Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya.
"Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."
Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya.
"Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.
Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela.
"Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."
Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang.
"Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos.
"Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih."
"Pernikahan itu sakral! Tidak bisa dipermainkan seperti ini. Saya tidak mau menerima tawaran Nyonya!" Arabel menolaknya dengan sangat tegas.
"Kamu tidak mau melakukan ini? Kamu mau anak kamu lahir tanpa seorang Ayah? Bagaimana jika keluargamu tahu, kamu hamil di luar nikah. Mereka pasti malu, mungkin tidak akan mengakui kamu lagi sebagai anak!" balas Siska dengan tersenyum licik.
"Ucapan Bu Siska ada benarnya juga. Ayah punya penyakit jantung. Gimana kalau sampai Ayah tahu? Aku gak mau keluargaku tahu soal ini," batin Arabel.
"Baik, saya akan menuruti semuanya. Tapi tolong jangan beritahu keluarga saya soal ini, Nyonya," ucap Arabel dengan menyetujui. Tidak ada pilihan lain selain menerima perjanjian itu.
Siska meninggalkan tempat, bersama dengan Frans yang mengikuti. Arabel terpelongo di tempat dalam keadaan sakit. Rasanya sesak saat pernikahannya dijadikan permainan semata keluarga kaya raya.
***
Hari pernikahan tiba, Arabel dan Maxime resmi menjadi sepasang suami istri layaknya orang-orang di luar sana. Arabel sangat bahagia, karena pernikahannya digelar begitu mewah oleh keluarga Frans di sebuah hotel megah dan mahal. Dia sangat bersyukur, karena anaknya diakui oleh Maxime dan kehamilannya tidak sia-sia. Arabel yakin setelah ini hidupnya akan berubah, status sosialnya akan meningkat. Menjadi Nyonya adalah impian semua wanita, Arabel akan merasakan itu nanti. Gelar nyonya Maxime sudah di depan mata dan Arabel tidak sabar akan hal tersebut.
"Kamu terlihat sangat tampan hari ini, Maxime," puji Arabel dengan senyuman.
"Terima kasih." Maxime membalasnya acuh tak acuh.
"Kamu kenapa tidak semangat dengan pernikahan ini? Bukannya semua ini karena salahmu?" kata Arabel. Dia mengorek kejadian itu lagi.
"Harusnya kamu juga sadar, menjadi seorang perempuan harus jaga diri baik-baik. Paham?" balas Maxime. Keributan kecil terjadi.
Di samping itu, para tamu undangan diam-diam membicarakan Arabel, "Wanita itu dulunya asisten pribadi Pak Maxime di kantor, penampilannya pun biasa aja, kelihatan dari keluarga sederhana. Kok, bisa ya, Pak Maxime mau sama wanita kayak dia?" Tidak sengaja Arabel dan keluarga Frans mendengar sindiran dari para tamu undangan yang hadir.
"Jika bukan karena memikirkan nama baik keluargaku, aku tidak mau menikah denganmu!" bisik Maxime di telinga Arabel. Wanita itu langsung terdiam sedih.
Banyak yang memberikan ucapan selamat kepada Maxime, termasuk para mantan kekasihnya yang datang di pesta itu. Tidak sedikit juga yang menanyakan tentang keluarga Arabel, hingga sindiran-sindiran pedas yang masuk ke telinga Arabel.
Beberapa dari tamu yang datang, menceritakan Arabel, heran dengan pernikahan yang tidak didatangi oleh keluarga mempelai wanita.
Resepsi berjalan satu hari, malam harinya acara berakhir. Arabel dan Maxime terlihat turun dari singgasana pelaminan dan bersiap-siap pulang ke rumah untuk istirahat.
"Puas kamu mencoreng nama baik keluarga kami?" tanya ketus Siska. Tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar tempat, kecuali wedding organizer dan pengurus acara lainnya.
"Maksudnya apa, Mah?" Arabel bingung.
"Para tamu menanyakan keluargamu dan kamu tidak tahu di mana mereka? Pernikahan macam apa ini?" bentak Siska.
Arabel terdiam. Dia hanya menundukkan kepala, karena sebenarnya memang tidak ada satu orang keluarganya yang tahu akan pernikahan tersebut.
"Maxime, ayo pulang. Kewajiban kita sudah selesai dan biarkan wanita ini." Siska menarik tangan Maxime dan menuju ke dalam mobil. Frans menatap tajam kepada Arabel, dia tidak mengizinkan Arabel masuk ke dalam mobil keluarga. Alhasil, Arabel pulang ke rumah Maxime naik taksi.
