Lelaki yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rima, kini meronta-rinta tidak jelas. Berusaha melepaskan ikatan dan sesuatu yang ada di mulutnya. Rima mengambil belati dan menempelkannya di leher lelaki yang ada di depannya, kemudian melepaskan kain yang menyumpalnya. Menyiram mata lelaki yang dikenalnya baik dan ramah, agar bisa melihat dan menghilangkan sisa cairan yang disemprotkannya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Rima dengan menekan belatinya lebih kuat pada leher lelaki yang memandangnya dengan samar. "Ka-karena kamu!" ucapnya terbata. "Maksudmu!" tanya Rima dengan emosi dan makin menekan belatinya. "Karena kamu menolakku, dan aku diajak oleh mereka yang menetahui penolakkan sadismu!" ujar Rahmadi lancang, Tangan Rima langsung mengepal dan melayang ke dada Rahmadi, sontak lelaki itu menunduk karena sakit dan belati yang dipegang Rima melukai leher Rahmadi secara tidak langsung. "Brengsek kamu!" maki RIma dan terus menekan belatinya membuat luka cukup dalam, hingga dar*
Tina hanya bisa mematung melihat darah terus mengalir dari kem*luan Rahmadi, dan lelaki itu hanya bisa menggerakkan tubuhnya karena menahan rasa sakit yang luar biasa."Apa kamu ikut meruda paksa Sherly?" tanya rima dengan memainkan belati yang sudah dilumuri darah keperkasaan milik sepupunya.Rahmadi menjawab dengan menggelengkan kepalanya, dan kembali menggeliatkan tubuhnya. Rima menghembuskan napas berat dan menempelkan belati itu ke wajah Rahmadi, bertanya untuk kedua kalinya dan kali ini mendapat jawaban di luar dugaannya."Apa salah remaja-remaja ini?" tanya Rima dengan amarah memuncak. "Brengs*k kamu! Sedih rasanya ada darahku yang sama denganmu karena kita masih bersaudara!" keluh Rima kemudian.Rahmadi hanya menggelengkan kepalanya, karena dirinya tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh Rima. Tubuhnya kini lemas tidak bertenaga, luka yang sangat vital membuatnya banyak kehilangan darah."Aku sudah memanggil polisi, kamu tidak bisa menghindari mereka, tapi kamu juga tidak
"Kamu masih muda, jangan ikut terlalu dalam, karena kamu akan terjerumus. Biar tante saja, yang melakukan ini, kamu fokus healing dan meraih masa depan," tolak Rima dengana lembut."Apa yang perlu diraih, Tante?" tanya Tina dengan mata yang muali berkabut. "Semua sudah dihancurkan oleh mereka!" imbuh Tina dengan sangat geram.Rima menggenggam tangan Tina dan memintanya duduk di kursi yang sudah ndisediakan oleh pemilik taman, kemudian dia pergi ke mini market yang ada disekitar sana dan membeli minuman juga roti sebagai pengganjal."Minum dulu," Rima menyodorkan sebotol minuman isotonik pada Tina."Cita-citamu tidak hancur, Tina. Masih bisa kamu raih, masalah jodoh, pasti akan ada lelaki yang menghormati kamu, melebihi dari yang kamu bayangkan." Rima mencoba menasehati Tina, agar gadis itu tidak putus asa dengan apa yang sudah terjadi."Aku sendiri, Tante," Tina menangis, dan Rima menyandarkan kepala remaja itu ke pundaknya. "Mama papa sibuk, hanya bisa memberikan aku uang, tidak memi
Ryan langsung merebut ponsel milik lelaki yang terlihat mencurigakan, sebelum lelaki itu hendak kabur. "Saya hanya cari bahan untuk saya upload di media sosial saja!" ujar lelaki yang berjaket kulit dengan mencoba merampas kembali ponsel miliknya. "Tadi, Bu Rima terjatuh kalian diam saja, setelah ada kami, kalian sibuk memvideokannya?" Terdengar amarah di balik suara bass Ryan. "Kembalikan! Atau kalian akan saya laporkan pada polis dengan tuduhan merampok!" ujarnya dengan suara lantang. Pemilik rumah yang pagarnya sengaja Rima tabrak keluar dengan wajah sangarnya, dan tidak lama Pak RT dan securiti komplek datang bersamaan. membuat wajah lelaki berjaket kulit pias. "Bagaimana kalian diijinkan masuk?" tanya Pak RT menyelidiki. "Sa-saya hanya numpang lewat!" sergah lelaki berjaket kulit. "Tangkap saja, Pak. Saya liat dari CCTV, mereka sudah ada di sana sejak tadi sebelum Bu Rima menabrak pagar saya," terang lelaki yang memiliki perut buncit, yang merupakan tetangga Rima. Dengan s
