"Seharusnya, kau beritahukan di mana hartamu itu!"
Teriakan kejam dari ketua gangster itu begitu mengerikan.
Sayangnya, hujan yang turun begitu deras seolah menutupi jerit ketakutan yang memenuhi rumah besar di ujung jalan.
Padahal, keluarga Determine sedang menghadapi malam terburuk dalam hidup mereka.
Kris Determine, sang pengusaha sukses yang dikenal karena ketangguhannya, sudah terkulai lemah dengan darah mengalir dari pelipisnya.
Di hadapannya, sang istri, Leoni, dan anak sulung mereka, Arga, diikat dan ditutup matanya.
Hanya Ziva, anak perempuan mereka yang baru berusia tujuh tahun, yang berhasil diselamatkan oleh salah satu anak buah setia Kris, Black D.
Keduanya bersembunyi di ruang rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga dan orang-orang terdekat.
Dor!
Tiba-tiba terdengar suara tembakan, menggema di seluruh rumah. Ziva menutup telinganya dan mulai menangis, tapi Black D tidak bisa membiarkan dirinya terbawa emosi. Dia harus segera membawa Ziva keluar dari situasi mengerikan ini.
Black D mengaktifkan ponselnya, mengirimkan pesan darurat kepada rekan-rekan di luar. "Operasi penyelamatan segera dimulai," tulisnya singkat.
Sungguh, setiap detik sangat berharga.Black D lantas menggenggam tangan Ziva erat-erat, bersiap untuk membawa gadis kecil itu keluar dari rumah yang kini menjadi neraka. "Kita harus pergi sekarang," bisiknya lembut, menghapus air mata Ziva.
“Ke mana, Om Bek?” tanya Ziva dengan nada yang gemetaran.
Black D atau yang akrab dipanggil ‘Bek’ oleh anak majikannya itu tak tega melihat raut ketakutan dari wajah Ziva. Ia mendekap wajah Ziva seolah-olah memberinya semangat baru di saat-saat mengerikan itu.
“Ziva harus kuat, selamatkan ini,” ucap Black D mengelus kalung Ziva yang terbuat dari berlian itu.
Ziva hanya mengangguk dan menuruti setiap perkataan anak buah ayahnya itu.
Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap keluar, meninggalkan rumah yang telah berubah menjadi saksi bisu pembantaian malam itu. Misi Black D sekarang bukan hanya melindungi Ziva, tetapi juga mengungkap siapa di balik serangan brutal ini dan apa motif sebenarnya mereka.
Sebuah perjalanan panjang dan berbahaya baru saja dimulai, dan mereka tidak tahu apa yang menunggu di depan.
Sayangnya, tanpa mereka sadari, Kris kini terbatuk darah di ruang tamu.
Kekuatannya semakin menipis.
"Anakku... selamatkan Ziva, D... di-dia… har-harta…" bisiknya dengan napas terakhir sebelum dunia menjadi gelap bagi Kris Determine.
Para gangster sontak terkejut.
Satu hal menjadi jelas bagi mereka: Ziva adalah kunci untuk mengungkap rahasia dan harta yang disimpan Kris.
Dan mereka harus menemukannya!
