Linar merasakan dadanya sakit, kempas-kempis dada ini karena napas yang kian memburu dan ulu hati yang seperti di tusuk merasuk, sakit!
Linar mendorong dada suaminya setengah tenaga yang tersisa, menolak usapan ringan yang ia beri pada pipiku yang bergelimang air mata.
"Kamu nyakitin aku, Mas! Kamu buat aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu jadi sering pulang larut malam. Aku setengah mati menahan bertanya pada teman-teman kamu sebagai bukti aku percaya sama semua kata-kata bohong kamu! Aku menahan malu ketika keluarga kamu bertanya keberadaan kamu semalaman, sekuat hati aku jaga kehormatan kamu yang ninggalin aku gitu aja!"
"Lin," gumamnya.
"Dan sekarang udah terbukti, 'kan! Kamu selingkuhi aku dengan wanita yang mengejek aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu, memangnya dia tahu apa tentang usaha aku jadi istri kamu, hah! Kamu bicara apa aja sama dia tentang aku, Mas, JAWAB!" sentak Linar emosi.
"Demi Tuhan, Aku nggak pernah ngejelekin kamu ke dia, atau siapa pun Lin! AKU NGGAK SEJAHAT ITU!"
Linar menyeringai sedih. Menggelengkan kepalanya dua kali "Jadi, kamu bicara apa aja tentang aku? Sampai dia berani berkomentar tentang aku, hah?!"
Dean menyoroti Linar dengan tatapan mengalah, di saat itu isak tangisku semakin menggelegar, karena menyadari jika Dean tak sampai hati mengaku tentang itu, yang artinya....
Sekuat hati aku tak menutupi wajahku yang menangis kesakitan. Sengaja menampilkan semua rasa sakitku. Mencoreng kata-kata manis yang pernah diucapkannya dulu, untuk jangan menangis karena ada aku, hah?! Bulshit!! Brengsek!
Dean melangkah dan meraih bahu Linar lembut, tangan kanannya mengarahkan kepalaku pada dada bidangnya yang lebar.
Linar pun membiarkannya tanpa membalas, menangis tepat di depan dadanya yang berdetak cepat, suhu tubuhnya terlalu hangat dengan wajah yang masih memerah karena menahan emosi.
Dua puluh detik berlalu. Isak tangis mereda bersamaan dengan cumbuan yang ia berikan di kening dan pucuk kepala Linar selama aku menangis.
Setelah berhasil mengendalikan deru napasku, Linar mendorong dadanya setengah tenaga tersisa. Menciptakan jarak sepanjang lenganku.
Aku mendongak tersenyum tegar. Melihat wajahnya yang baru terlihat jelas, aku tahu dia kalut sekarang! Hah, tentu saja. Dia baru saja dipergoki saat mereka memulai bercinta bukan?
"Kenapa?" Aku masih tersenyum menatapnya.
"Jawab dong, Mas! Semuanya ada alasannya, 'kan? Tolong jangan nyiksa aku karena pikiran-pikiran yang menyerang kepala aku dong, Mas! Apa alasannya kamu selingkuhin aku?!"
Kali ini Linar berhasil melepaskan diri, berdiri tegak sambil bersedekap kedua tangan di atas perut, mencoba tegar mendengar jawabannya.
Namun Dean menggeleng dengan bola mata yang berkaca-kaca, memilih keras kepala tak mau buka suara.
"Ayo pulang, kita berdua butuh istirahat terutama kamu, Lin. Kamu terlihat pucat. Kamu udah makan malam belum, sih?"
Dengan kepala menengadah, mulutku terbuka tak percaya dengan perhatiannya kemudian melihatnya lagi.
"Nggak nyambung, Mas! Kamu tahu jawaban yang aku tanya bukan itu, kamu sendiri yang selalu marah, kalau aku menunda-nunda sesuatu. Kamu 'kan yang bilang kalau ada apa-apa itu bertanya, diobrolin, saling dengar bukannya hasil omongan orang langsung dipercaya mentah-mentah iya 'kan Mas? Dan sekarang aku lagi mempraktekkan Itu ke kamu!"
