah merah padam menahan iri dan dengki. Saat pandangannya bertemu dengan Reyna, wanita itu mendelik penuh peringatan, yang tak digubrisnya.“Suasana hatimu tampak bagus hari ini,” komentar Dirga melirik ke arah Clay yang masih melengkungkan senyum semringah.“Hmm, ya. Sangat bagus. Jadi, Davina …” Clay menoleh ke ar
Davina tentu saja terkejut dengan permintaan Reyna tersebut. Bertanya-tanya apa tujuan wanita itu ikut ke rumah sakit bersamanya. Matanya melirik ke arah Dirga yang terdiam, tampak berpikir keras. Untuk pertama kalinya, Davina merasa kesal dengan pria itu tanpa alasan yang jelas. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa Dirga dibandingkan Reyna di hidup pria itu. Tetapi … bukankah aneh jika Reyna ingin ikut ke rumah bersama mereka untuk memeriksa kandungannya. Kalau begitu ia hanya perlu memberikan pria itu pilihan yang lebih mudah. Ia menarik tangannya dari tangan Dirga dan berkata, “Dirga, kepalaku sedikit pusing. Sepertinya aku tidak ingin ke rumah sakit.” Dirga menoleh, hendak tetap mempertahankan tangan Davina tapi gadis itu sudah melangkah pergi. Mendesah pelan, ia menatap Reyna yang menampilkan sesal di wajah. “A-apa aku melakukan kesalahan? A-aku hanya penasaran dan melihat bagaimana pemeriksaannya. Kau tahu, aku … aku sudah tiga tahun menikah dan Mickhael menceraikanku karena ak
Davina mencari-cari Dirga di sekitar lift dan tak menemukan pria itu sebelum memutuskan masuk ke dalam lift dan turun ke lantai bawah. Sepertinya pria itu menunggu di tempat parkir rumah sakit. Ia menyeberangi lobi yang luas dan berhenti di teras sejenak ketika sebuah ambulance berhenti di area samping rumah sakit yang mengarah ke ruang IGD. Matanya menyipit, menajamkan penglihatannya ketika menemukan sosok kurus dan tinggi yang mengenakan jas putih, bergegas menghampiri mobil ambulance yang baru saja berhenti. Beberapa perawat laki-laki membuka pintu belakang ambulance dan sebuah brankar dorong ditarik keluar. Senyum melengkung di kedua ujung bibirnya melihat keseriusan di wajah Ega yang bisa ditangkapnya dari jarak yang cukup jauh. Namun, senyum itu hanya bertahan selama sedetik, ketika detik berikutnya Davidlah yang melompat turun. Dengan darah yang mengotori pakaian pria itu. Kaki Davina segera melangkah mendekat, setengah berlari menghampiri Ega dan David yang mendorong branka
"A-aku ... maaf. Tadi David mengatakan ... Aku hanya ingin memastikan itu bukan kau, kan?" Suara Davina terbata. Waspada dengan perubahan emosi di wajah Dirga yang siap diluapkan kepadanya. Dirga terdiam, menatap mata Davina yang berkedip gugup dan tentu saja ia memahami tuduhan tersebut. "Tidak. Bagaimana aku tahu apa yang terjadi dengannya," jawabnya kemudian dengan suara setenang mungkin, menyembunyikan kekecewaan yang muncul di dadanya. Ya, Davina jelas tak akan memberinya sebuah kepercayaan. Ia juga bukan orang yang akan dipercaya Davina melebihi kepercayaan gadis itu pada Brian, David, atau Ega sekalipun. "Jadi berhenti menatapku seperti aku pelakunya." Davina mengangguk. "Aku ... aku tak bermaksud menuduhmu. Hanya saja, bisakah kau tak menyentuh mereka. Hanya mereka satu-satunya hal yang kumiliki di dunia ini." "Brian? David? Apakah Ega juga termasuk?" Salah satu alis Dirga terangkat. Dengan kesinisan yang tak bisa ditahannya. "Jadi anak itu rupanya bukan termasuk hal palin
Part 44 Ibu PenggantiSatu jam kemudian, keduanya sampai di rumah. Davina langsung naik ke lantai atas sedangkan Dirga pergi ke ruang keamanan untuk mengecek CCTV. Memastikan semuanya bekerja.Langkah Davina melihat banyaknya barang-barangnya yang diletakkan di ruang santai. Kantong-kantong belanjaan tergeletak di sofa dan meja, beberapa di lantai. Tak hanya itu, juga ada boks untuk bayi yang berwarna merah muda, boneka-boneka dan berbagai macam kebutuhan untuk bayi hampir memenuhi ruang santai tersebut.Davina melangkah lebih dekat, membuka kantong berwarna biru muda yang berada paling dekat dengannya dan mengintip isinya. Senyum seketika memenuhi wajahnya menemukan sepatu mungil berwarna merah muda. Lucu dan menggemaskan. Dan tak hanya itu, semua kantong-kantong tersebut berisi pakaian, topi, satung tangan, kaos kaki. Sepertinya tidak ada yang tertinggal untuk menyambut hari persalinannya tiba.“Kau sudah pulang?” Suara Reyna tiba-tiba muncul di belakang Davina. Menampilkan senyum t
“Aku akan mengurusnya, Reyna. Tak ada yang perlu kau khawatirkan tentangku.” Dirga menjawab setelah keheningan yang lama sempat terbentang di antara mereka. Satu-satunya hal yang pasti adalah ia tak akan melepaskan Davina. Kepasrahan, hidup, dan bahkan pengkhianatan gadis itu akan menjadi miliknya. Reyna tercengang dengan jawaban tersebut. Kekecewaan merebak di seluruh permukaan wajah wanita itu. “Apa artinya itu,Dirga?” Dirga pun tak tahu. “Maaf. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu?” “Apakah maaf bisa menyelesaikan semuanya? Mengembalikan kekecewaanku padamu.” Suara Reyna lebih keras dan mulai emosional. “Aku memahami kekecewaanmu, Reyna. Tapi … sepertinya harapanmu yang terlalu besar dari yang kuberikan padamu. Kau tak mungkin salah paham dengan keinginanku darimu, kan?” Pertanyaan Dirga jelas menamparnya dengan keras. Ya, harapannya yang terlalu besar dari Dirga. Tapi … “Tetap saja ini tidak benar, Dirga. Apa gadis itu sudah mulai mempengaruhimu? Kau peduli padanya? Atau … a
“Apakah aku salah?” “Itu cincin pernikahan, Davina.” Kat-kata itu keluar begitu saja dari mulut Dirga dan terdengar seperti sebuah rajukan baginya. SIalan. Bagaimana mungkn Davina menganggap itu hanya sebuah cincin. Davina terdiam. “Cincin pernikahan?” ulangnya dengan suara yang lebih lirih. “Cincin pernikahan yang kau rebut dari Ega. Semua ini hanya permainan yang berhasil kau menangkan darinya dan David, Dirga. Sekaligus dendammu yang masih berlum terpuaskan. Tapi aku akan berusaha menemukannya untukmu. Atau menggantinya.” Kata-kata Davina berhasil menampar Dirga dengan keras. Pria itu terpaku, tapi pegangannya pada tangan gadis itu melonggar. Membiarkan Davina berjalan keluar kamar mandi setelah berkata akan menyiapkan pakaian ganti untuk Dirga. Dirga masih tertegun lama di kamar mandi. Dengan kata-kata Davina yang tak berhenti berputar di kepalanya. Dan sumpah serapah dalam batinnya. Kenapa ia begitu gusar Davina menganggap pernikahan ini sebuah permainan. Bukankah memang itu