"Hei, lihat jalan dong!" Seorang gadis dari grup populer di kampus Sun Rise membentak Ziva begitu saja.Padahal, dialah yang berjalan sambil bercanda tawa, hingga buku-buku Ziva jatuh berserakan di tanah.Hal itu sontak membuat Ziva memandang mereka dengan tatapan dingin. "Kalian yang harusnya lebih berhati-hati," jawabnya singkat namun tajam, sambil mulai memunguti buku-bukunya.Raka, pemimpin kelompok mahasiswa populer itu, sontak melangkah maju. "Maaf, kita nggak sengaja," katanya dengan nada lebih lembut.Dia mencoba meredakan ketegangan.Sayangnya, Raka dan teman-temannya tak menyangka dengan ucapan Ziva selanjutnya."Kalian pikir permintaan maaf bisa memperbaiki segalanya?" Suasana di sekitar mendadak tegang.Teman-teman Raka bahkan menatap Ziva dengan pandangan tak percaya.Biasanya, semua orang berusaha mendapatkan perhatian mereka, tapi gadis ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya terlihat tak tersentuh."Dengar ya, jangan sok jagoan di sini," ancam Dom, salah satu pemud
"Aku tidak tertarik," jawabnya tanpa basa-basi, kemudian berbalik meninggalkan Raka yang terdiam dan dua siswa yang masih kebingungan. Dia memilih lanjut ke kelas lainnya. Namun di dalam kelas, Ziva menatap kehadiran salah satu siswa yang baru saja masuk dari pintu kelas. Walau telihat biasa saja, namun di mata Ziva mahasiswi itu tampak kebingungan. “Apa kamu lihat-lihat? Tidak pernah ya melihat gadis cantik sepertiku?” ucapnya tiba-tiba pada Ziva. Ekspresi Ziva sama datarnya saat melihat mahasiswi itu. “Murah!” ucap Ziva pelan, namun menyakitkan. Seketika itu juga gadis itu murka. Rautnya berubah, wajahnya memerah. “Apa maksud kata kamu itu?” “Aku melihat semuanya, perempuan kotor!” pekik Ziva. Seluruh pandangan tertuju pada Ziva, menyaksikan kegaduhan walau belum tau pasti maksud dari Ziva. “Awas kamu, Ziva!” ancam Celine dengan geramnya. Ia kembali ke bangkunya. Ziva tersenyum sinis. Siswi itu sangat dibenci oleh Ziva, begitupun sebaliknya. Sepulang dari kampus, Ziva be
"Hai, Leon," sapa Ziva dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan motifnya. "Boleh aku duduk di sini?" Ya, Ziva melihat Leon yang pergi ke kantin. Dengan cepat, Ziva memutuskan untuk mengambil langkah pertama--menghampiri pria bernama belakang Bearpo itu! "Tentu, silakan," jawab Leon tampak terkejut namun senang. "Ziva, kan? Aku ingat kamu dari kelas tadi." Ziva duduk dan memandang Leon dengan mata penuh perhatian. "Ya, betul. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Jadi, bagaimana rasanya pindah dari Inggris ke sini?" Leon menghela napas lega. "Cukup berbeda, tapi menyenangkan. Semua orang di sini sangat ramah." Ziva tersenyum tipis. "Senang mendengarnya. Nama keluargamu, Bearpo, terdengar unik. Apakah ada cerita di balik nama itu?" Leon tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya, itu nama keluarga lama yang diwariskan dari kakek buyutku. Tidak banyak cerita menarik, hanya sejarah keluarga biasa." Ziva mengangguk, berusaha menyingkap lebih banyak informasi tanpa terlihat terlalu m
Saat kelas Sosiologi berakhir, Ziva bahkan mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Bersiap untuk pulang dengan sepedanya. Namun, hari ini, Leon kembali mendekatinya dengan senyum ramah. "Ziva, mau pulang bareng? Aku bawa mobil hari ini," tawarnya sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ziva melirik ke arah mobil Leon yang terparkir di dekat gerbang sekolah. Mobil mewah itu memancarkan kesan eksklusif dengan logo yang familiar di bagian depan. Logo yang sama dengan yang dilihatnya pada orang-orang yang melayani bos tua dengan tongkat mahal. "Terima kasih, Leon, tapi aku lebih suka pulang dengan sepeda. Rumahku tidak terlalu jauh," jawab Ziva, berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Leon tampak sedikit kecewa, namun dia menghormati keputusan Ziva. "Baiklah, hati-hati di jalan ya." Ziva mengangguk dan mengayuh sepedanya menjauh, namun pikirannya terus bekerja. Dia memutuskan untuk mengikuti Leon dan mencari tahu lebih banyak. Dengan hati-hati, dia mengikuti mobil Leon yang m