"Tapi bukan di sini. Linar! Di samping pintu tangga darurat, bukan sekarang di saat kamu lagi kalut begini. Atau aku akan,-"
Hening ...
Deg ... Deg
Bola mata Dean semakin berkaca-kaca. Dia berbalik dan menendang keras pegangan tangga dua kali, dan dia terus memukul dengan kepalan tangannya dan berteriak kasar.
"Aaarrrggghhh ...!"
Linar terkesiap menghadapi amukan suamiku, spontan ia melangkah mundur dua langkah menjauh
"Kontrol emosi kamu, Mas! Sebelum seseorang mendengar kamu dan melabrak kita! Ini tempat orang, stop berulah, Mas!"
Berhasil! Dean berhenti, tapi sebagai gantinya, dia menatap lurus ke arahku, tak apa yang penting tak ada yang menemukan kami dan bertanya, 'ada apa?'
"Harusnya kamu nggak disini, Linar!" Dean menatap nyalang ke arahku yang terkesiap mendengar teriakan frustasinya.
"Harusnya kamu di rumah sekarang! Harusnya kamu bukan di sini! Harusnya kamu ... kamu-" Dean menjeda masih menatapku dalam.
Dean menjenggut rambutnya sendiri kasar, kemudian dia berbalik mendorong dinding tepat di samping kepalaku. Kedua tangannya memenjarahiku dia menunduk tangan kirinya mengangkat daguku.
"Malam ini cukup di sini, aku capek! Dan aku tahu kamu pun sama. Ayo kita pulang!" ucapnya tegas dan menarik pergelangan tangan kiri ku lalu membawa kami keluar ke arah lift.
"Oh, aku pikir kamu masih butuh waktu marah-marah di sini atau ... kamu mau balik lagi ke kamar wanita kamu .. ya, silahkan aja, Mas!" ucapku datar.
Kupastikan suaraku pelan, tapi pasti masih bisa didengar olehnya, yang dibalas dengan mempercepat langkahnya.
"Malam ini cukup di sini, aku capek dan aku tahu kamu pun sama. Ayo kita pulang!" Ucapnya tegas dan menarik pergelangan tangan kiri ku lalu membawa kami keluar ke arah lift.
"Oh aku pikir kamu masih butuh waktu marah - marah di sini atau ... kamu mau balik lagi ke kamar wanita kamu .. yah silahkan aja Mas" ucapku datar.
"Oh aku pikir kamu masih butuh waktu marah - marah di sini atau ... kamu mau balik lagi ke kamar wanita kamu .. yah silahkan aja Mas" ucapku datar .
Kupastikan suaraku pelan tapi masih bisa di dengar olehnya tapi ia malah membalas dengan mempercepat langkahnya.
Dan untung saja pintu lift segera terbuka di susul derap langkah kaki lebar milik suamiku dan aku yang terasa di seret, dan durhakanya dengan spontan aku membuang wajah ke samping saat suamiku mengambil tepat di sampingku dan menoleh ke arahku.
***
Aku memilih tetap bungkam hingga kami terus melaju di atas mobil milik suamiku, oh tak hanya aku yang badmood.
Dean juga diam tak banyak tingkah. Aku melihat arlojiku menunjukkan pukul 20.08 malam, masih lama menuju jam tidur lagipula aku ingin ice cream sekarang, aku butuh hiburan dengan menghabiskan semangkuk ice cream berbagai varian rasa tentu di tempat yang teduh dan sepi agar aku bisa mengalihkan rasa sakit sejenak.
End Linar POV
Bak gayung bersambut statusnya di media sosial di balas direct message oleh temannya yang mengaku memiliki tujuan searah.
Dean melihat senyum lega tersungging tipis di sudut bibir istrinya, memangnya siapa yang tengah ber balas pesan dengan Istrinya? Pikirnya dalam hati.
Namun dia masih urung bertanya, tahu jika Istrinya akan menolak menjawab.
Dean menghentikan laju Mobilnya tepat di depan gerbang kediamannya, menekan tombol ke arah gerbang otomatis, menunggu remot kontrol menjalankan fungsinya.
