Share

Bab 2 | Pernikahan Hina

Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya.

"Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."

Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya.

"Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.

Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela.

"Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."

Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang.

"Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos.

"Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih."

"Pernikahan itu sakral! Tidak bisa dipermainkan seperti ini. Saya tidak mau menerima tawaran Nyonya!" Arabel menolaknya dengan sangat tegas. 

"Kamu tidak mau melakukan ini? Kamu mau anak kamu lahir tanpa seorang Ayah? Bagaimana jika keluargamu tahu, kamu hamil di luar nikah. Mereka pasti malu, mungkin tidak akan mengakui kamu lagi sebagai anak!" balas Siska dengan tersenyum licik. 

"Ucapan Bu Siska ada benarnya juga. Ayah punya penyakit jantung. Gimana kalau sampai Ayah tahu? Aku gak mau keluargaku tahu soal ini," batin Arabel. 

"Baik, saya akan menuruti semuanya. Tapi tolong jangan beritahu keluarga saya soal ini, Nyonya," ucap Arabel dengan menyetujui. Tidak ada pilihan lain selain menerima perjanjian itu. 

Siska meninggalkan tempat, bersama dengan Frans yang mengikuti. Arabel terpelongo di tempat dalam keadaan sakit. Rasanya sesak saat pernikahannya dijadikan permainan semata keluarga kaya raya.

***

Hari pernikahan tiba, Arabel dan Maxime resmi menjadi sepasang suami istri layaknya orang-orang di luar sana. Arabel sangat bahagia, karena pernikahannya digelar begitu mewah oleh keluarga Frans di sebuah hotel megah dan mahal. Dia sangat bersyukur, karena anaknya diakui oleh Maxime dan kehamilannya tidak sia-sia. Arabel yakin setelah ini hidupnya akan berubah, status sosialnya akan meningkat. Menjadi Nyonya adalah impian semua wanita, Arabel akan merasakan itu nanti. Gelar nyonya Maxime sudah di depan mata dan Arabel tidak sabar akan hal tersebut.

"Kamu terlihat sangat tampan hari ini, Maxime," puji Arabel dengan senyuman.

"Terima kasih." Maxime membalasnya acuh tak acuh.

"Kamu kenapa tidak semangat dengan pernikahan ini? Bukannya semua ini karena salahmu?" kata Arabel. Dia mengorek kejadian itu lagi.

"Harusnya kamu juga sadar, menjadi seorang perempuan harus jaga diri baik-baik. Paham?" balas Maxime. Keributan kecil terjadi.

Di samping itu, para tamu undangan diam-diam membicarakan Arabel, "Wanita itu dulunya asisten pribadi Pak Maxime di kantor, penampilannya pun biasa aja, kelihatan dari keluarga sederhana. Kok, bisa ya, Pak Maxime mau sama wanita kayak dia?" Tidak sengaja Arabel dan keluarga Frans mendengar sindiran dari para tamu undangan yang hadir. 

"Jika bukan karena memikirkan nama baik keluargaku, aku tidak mau menikah denganmu!" bisik Maxime di telinga Arabel. Wanita itu langsung terdiam sedih.

Banyak yang memberikan ucapan selamat kepada Maxime, termasuk para mantan kekasihnya yang datang di pesta itu. Tidak sedikit juga yang menanyakan tentang keluarga Arabel, hingga sindiran-sindiran pedas yang masuk ke telinga Arabel. 

Beberapa dari tamu yang datang, menceritakan Arabel, heran dengan pernikahan yang tidak didatangi oleh keluarga mempelai wanita.

Resepsi berjalan satu hari, malam harinya acara berakhir. Arabel dan Maxime terlihat turun dari singgasana pelaminan dan bersiap-siap pulang ke rumah untuk istirahat.

"Puas kamu mencoreng nama baik keluarga kami?" tanya ketus Siska. Tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar tempat, kecuali wedding organizer dan pengurus acara lainnya.

"Maksudnya apa, Mah?" Arabel bingung.

"Para tamu menanyakan keluargamu dan kamu tidak tahu di mana mereka? Pernikahan macam apa ini?" bentak Siska.

Arabel terdiam. Dia hanya menundukkan kepala, karena sebenarnya memang tidak ada satu orang keluarganya yang tahu akan pernikahan tersebut.

"Maxime, ayo pulang. Kewajiban kita sudah selesai dan biarkan wanita ini." Siska menarik tangan Maxime dan menuju ke dalam mobil. Frans menatap tajam kepada Arabel, dia tidak mengizinkan Arabel masuk ke dalam mobil keluarga. Alhasil, Arabel pulang ke rumah Maxime naik taksi.

***

Di rumah keluarga Frans, semua orang masih terlihat duduk di sofa ruang tamu. Siska meletakkan tangannya di kepala, sedangkan Frans ada di sebelahnya. Maxime bermain game dengan asyik, dan beberapa keluarga lainnya juga ikut duduk di sana.

"Permisi," ucap Arabel. Dia baru sampai ke rumah.

"Mau apa kamu pulang kemari?" tegur Frans.

"Ini rumah saya juga, Papa. Saya sudah resmi menjadi istri Maxime."

Siska berdiri dari duduknya. "Jaga ucapanmu! Kamu hanya istri kontrak, jadi tidak ada hak untuk anak saya. Setelah anakmu lahir, kamu bukan siapa-siapanya Maxime. Paham?"

Arabel menundukkan kepala. Dia masih yakin Siska akan berubah pikiran setelah anaknya lahir. Apa lagi saat melihat bayi mungil, pasti hati keluarga Maxime akan luluh.

Maxime menutup handphone dan melangkah ke arah kamar. Dia tidak melirik sedikitpun Arabel yang jelas-jelas istrinya.

"Permisi Mama, Papa, aku juga mau istirahat. Kita lanjutkan besok ya pembahasan ini." Arabel melangkah mengikuti Maxime. Namun, Frans melarang.

"Mau ke mana kamu? Wanita kotor sepertimu tidak pantas tidur di kamar anak saya. Berhenti melangkah!"

Arabel menghentikan langkahnya. Dia menatap sedih ke arah Frans.

"Jangan memasang wajah sedih, kami tidak akan peduli." Siska menimpali.

"Saya harus apa, Papa, Mama? Saya juga mau istirahat. Bagaimanapun saya ada hak untuk tidur bersama dengan Maxime, suami saya."

"Pintu kamar Maxime sudah dikunci dan dia juga tidak izin kamu masuk ke kamarnya. Pikirkan sendiri nasibmu, wanita kotor." Siska tersenyum jahat dan melangkah masuk ke dalam kamarnya, beriringan dengan Frans.

Arabel terdiam di ruang tamu. Dia meringkuk menangisi nasibnya. Seperti inikah pernikahan yang dia bayangkan akan bahagia? Bukan menjadi nyonya, Arabel mentah-mentah harus menelan luka dari perlakuan tidak baik keluarga suaminya.

Tidak lama kemudian datang seorang pembantu rumah tangga. Dia mengarahkan Arabel untuk tidur di kamar pembantu yang kosong. Arabel setuju, dari pada tidur di sofa.

Malam itu Arabel tidur di kamar pembantu. Harusnya dia tidur bersama Maxime. Malam pertama setelah pernikahan terasa menyakitkan. Arabel tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi dalam hidupnya.

Tengah malam, sekitar pukul dua dini hari, pintu kamar Arabel diketuk-ketuk. Dia terbangun dan membukakan pintu.

"Siapa?"

Terkejutnya Arabel saat melihat Maxime berdiri di hadapan dengan tatapan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status