***
Di rumah keluarga Frans, semua orang masih terlihat duduk di sofa ruang tamu. Siska meletakkan tangannya di kepala, sedangkan Frans ada di sebelahnya. Maxime bermain game dengan asyik, dan beberapa keluarga lainnya juga ikut duduk di sana.
"Permisi," ucap Arabel. Dia baru sampai ke rumah.
"Mau apa kamu pulang kemari?" tegur Frans.
"Ini rumah saya juga, Papa. Saya sudah resmi menjadi istri Maxime."
Siska berdiri dari duduknya. "Jaga ucapanmu! Kamu hanya istri kontrak, jadi tidak ada hak untuk anak saya. Setelah anakmu lahir, kamu bukan siapa-siapanya Maxime. Paham?"
Arabel menundukkan kepala. Dia masih yakin Siska akan berubah pikiran setelah anaknya lahir. Apa lagi saat melihat bayi mungil, pasti hati keluarga Maxime akan luluh.
Maxime menutup handphone dan melangkah ke arah kamar. Dia tidak melirik sedikitpun Arabel yang jelas-jelas istrinya.
"Permisi Mama, Papa, aku juga mau istirahat. Kita lanjutkan besok ya pembahasan ini." Arabel melangkah mengikuti Maxime. Namun, Frans melarang.
"Mau ke mana kamu? Wanita kotor sepertimu tidak pantas tidur di kamar anak saya. Berhenti melangkah!"
Arabel menghentikan langkahnya. Dia menatap sedih ke arah Frans.
"Jangan memasang wajah sedih, kami tidak akan peduli." Siska menimpali.
"Saya harus apa, Papa, Mama? Saya juga mau istirahat. Bagaimanapun saya ada hak untuk tidur bersama dengan Maxime, suami saya."
"Pintu kamar Maxime sudah dikunci dan dia juga tidak izin kamu masuk ke kamarnya. Pikirkan sendiri nasibmu, wanita kotor." Siska tersenyum jahat dan melangkah masuk ke dalam kamarnya, beriringan dengan Frans.
Arabel terdiam di ruang tamu. Dia meringkuk menangisi nasibnya. Seperti inikah pernikahan yang dia bayangkan akan bahagia? Bukan menjadi nyonya, Arabel mentah-mentah harus menelan luka dari perlakuan tidak baik keluarga suaminya.
Tidak lama kemudian datang seorang pembantu rumah tangga. Dia mengarahkan Arabel untuk tidur di kamar pembantu yang kosong. Arabel setuju, dari pada tidur di sofa.
Malam itu Arabel tidur di kamar pembantu. Harusnya dia tidur bersama Maxime. Malam pertama setelah pernikahan terasa menyakitkan. Arabel tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi dalam hidupnya.
Tengah malam, sekitar pukul dua dini hari, pintu kamar Arabel diketuk-ketuk. Dia terbangun dan membukakan pintu.
"Siapa?"
Terkejutnya Arabel saat melihat Maxime berdiri di hadapan dengan tatapan tajam.
"Maxime? Kamu mau mengajakku tidur di kamarmu? Terima kasih."Maxime mendorong Arabel ke ranjang. Dia mengunci pintu kamar rapat-rapat."Kamu mau apa, Maxime? Kita sudah resmi suami istri, tapi tidak sekarang kamu melakukan itu padaku."Maxime tidak menjawab. Dia terus mengikuti keinginannya yang tersulut nafsu. Akhirnya hari itu terjadi. Ini yang kedua kalinya mereka melakukan hubungan sepasang suami istri.***Keesokan pagi. Siska berteriak memanggil nama Maxime. Dia mencari-cari putranya yang sudah tidak ada di kamar."Maxime, di mana kamu Maxime?" teriak Siska.Maxime keluar dari kamar pembantu. Siska mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu keluar dari kamar pembantu?" tanya Siska.Tidak lama kemudian Arabel juga keluar. Siska menghela napas dan melipat tangannya di dada. Dia sudah paham apa yang terjadi."Kurang ajar. Arabel, kemari kamu!" pinta Siska."Iya Mama, ada apa?""Jangan panggil saya Mama. Panggil Nyonya," tegas Siska. "Baik Nyonya.""Oke bagus. Sekarang, kamu bersihkan ruma
Arabel menangis. Dia dilema oleh keadaan yang membingungkan. Jika dia mati, maka anaknya tidak bisa lagi mendapat kasih sayangnya. Keputusan Arabel bulat, dia melepaskan anaknya dan berjanji akan datang kembali untuk merebut hak anaknya lagi.***Di lain tempat, Maxime masih asyik bermesraan dengan wanita muda. Rambutnya panjang, kulitnya putih. Secara keseluruhan, wanita itu lebih seksi dari Arabel."Kapan kamu mau nikahi aku, Sayang?" tanya wanita tersebut."Gimana kalau bulan depan? Aku diskusikan dulu kepada mama dan papaku," balas Maxime."Aku tunggu ya Sayang, aku sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluargamu."Wanita itu bergelayut manja di pelukan Maxime. Siapa sangka jika dia adalah Laura, adiknya Arabel.***Satu bulan berlalu dan selama ini Arabel masih memantau keluarga Maxime dalam diam dan dari kejauhan. Dia menyewa rumah di dekat kompleks perumahan keluarga Frans, tetapi tidak ada satu orang yang tahu menahu bahwa Arabel ada di sana. Selama ini juga dia melihat perk