"Tolong buka kunci pintu mobilnya!"
Dean menoleh dan mendapati Linar yang menegaskan pintanya dari isyarat tubuh khas Linar jika sedang badmood. Dean menekan tombol pembuka pintu otomatis yang di Ikuti oleh gerakan Linar lekas membuka pintu mobil namun segera di tahan oleh Dean.
"Kenapa turun di sini, mau kemana kamu?"
"Aku butuh pergi, aku butuh hiburan dan waktu untuk diriku sendiri, besok aku akan pulang kok, Mas."
"Maksudnya kamu mau kemana? Ini udah malam Lin, jangan berulah deh!" seru Dean yang dapat pelototan oleh Linar.
"Mas, bukan aku yang berulah di antara kita, tapi kamu! Yang selingkuh, cari kesenangan sendiri di saat aku harus patuh nunggu kamu sendiri dirumah! Gitu?!"
Dean memejamkan matanya frustasi.
"Ok, setidaknya kamu bilang mau kemana?!"
"Aku mau ke kedai ice cream gelato dan menginap di Kossan Tita, bolehkan, Mas?" tanya Linar merendah sembari tersenyum dua jari, tampak Linar ber alih memandang lurus ke depan. Menunggu Jawaban yang dipaksakan
"Ya, boleh." jawab Dean setengah hati dan membiarkan Linar Keluar dari mobilnya, Namun ia melupakan hal penting secepat mungkin Dean mengejar istrinya, langkahnya perlahan berkurang karena melihat seorang lelaki kemudinya setengah hati dan membiarkan Linar Keluar dari mobilnya. Namun ia melupakan hal penting secepat mungkin Dean mengejar istrinya, langkahnya perlahan berkurang karena melihat seorang lelaki kemudinya.
"Brengsek!" umpatnya menatap tajam pada seseorang yang menunggu istrinya di balik kemudi dengan kesal Dean kesal melajukan langkahnya lebar.
"Lin!" tahan Dean mencekal lengan Istrinya.
"Kenapa kamu harus minta di jemput sama Erwin, hah?" desis Dean.
Linar menangkap kilatan amarah pada bola mata Dean. Namun ia menolak mengalah, setidaknya untuk kali ini. "Karena cuma Erwin yang menanggapi dan bertanya lalu nawarin tumpangan karena dia peduli, udah jelas?"
Dan kenapa kamu harus minta diantar sama Erwin bukan sama aku!" sentak Dean marah di detik berikutnya di tatapannya Makin menggelap.
"Maksud kamu, kamu baru aja ngadu dan sekarang minta di jemput semalam ini, tepat di depan mata aku gitu?" desis Dean
Linar membalas tatap nyalang, ia tersinggung lantaran dituduh baru saja mengadu Karena ada masalah keluarganya sendiri.
"Linar?!" bentak Dean tanpa sadar Mencengkram cekalannya.
"Bro, lo lebih baik lepaskan cengkraman lo, karena Itu pasti sakit, lo sadar nggak sih lo lagi nyakitin istri lo, hah?!"
Wajah Dean memerah masih menatap istrinya yang Menunduk menahan malu karena di sudut matanya linar bisa melihat dua Orang Security tengah melihat mereka ingin tahu ditambah sudah ada dua mobil yang memelankan kendaraannya, ketika melintas di sekitar mereka
"Tolong jangan ikut campur, Win! lo itu nggak lebih dari teman lamanya istri gue! Jadi lo diem deh!" desis Dean menahan murka.
"Stop!" penggal Linar menghentikan pertengkaran mereka
"Mas, Sakit! Tolong lepasin sebelum warga komplek ini datang. menonton kita. Ok!" ucap Linar Menunjukkan cengkraman Dean lewat tatapannya yang segera dilepaskan dengan raut seakan baru tersadar.
