Dirga segera membawa tubuh Davina ke dalam gendongannnya dan membawanya ke tempat. Memastikan tidak ada pecahan pot yang mengenai kaki Davina sebelum mengalihkan perhatian pada gadis itu. “Apa kau tahu jam berapa ini?” bentaknya dengan kesal. Mengangkat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.36 pagi. Davina hanya menggeleng. Ia hanya tahu malam sudah larut hanya tak memastikan jam berapa. Malam seolah terasa panjang dalam dua hari terakhir karena kesulitan tidur. Membuatnya sering tidur pagi dan terlambat bergabung di meja makan. Lengkap dengan kantung hitang di bawah matanya. “Kau sengaja membahayakan dirimu, hah? Kau pikir apa yang akan terjadi pada kalian jika aku tidak datang tepat waktu?” Ya, tadi ia baru saja dari kamar Reyna untuk membawakan segelas air putih dan hendak menuju ruang kerjanya ketika melihat lampu kamarnya yang masih menyala dari celah bawah pintu. Ia masuk dan melihat tempat tidur yang kosong, pintu kamar mandi terbuka tapi tak ada siapa pun. Dan saat
Davina menggeleng. “T-tidak.” “Tidak apa?” Salah satu alis Dirga terangkat, ada tatapan geli yang mengejek di kedua mata pria itu. “Jangan lakukan itu, Dirga. Kumohon. Hanya biarkan saja dia.” “Apakah kau mencoba menjadi pahlawan untuk anak itu?” dengus Dirga. “Bahkan kau saja selalu membutuhkan bantuan dan merepotkanku. Sekarang dengan sok baik dan sok tulusnya kau mengatakan akan mempertahankannya meski dia hanya akan memberimu penderitaan, begitu?” “Lalu apa kau akan membunuhnya? Begitu saja seolah-olah dia tak berarti apa pun bagimu yang memang tak punya hati. Setelah semua yang kau lakukan untuk anak ini?” Dirga tampak terdiam, sejenak. “Mungkin ini pilihan terbaik untuk kita berdua? Ah, kita bertiga.” “Itu hanya keegoisanmu,” tandas Davina. Dirga menyeringai. “Lalu kenapa kalau itu memang keegoisanku?” Mulut Davina seketika terkatup rapat. Dirga mendengus tipis, melangkah ke arah pintu. “Kenapa kau begitu labil, Dirga?” Suara Davina nyaris menyerupai teriakan. Emosi be
“Dirga?” Sesil membelalak terkejut, tetapi kemudian pandangannya beralih pada gadis yang berdiri di samping pria itu, dan langsung tertuju pada perut sang gadis yang membuncit. “K-kau … sudah menikah?” Dirga melirik ke arah Davina. “Kau hamil?” Sesil tak menggubris, raut wajahnya seketika berubah semringah dan mendekati Davina. Mengulurkan tangan dan berucap dengan lembut. “Hai, perkenalkan, namaku Sesil. Temannya Dirga. Kau?” Davina tampak meragu setelah sempat terkejut dengan nama Sesil. Apakah ini kekasih Dirga yang bernama Sesil? “Siapa namamu?” Davina mengerjap dan membalas uluran tangan wanita itu. “D-davina.” Senyum Sesil semakin mengembang. “Nama yang cantik. Jadi, berapa usia kehamilanmu?” “Lima bulan.” “Selamat untuk kalian berdua.” “Dari mana kau tahu dia anak Dirga, Sesil?” sergah Saga sedikit kasar. “Dan belum tentu bocah ini istrinya?” Sesil menatap Dirga dan Davina. “Ck, kenapa kau selalu berpikiran buruk tentang Dirga, Saga. Dirga tak mungkin menghamili wani
Wajah Davina berubah dingin. Begitu pun suaranya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Cla mendesah pendek sembari mengangkat kedua tangannya. “Aku sudah ada di sini sejak …” Ia mengangkat pergelangan tangannya. “Lima menit yang lalu.” Kening Davina berkerut sementara tangannya bergerak menyeka air mata yang masih membasahi pipi. “Akulah yang seharusnya bertanya padamu. Kenapa kau bisa ada di sini sendirian, Anak Bandel? Ke mana suamimu?” “Dia bukan suamiku,” sangkal Davina yang membuat Clay terkekeh geli. “Kau tak pernah menyangkal sebelumnya. Kenapa kalian berdua terlihat seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar?” Davina seketika terdiam. Kembali beralih pada sang paman. “Kenapa paman masih berhubungan dengannya? Dia pasti memiliki niat buruk pada paman.” “Seperti melakukan percobaan pembunuhan pada pamanmu?” celetuk Clay. Brian hanya tersenyum tipis akan kekhawatiran Davina. Menggenggam kedua tangan gadis itu dengan lembut. “Tenanglah. Tak ada yang perlu kau khawatir