“Saya tidak akan melupakan perjanjian itu, Nyonya Siska. Yang saya inginkan hanyalah bertemu dengan anak saya dan melindunginya dari ular berbisa.” Sebagai tanggapan, Arabel melontarkan sindiran kepada Maura. Dia memusatkan pandangannya pada Maura, membuatnya goyah.Apa yang diucapkan Arabel membuat keluarga Frans bingung."Tolong ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari agar keinginanku bertemu anakku bisa terwujud! Aku bersumpah, setelah itu, aku akan pergi," Arabel memohon pada keluarga Maxime."Jangan biarkan dia tinggal di sini, sayang. Aku tidak ingin dia merusak kebahagiaan kita sebagai pengantin baru." Menanggapi hal tersebut, Maura tampak ketakutan karena Arabel akan tetap berada di kediaman Maxime."Maura, kamu harus yakin saya tidak akan mengganggu rumah tangga kamu. Yang saya inginkan hanyalah berada di dekat anak saya. Karena Prince adalah putraku, kamu tidak punya hak untuk mencegahku menemuinya." Menanggapi pernyataan Maura, Arabel membalas.Siska menghela nafas panjan
Nawang sangat terkejut melihat putri keduanya ada di tengah-tengah keluarga angkuh itu. Maura tidak ingin jika orang lain tahu Nawang adalah Ibu kandungnya, dia pun segera bergegas pergi untuk menghindar. "Tunggu, Maura!" Panggil Arabel. Maura pun menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu terlihat panik dan seperti menghindar? Kamu takut dengan siapa wanita yang ada dihadapan kamu?" timpal Arabel kembali. Maura memasang wajah kesal, ketika Arabel coba membongkar rahasianya. "Pak polisi, tolong bawa wanita ini. Dia bersalah! Tunggu apalagi? Cepat bawa!" pinta Maura kepada kawanan polisi. Maura tidak ingin semua orang curiga hingga dia kembali menghindar dan menjauh dari Nawang. Nawang pun semakin heran, mengapa Maura bersikap seperti tidak mengenalinya. "Tolong lepaskan anak saya, dia tidak bersalah. Nyonya yang terhormat, tolong jangan bawa anak saya, saya yakin ini hanya salah paham!" ucap Nawang memohon kepada Siska. Namun, Siska tetap kekeh untuk memb
Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu. "Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut. "Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal. Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna. "Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar. "Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu. Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura. "Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pec
Keesokan paginya, sebelum matahari terbit. Arabel terbangun lebih dulu dibandingkan Maxime yang masih tidur nyenyak. Wanita itu merasa ada yang aneh dari dirinya. Arabel perlahan mulai sadar saat selimut yang menutupi setengah tubuhnya terbuka. Dia melihat pakaian yang dikenakan sudah berantakan."Astaga! Apa yang terjadi padaku?" ucap Arabel keras. Hal itu membangunkan Maxime yang masih pulas."Maxime, apa yang terjadi? Kenapa...?"Maxime ikut terkejut. Lelaki itu sudah sedikit terbuka. Kancing kemejanya tidak terpasang lagi."Apa yang sudah kita lakukan, Arabel?" lanjut Maxime yang memutar pertanyaan Arabel.Seprei ranjang sudah berantakan, beberapa pakaian mereka tergeletak berserakan di sana. Ada noda darah di atas sprei berwarna putih dan membuat Arabel teriak."Maxime, ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya.Maxime meletakkan tangannya di kepala dan terdiam tanpa kata. Pandangannya lurus ke depan, matanya seperti penuh penyesalan. Dia berpikir, mengapa melakukan semua ini kepada