Tak Mau membuang waktu linar berjalan dua langkah Untuk Membuka pintu mobil Erwin
"Linar!" panggil Dean membuat Linar menoleh dan menunggu Dean yang berjalan mendekat Aku nggak suka dan nggak ngizinin kamu untuk pergi dengan lelaki sialan Itu, Lin!" ucap Dean tegas.
"Mas! Cuma Erwin yang ada untuk menemani aku pergi dari kamu. Lagian kami akan jemput Yeslin, pacarnya Erwin dari kantor dan kamu denger ya, aku bukan mau pergi dan menghabiskan sepanjang malam dengan intim super romantis hanya berdua sama Erwin di hotel, aku bukan kamu atau simpanan murahan kamu Itu, Mas!" bisik Linar tegas dan segera berjalan membuka pintu mobil kasar lalu menempati kursi di sebelah kemudi.
Linar Menyibukkan dirinya pada tas tangannya menunggu selagi menyalakan mesin mobil dinyalakan.
"Pakai sabuk pengamannya Lin!"
"Apa?!" tanya Linar agak terkejut.
"Sabuk pengamannya di pakai atau mau aku bantu pasangin, ya, boleh aja, sih." tanya Erwin mengedipkan matanya jenaka yang di balas delikkan oleh Linar.
"Apa sih, Win!" sungut Linar memajukan bibirnya kesal.
"Sorry Lin, abis lo kelihatan terlalu tegang ... Masalahnya kali ini besar banget, ya?" pancing Erwin.
Linar menoleh sekilas "Jangan bahas yang itu ya, yang lain aja!" tukas Linar.
Linar menyempatkan dirinya melihat suaminya dari spion mobil yang tampak marah dengan kedua tangannya yang bertolak pinggang masih menatap kesal pada mobil hitam milik Erwin.
Linar tidak lagi menahan air mata yang menetes. Tidak peduli seberapa keras usahaku untuk tidak menangis, namun pada akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan air mata membasahi pipi dan turun hingga ke dagu, lalu menetes ke pangkuanku.
Li memandang jalan lurus di hadapanku yang cukup lengang, matanya menangkap kemunculan mobil yang aku yakini milik suamiku, melaju menyalip beberapa mobil. Aku mendengus jengkel, saat ini aku butuh lebih cepat.
“Erwin, tolong lebih cepat!”
“Kenapa? Ini jalan raya Linar. Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku rasa suamiku sedang mengejar kita, aku nggak mau tertangkap semudah itu. Aku benar-benar muak dan nggak may melihat wajahnya! Jadi percepat laju mobilnya!”
Ponsel yang aku taruh di dalam saku dadaku, berdering. ia dapat mendapati bahwa Dean meneleponnya. Dengan cepat, ia langsung menolak panggilan tersebut. Beberapa detik kemudian, ponselku menerima panggilan dari orang yang sama lagi, yang sama seperti sebelumnya. Aku tolak tanpa pikir panjang. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan dari siapapun, terutama dari Mas Dean. Buru-buru aku mematikan ponselnya agar Dean tidak dapat menghubunginku lagi. Tapi kemudian, suara klakson dan lampu tinggi yang diberikan oleh kendaraan di belakangnya mendapatkan perhatiannya. Aku semakin yakin melihat mobil yang melaju bersisian dengan mobil kami adalah mobil milik Dean, membayangkan wajah marah Dean dari balik kaca film gelap mobilnya membuat aku semakin ingin menantangnya. “Sepertinya, Dean nggak akan melepaskanmu begitu saja, Linar.” “Pastikan saja kita nggak tertangkap, lebih cepat lagi, Erwin! atau kamu akan mendapatkan beberapa pukulan darinya.” ucapku menakutinya. Menghapus air mata, a