Beberapa hari telah berlalu. Suasana di gymnasium kampus sangat meriah, dipenuhi oleh sorak-sorai dan semangat para mahasiswa yang datang untuk menyaksikan pertandingan. Bendera, poster, dan yel-yel terdengar riuh mengiringi pertandingan yang akan dimulai. Dua tim yang paling ditunggu-tunggu adalah tim "Wings" yang dipimpin oleh Leon dan tim "Rabbits X" yang dipimpin oleh Raka. Ziva duduk di bangku penonton, hatinya berdebar kencang. Meski fokus utamanya adalah menyelidiki Leon, dia tidak bisa menahan perasaan gugup dan semangat untuk pertandingan ini. Saat Leon dan Raka masuk ke lapangan, sorak-sorai semakin menggema. Pertandingan dimulai dengan cepat. Tim "Rabbits X" langsung mengambil alih kendali permainan. Raka, dengan kelihaiannya, berhasil mencetak beberapa poin awal, membuat timnya unggul. Penonton bersorak gembira, namun Ziva tetap tenang, matanya terus mengikuti gerak-gerik Leon. Di babak pertama, tim "Rabbits X" unggul jauh. Raka menunjukkan kemampuannya yang luar biasa,
Sayangnya, Ziva tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, malam harinya, Ziva duduk di kamar. Merenung tentang semua kejadian yang menimpanya. Dia masih belum berbicara dengan Black D, yang sejak awal melarangnya untuk ikut campur urusan kelompok beruang. Setiap kali membahas insiden 14 tahun lalu, dan membahas segala sesuatu tentang masa lalu. Namun, ketegangan di antara mereka terasa semakin tak tertahankan. Tok tok tok! Black D mengetuk pintu kamar Ziva. Dia masuk dengan wajah penuh beban, membawa sebuah kotak kecil di tangannya. "Ziva, ada sesuatu yang harus kuberikan padamu." Ziva menatapnya dengan bingung. Black D membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan sebuah cincin emas yang indah. "Ini milik ibumu, Nyonya Leoni. Dia memberikannya padaku untuk diserahkan kepadamu ketika kau sudah dewasa." Ziva terdiam, menatap cincin itu dengan mata berkaca-kaca. Ziva melanjutkan dengan suara yang semakin berat, "Ziva, aku mungkin tidak punya banyak waktu lagi. Kelompok beruang sedang memburuk
"Ziva, bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah tanganmu masih sakit?" Esok harinya di kampus, Ziva berjalan ke kelas dengan tangan yang masih diperban. Begitu memasuki kelas, dia langsung disambut oleh Leon yang sudah menunggunya di meja. Ziva sontak tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Leon. Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit kemarin." Leon terus memperhatikan Ziva sepanjang hari, memastikan dia tidak terlalu kesulitan dengan tangan yang diperban. Raka, yang biasanya selalu memperhatikan gerak-gerik Ziva, kini mulai merasa segan terhadap Leon setelah insiden di toilet kemarin. Namun, dia masih memantau dengan hati-hati, meskipun dari kejauhan. *** Saat pulang dari kampus, Ziva kesulitan menaiki sepeda karena tangannya yang masih terluka. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Leon yang melihat Ziva berjalan kaki, segera memarkir mobilnya di dekatnya dan memaksa untuk membawanya pulang. "Ziva, biarkan aku mengantarmu pulang. Kau tidak perlu berjalan kaki d
Hari berikutnya di kampus, suasana terasa lebih santai. Di kafetaria, Ziva duduk sendirian dengan segelas kopi di tangannya. Dia sedang merenung ketika Leon mendekatinya dengan senyum lebar."Ziva, aku punya sesuatu untukmu," kata Leon sambil duduk di sebelahnya. Dia mengeluarkan sebuah kartu undangan khusus dari sakunya dan memberikannya kepada Ziva.Ziva mengambil kartu itu dengan rasa penasaran. "Apa ini, Leon?""Besok adalah ulang tahunku, dan aku ingin mengundangmu ke pestaku. Akan ada banyak teman dan keluarga. Aku harap kau bisa datang," kata Leon dengan penuh harap.Ziva membuka kartu undangan itu dan membaca isinya. "Terima kasih, Leon. Aku akan mencoba datang."Leon tersenyum puas. "Aku senang mendengarnya. Aku akan memastikan ini menjadi malam yang tak terlupakan."Namun, di sudut lain kafetaria, Raka melihat obrolan antara Leon dan Ziva dengan tatapan penuh dendam. Dia merencanakan sesuatu untuk merusak pesta ulang tahun Leon, merasa bahwa ini adalah kesempatan sempurna u