Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu.
"Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut. "Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal. Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna. "Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar. "Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu. Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura. "Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pecat saya," Mohon Bi Sumi kepada Frans dan Siska. "Sebentar, surat warisan apa Sayang? Bukannya pembagian warisan itu akan dibagikan nanti ketika Prince sudah beranjak dewasa?" ucap Siska dengan nada heran. Maura mencoba menjelaskan agar mertuanya itu tidak salah paham dengannya. "Mah, warisan keluarga Frans ini kan lumayan besar, kalau ahli waris dibagi hanya untuk Prince rasanya tidak adil buat aku. Gimana pun juga, aku ini istri dari Maxime pewaris tunggal keluarga ini," Siska dan Frans pun saling tatap satu sama lain. Dia tidak membayangkan sebelumnya bahwa Maura pun menginginkan warisan itu. "Tapi sayang, apa uang yang diberikan Maxime setiap bulan dengan jumlah miliaran itu apa tidak cukup juga untuk kamu? Kalau kamu tidak cukup uang bulanan segitu, Maxime bisa kok tambahin lagi, bilang saja kamu berapa," balas Siska dengan mencoba membuat Maura tenang. "Itu kan uang bulanan mah! Uang miliaran setiap bulan buat aku itu udah biasa, karena Mami, Dady selalu kasih jajan setiap bulan segitu. Jadi aku mau yang lebih mah, tapi bukan hanya uang bulanan aja. Apa Mama nggak bisa adil buat aku?" rengek Maura, yang kemudian pergi meninggalkan obrolan dengan wajah cemberutnya. Siska pun menghela nafas panjang, dan membicarakan kembali tentang warisan itu kepada suami dan anaknya. "Gimana menurut Papa? Apa sebaiknya warisan itu kita bagi aja untuk Maura juga?" tanya Siska kepada Frans. "Untuk warisan dari dulu Papa sudah putuskan, kalau warisan Papa hanya untuk cucu laki-laki Papa seorang. Tidak untuk yang lain! Maxime, sebaiknya kamu bicarakan baik-baik sama istri kamu. Kalau perlu kamu tambahin uang bulanan dia lebih besar lagi," pinta Frans kepada Maxime. Maxime pun hanya mengangguk. Sementara Maura yang kini menguping pembicaraan tersebut pun, merasa kesal. Keluarga Frans tidak akan membagi warisan itu kepadanya. Maura pun tidak akan tinggal diam, dia akan mengambil warisan itu tanpa persetujuan keluarga Frans. "Setuju atau tidaknya kalian, aku akan tetap mengambil warisan itu agar menjadi milikku, bukan milik anak dari Arabel! Sampai kapan pun aku nggak akan terima!" batin Maura. *** Arabel yang kini masih mendekap di dalam penjara pun masih teringat Prince, anaknya. "Gimana nasib kamu sayang? Mama Minta maaf nggak bisa lindungin kamu di rumah Papa. Tapi Mama janji, Mama akan membawa kamu sejauh mungkin dari keluarga Frans, dan kita bisa hidup bahagia," ucap Arabel dan tak terasa air matanya jatuh ketika mengingat anaknya. Polisi tampan yang kini sedang berjaga di depan sel penjara pun melihat Arabel yang terus menangis. Dia yang sedari awal tidak yakin bahwa Arabel bersalah pun memantik perhatiannya. "Gadis polos itu, tidak mungkin berbuat hal bodoh seperti yang dilaporkan keluarga Frans. Saya tahu Frans seperti apa. Dia adalah orang yang licik, orang yang tega membunuh mantan istrinya sendiri!" batin Polisi tampan itu ketika mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang dialaminya. Waktu jam makan malam para tahanan pun tiba, Arabel dan tahanan lain pun segera bersiap untuk makan malam bersama. Di sela istirahat kerjanya, polisi tampan itu menghampiri Arabel yang tengah makan malam sendiri, Arabel selalu menghindar dari para tahanan lain ketika sedang berkumpul. "Makan yang banyak, jangan nangis terus!" ucap polisi tampan itu kepada Arabel. "Eh, Iya Pak. Terima kasih, ini saya