"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean. "Apa maksud kamu, Mas?" tanya Linar tertarik. "Karena aku nggak mau putar balik dan terjebak macet, aku harus segera sampai ke kantor. Lagipula aku pikir kamu butuh teman bicara, dan Mami juga sama." Dean melirik Linar dari ujung matanya, ia terlihat tengah menimbang dan sebelum Linar menolak Dean kembali bicara. "Aku pergi sekarang, agar aku punya waktu untuk sekedar sarapan sebelum ke kantor." Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah maminya. Memilih menghindari konflik, ia berpesan. "Aku akan langsung berangkat, salam buat Mami!" "Oh ya, pastikan kamu sarapan, sebelum bekerja, Mas?" Dean menoleh membalas tatapan istrinya yang ia kenal sarat akan perhatian khas Linar "Ok, mungkin aku akan pesan makanan untuk di take away atau delivery. Entahlah." Linar mengangguk kecil, "Terserah, pastikan aja maag kamu nggak akan kumat lagi," ucapnya pelan di akhir kalimat. Dean tersenyum kecil ia mengelus rambut hitam Linar sayang. "Iya, s
"Dia terlihat nggak semangat jelas lagi banyak pikiran tapi dia nggak mau bilang apapun ke mami tapi dia sempat bilang ..?" jeda maminya menatap Dean dalam."Pas mami tanya kemarin apa alasan kamu nggak balik ke rumah ini jemput dia, dia bilang itu tanya aja ke kamu, dia takut salah ngomong. Maksudnya apa Mas? Emang kamu kemana sampai ngga pulang ke rumah mami bahkan kamu nggak jemput istri kamu. Kamu tahu dia dapat pertanyaan dari saudara - saudara kamu mereka mengira kalian bertengkar dan Linar terlihat bingung menjawabnya,"Dean menghembuskan napasnya kasar, rasa bersalah menyeruak di dadanya untuk istrinya."Mas?" Panggil maminya menuntut."Aku lagi ada urusan Mi dan nggak sempat ngasih kabar, dan kami sempat salah paham." dustanya sembari menandaskan makanannya dan bangkit menjauh.Tak lama Dean mendatangi kamar mereka untuk mencari Linar yang ternyata tengah berendam di bath up, Dean merengut tak biasanya istrinya itu meninggalkannya sekalipun Linar sudah selesai makan ia selal
Linar menunggu dengan detak jantungnya yang bertabur cepat hingga menyesakkan dadanya, ia takut ... "Udah 8 bulan belakangan ini, Maafin Mas, sayang," seru Dean payah. "Udah lama dong? Oh iya yah kamu mulai berubah juga udah lama kok. Kalian mainnya cantik sih udah pengalaman yah pacar kamu itu?" Ejek Linar datar. Dean membuang wajahnya, bahu dan kepalanya menurun. "Well, untung aku rajin mendoakan kamu dan rumah tangga kita. Jadi aku nggak harus di curangin kamu lama - lama. Lebih baik begini cepat terbongkar sebelumnya lebih parah dari ini. "Maksud kamu Lin?" "Dan sejak kapan kalian mulai sex nya, Mas?" ucap Linar pelan sembari tetap menatap suaminya. "Cukup Lin, aku nggak mau ngebahasnya dan aku tahu itu akan nyakitin kamu lebih dari ini, udah yah aku haus tolong ambilkan aku minum!" sambar Dean. "Nyakitin aku lebih dari ini? Berarti dari pertama kalian mutusin pacaran kali itu juga kalian berzinah ya, dan sepanas apa sih pergulatan kalian di atas ranjang sampai ,-" tanya Li
"Si perempuan itu tampak akrab sama suami lo, Lin!" jelas Tya hati-hati. Linar hanya balas mengangguk, "Dalam circle pertemanan Mas Dean, memang ada aja perempuannya. Semacam wanita alpha gitu yang punya prestasi dan punya posisi setara eksekutif di perusahaan mereka. Bukan hal yang baru, Tya. Udah ya, kita ganti topik aja!" Hening .. Tya terlihat ingin mengejar topik yang sudah di tutup oleh empunya cerita tapi ia memilih mengangguk mengerti demi kenyamanan sahabatnya. "Apapun itu lo harus ingat Lin, kita ada buat lo kalau lo butuh teman curhat atau teman pelarian jadi jangan sok kuat seakan lo tinggal sendiri dan bisa menyelesaikan semua sendiri, ok!" tutur Tita menguatkan. "Iya, lo boleh kok ngerepotin kita kapan aja toh selama ini gue sama Tita sering kecipratan hidup enak karena uang suami lo itu hahaha, intinya lo punya kita untuk ngebantu masalah lo mungkin jadi yah kita harus tahu dulu masalahnya apa nih?" pancing Tya yang di balas tawa kecil Tita. "Lihai sekali anda