Davina menatap pintu keluar rumah sakit untuk yang kesekian kalinya dan Dirga masih belum muncul juga. Entah apa yang dibicarakan oleh Dirga dengan pamannya dan Clay. Begitu keluar dari ruang perawatan sang paman, ada seorang pengawal yang mengarahkannya ke lantai bawah dan langsung menuju tempat parkir, kemudian menunggu di samping gedung. Dengan posisi yang akan langsung dilihat dari pintu keluar.Rasanya begitu lama menunggu. Hingga akhirnya pria itu muncul dan tak menunggu lama untuk duduk di samping Davina."Adakah yang ingin kau jelaskan dengan kelancanganmu tadi?" Dirga jelas tak butuh basa basi untuk pembelaan Davina. Ia masih kesal atas sikap gadis itu di ruang dokter, sekaligus tak berani bersikap lebih keras mengingat apa yang sedang mencoba mengintai mereka.“Semuanya baik-baik saja, kan. Jadi tidak ada alasan kau harus membunuhnya.”“Kau terdengar seperti peduli padaku.”“Sikapmu terlihat seperti peduli padaku.”Kata-kata Davina berhasil menampar Dirga dengan keras. Wajah
Satu jam kemudian, keduanya berbaring telanjang di tengah tempat tidur. Dengan berbantal lengan Dirga, Davina mulai mengantuk dalam dekapan pria itu. Ya, bagaimana tidak. Setelah percintaan panas mereka, tenaganya benar-benar dikuras habis. Dan jika ia tidak memperingatkan Dirga tentang kehamilannya, bisa dipastikan mereka pasti masih bergulat di tempat tidur. Senyum tersamar di ujung bibir Davina. Masih ada sedikit kepedulian Dirga yang masih tersisa untuk anak dalam kandungannya. Dirga sedikit menundukkan wajahnya, mengamati wajah lelah Davina yang mulai bernapas denga teratur dan tubuh yang mulai ileks dalam pelukannya. Satu tangannya terulur, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya mencermati wajah mungil gadis itu. Meski mata Davina terpejam, tetap saja ia bisa melihat kebeningan kedua mata madu tersebut dalam pandangannya. Bulu mata yang panjang dan lentik, alis yang melengkung halus, hidungnya yang mancung, mungil dan lancip dan disempurnakan dengan bibir
Part 53 Jatuh Cintakah? Davina baru saja melepaskan kaosnya ketika pintu tiba-tiba dibuka dan ia memekik pelan melihat Dirga yang melangkah masuk. “Aku belum selesai, Dirga,” sergahnya. “Paman sialanmu.” Dirga mengulurkan ponselnya. Melihat kedua tangan Davina yang berusaha menutupi ketelanjangan dengan kaos yang sudah dilepas. Sekaligus kesulitan untuk mengulurkan tangan. Dirga pun maju, menangkap pinggang Davina dan memutar tubuh gadis itu hingga punggung menempel di dada. Sementara tangannya yang lain menempelkan ponsel di telinga kiri. “Bicaralah,” bisik Dirga di telinga kanan, mendaratkan kecupan di pundak. Davina terpaku, jantungnya berdegup kencang dengan kontak fisik tersebut. Wajahnya mulai memanas, tetapi segara menyadarkan diri ketika suara dari seberang memanggilnya. “Davina? Kau di sana?” “Y-ya, Paman.” Davina berhasil menghilangkan getaran dalam suaranya. “Kau baik-baik saja?” “Ya, tentu saja. Paman?” “Sama. David ingin bertemu denganmu.” Davina melirik ke samp
Tidak mungkin, bukan? Semua perasaan yang bergejolak di dadanya karena ia terbawa emosi karena kesensitifan atas kehamilan ini. Anak ini adalah anak Dirga. Tentu saja anak ini memiliki ikatan batin yang cukup kuat dengan sang ayah. Sementara janin ini bertahan hidup di tubuhnya. Sehingga semua reaksi aneh itu bermunculan di dadanya. Ya. Semua ini hanyalah salag satu dampak dari kehamilannya. Ia tak mungkin jatuh cinta dengan Dirga meski semua kecemburuan itu telah ia akui. Semua kecemburuan itu karena …. kepala Davina kembali pusing ketika menelaah lebih dalam perasaan macam apa yang sebenarnya tumbuh di dalam hatinya ini. Ia hanya merasa sangat senang. Dadanya begitu sesak oleh sesuatu yang menyenangkan tersebut. "Apa yang kau pikirkan?" Pertanyaan Dirga membangunkan lamunan Davina. Davina tersentak pelan dan menggeleng dengan cepat. Kerutan membentuk di kening Dirga akan respon Davina yang menggemaskan tersebut. Ujung bibirnya tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap ccokla