"Aku tidak menuduhmu, tapi kau tahu siapa kamu dan bagaimana dirimu," jawab Satria dengan ekspresi yang sulit ditebak oleh Rima. "Kalau aku yang memang melakukan itu, kamu mau menangkapku?" tanya Rima dengan nada tinggi."Tidak! JIka benar kamu yang melakukannya, sebaiknya berhati-hati, mereka cukup kuat untuk menghancurkan kamu dan suamimu," saran Satria.Rima tersenyum sinis, ketika mendapati jawaban yang tidak dia inginkan dari Satria. Kemudian dia menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, menghirup udara sebanyak yang dia bisa dan dihempaskan dengan sangat cepat."Terlalu banyak penjahat yang tidak tersentuh!" gumam Rima dan ditanggapi dengan kekehan dari Satria."Pulanglah, aku mau istirahat," pinta Rima kemudian, saat dirinya duduk dengan tegak."Aku akan setia padamu, apapun yang terjadi. Bahkan aku akan melindungimu dari apapun itu, yang akan menghancurkanmu." Satria berdiri tegap menghadap ke arah Rima dengan gayanya yang khas.Sebenarnya, Rima akan tersa
Pagi hari ini terasa berbeda bagi Rima, dia sangat kesepian. Tidak ada suami, anak dan juga kedua ibunya yang sangat menyayanginya. Rima hanya membereskan kamarnya dan melatih otot-ototnya, kemudian dia baru menyadari, jika kakinya tidak begitu merasakan sakit. Dia berfikir, mungkin efek dari obat yang dibelikan oleh Satria semalam. "Ah, iya!" kemudian dia bergegas keluar untuk menemui polisi yang menjaganya.Namun, yang dicari tidak nampak. Hanya ada tumpukkan kardus bekas di depan gerbangnya. Dengan perlahan Rima membuka kardus-kardus itu, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati isinya ular-ular berbisa yang siap mematokkan bisanya."Aa!" Rima dengan keras berteriak dan mengundang penasaran para tetangga yang siap berangkat bekerja.Para tetangga mulai riuh dan berkomentar berbagai ucapan. Membuat Rima tidak berkutik, tidak lama Pak RT datang dengan beberapa orang diantaranya Satria."Pak, suruh mereka pindah saja, kami takut!""Pak, ini tindakan sudah keterlaluan, bagaimana jika
Baru saja membaca dua buku, ponselnya berdering berkali-kali. Ingin mengabaikannya, tapi cukup mengganggu konsentrasi Rima. "Tina," gumamnya, ketika melihat siapa yang meneleponnya. Dengan santai Rima menerima panggilan dari Tina, tapi dia merasakan sesuatu sedang terjadi di sana. Rima yakin, Tina sedang tidak baik-baik saja. Telepon yang tidak memperdengarkan suara Tina, malah suara beberapa lelaki yang sedang berdiskusi. Sesekali ada suara yang bertanya pada Tina, apa dia yang melakukan hal itu. Rima mengerti arah tujuan dari pembicaraan itu, saat ini dia harus cepat menyelamatkan TIna, jika tidak dia akan disiksa atau malah berujung kemat*an. Rima menutup buku yang sedang dibacanya, mengambil laptop dan mencari keberadaan Tina dari pesan yang di kirim Tina sebelumnya. Setelah menemukan lokasinya, Rima segera mengganti pakaian, lalu keluar dengan tergesa-gesa. Tentu saja, hal ini menarik perhatian Satria yang masih berada di halaman rumah Rima. "Ada apa?" tanya Satria cemas. Rim
Akhirnya, Rima dan Satria sampai pada tujuannya. Meskipun tadi sempat tersesat, karena kurang akuratnya titik map yang dikirim oleh Tina, mungkin saat mengirimnya dia sedang berada di dalam mobil. Insting Rima cukup kuat, saat mereka tadi salah jalan,"Biar aku yang menyelamatkan gadis itu," ujar Satria yang mencegah Rima turun."Tidak. Wajahnya saja, kamu tidak tahu!" ejek Rima dan ditanggapi dengan senyuman oleh Satria, karena ucapan Rima benar adanya.Saat Rima turun, dia menyiapkan ponselnya untuk merekam dan posisi ponsel itu ada di tas yang sudah di desain dengan sangat baik untuk pengintaian."Kamu seperti detektif profesional," sanjung Satria gemas, melihat Rima mulai mengendap-endap.Mendengar pujian dari Satria, Rima hanya melirik dan kembali menelusuri gedung yang tidak terpakai. Benar dugaan Rima, ada dua mobil yang terparkir di sana dan Rima tahu milik siapa itu."Dugaanku benar," ucap Rima lirih.Satria hanya mengangguk dan memperhatikan sekitar, walau bagaimana pun ini