"Diet? Tumben kamu diet sekeras ini lagian walaupun tubuh kamu ngga selangsing yang lain, tapi kamu, 'kan nggak gendut?"Yang lain? Ah pasti maksudnya sepupu Dean yang lain yang memang menjaga bentuk tubuh seapik mungkin hingga menyiksa karena tak leluasa makan enak kapanpun dimau pikirnya."Iya, belakangan ini aku lagi ngga percaya diri, Mi. Di sekitar mas Dean banyak yang lebih cantik, pintar dan punya pekerjaan yang bagus terlebih mereka pintar jaga badan, aku jadi minder. Lagian ini usaha aku agar mas Dean tetap setia sama aku," Linar tersenyum masam menyadari ada sengau menahan tangis di ujung suaranya."Memangnya si Mas kenapa?"Linar makin tersenyum lebar dengan mata yang sendu memandang maminya. "Ngga, ngga apa-apa kok, mas Dean baik-baik, aja.""Walaupun ada masalah. sebagai seorang istri kamu harus tetap mendampingi suami kamu, kamu harus percaya dan jaga kepercayaanya. Jangan jadi istri yang suka membesar-besarkan masalah, kamu harus lebih sabar dan mengalah, itu kuncinya."
"Tapi, Bapak setia kan?""Ya enggak juga. Namanya juga laki-laki suka khilaf.""Maksudnya?" tanyanya agak sinis.Linar merasa tertarik dengan supir taxi ini bahkan ia terbawa suasana "Lalu, apa Bapak menyesal udah selingkuh?""Selingkuh itu rasanya berlebihan Mbak. Seakan saya melibatkan hubungan jangka panjang dengan wanita itu. Saya cuma beberapa kali itupun sewaktu tidak bisa mengontrol diri. Namanya lelaki kan hormonnya beda. Apalagi kalau ada masalah di rumah dan mabuk lalu melihat yang bening dan bersedia disentuh kadang jadi tidak bisa menahan diri. Setelah selesai ya merasa bersalah lalu pulang.""Dalam keadaan masih cinta istri Bapak?""Cinta? Rasanya udah lama rasa itu mba saya malah hampir lupa dan udah nggak penting sama cinta. Yang namanya sama istri yang jadi ibu anak-anak bagaimanapun harus saya jalani. Senakal-nakalnya saya, saya tidak pernah berniat meninggalkan istri saya. Terutama setelah saya perlahan mengurangi aktivitas malam saya, rasanya kesadaran saya kembali
14. Adu Amarah"Dan aku sadar aku ini masih seorang istri yang jauh dari kata cukup buat kamu, 'kan? Jadi aku tunggu, maksud kamu aja?" ucapnya datar dan melangkah tapi ditahan."Apa maksud kamu?" tanyanya tegang.Linar balas memandang kali ini dengan tatapan emosi ingin menangis, "Kalau kamu berbuat lebih dari ini. Jujur aku udah ngga mampu mempertahankan apapun yang tersisa dari rapuhnya rumah tangga kita, Mas!""Apa MAKSUD KAMU?" bentaknya emosi.Tes ...Air mata Linar jatuh di pipi kiri, ia menggigit bibirnya demi menahan Isak tangis, mereka sama-sama tahu pembicaraan malam ini terkesan sensitif.Linar berhasil menyunggingkan senyum kecil yang malah terlihat sendu. "Aku sudah kalah saat kamu memilih dia sebagai tempat kamu singgah setelah seharian kamu bekerja, aku udah kehilangan kepercayaan diri saat kamu memilih menghabiskan waktu libur kamu sama dia dan aku-"Linar menjeda ucapannya yang sudah terdengar getir dengan air mata di pipi."Aku udah kehilangan kewarasanku saat lihat