lagi makan kok," balas Arabel dengan sopan. Polisi tampan itu kemudian duduk di sebelah Arabel. "Kenapa kamu diam aja ketika orang nuduh kamu? Kenapa kamu diam aja ketika orang lain berani laporin kamu ke kantor polisi di saat kamu tidak salah?" ucap polisi tampan itu kembali, memulai obrolan. Arabel menghentikan makannya sesaat, mendengar polisi itu berbicara seperti itu kepadanya. "Bapak kenapa bicara seperti itu? Memangnya Bapak tahu kalau saya tidak bersalah?" balas Arabel. "Hati saya yang bilang, kalau kamu adalah gadis yang baik. Kamu selalu melaksanakan kewajiban kamu, seperti ibadah, dan melakukan kebaikan lain di sel ini. Jadi rasanya tidak mungkin, kamu bukan orang yang baik," jelas polisi tampan itu dengan tersenyum. Arabel mengela nafas panjang. "Saya orang yang tidak mampu, Pak. Saya bisa apa, jika harus melawan keluarga kolongmerat itu? Mereka punya uang yang bisa bayar apa saja yang mereka mau, sedangkan saya hanya orang miskin, yang hanya bisa diam dan menerima semuanya." Air mata Arabel perlahan terjatuh mengingat perlakuan keluarga Maxime kepadanya. "Kamu juga punya tenaga untuk bisa balas mereka. Jangan diam saja ketika orang lain bersikap tidak adil ke kamu. Kamu berhak membalasnya. Ini bukan soal dendam, tapi soal harga diri!" Dengan lantangnya polisi tampan itu memberikan masukan kepada Arabel. Namun, Arabel bingung kenapa polisi itu seakan mendukung Arabel untuk membalaskan perlakuan keluarga Frans. "Ta-tapi--" ucapan Arabel terhenti ketika mendengar alarm menandakan makan malam tahanan telah usai dan segera kembali ke dalam sel. "Sebelum kamu kembali, perkenalkan saya Malik. Kamu bisa panggil saya Malik, atau Pak Malik. Kamu harus ingat ya tentang ucapan saya tadi. Renungkan itu. Balas apa yang ingin kamu balas!" ucap Polisi tampan itu kemudian bergegas pergi untuk bertugas kembali. "Apa maksud ucapan Pak Malik tadi? Kenapa dia seakan memberikan aku semangat untuk balas dendam kepada keluarga Frans? Siapa dia sebenarnya?" batin Arabel, yang masih bertanya-tanya siapa Malik sebenarnya. Malik masih memperhatikan Arabel dari kejauhan. "Arabel, tujuan kita sama untuk membalaskan dendam kita kepada keluarga Frans! Frans, tunggu pembalasan saya! Saya tidak akan membawa anda ke dalam penjara ini, tapi akan saya pastikan anda menderita seumur hidup!"Keesokan paginya, sebelum matahari terbit. Arabel terbangun lebih dulu dibandingkan Maxime yang masih tidur nyenyak. Wanita itu merasa ada yang aneh dari dirinya. Arabel perlahan mulai sadar saat selimut yang menutupi setengah tubuhnya terbuka. Dia melihat pakaian yang dikenakan sudah berantakan."Astaga! Apa yang terjadi padaku?" ucap Arabel keras. Hal itu membangunkan Maxime yang masih pulas."Maxime, apa yang terjadi? Kenapa...?"Maxime ikut terkejut. Lelaki itu sudah sedikit terbuka. Kancing kemejanya tidak terpasang lagi."Apa yang sudah kita lakukan, Arabel?" lanjut Maxime yang memutar pertanyaan Arabel.Seprei ranjang sudah berantakan, beberapa pakaian mereka tergeletak berserakan di sana. Ada noda darah di atas sprei berwarna putih dan membuat Arabel teriak."Maxime, ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya.Maxime meletakkan tangannya di kepala dan terdiam tanpa kata. Pandangannya lurus ke depan, matanya seperti penuh penyesalan. Dia berpikir, mengapa melakukan semua ini kepada
Maxime terima beres. Dia hanya diam dan menunggu jawaban mama serta papanya."Besok kamu dan Maxime akan menikah. Kamu menginap malam ini di sini, karena besok adalah hari bahagia yang ditunggu-tunggu."Arabel melebarkan matanya. Dia senang mendengar jawaban Siska yang dari awal sangat diharapkannya."Apakah Nyonya serius? Tuan serius?" tanya Arabel.Siska tersenyum miring. Dia melipat tangannya di dada, kemudian melangkah ke arah jendela."Kamu akan menikah dengan putra saya, putra semata wayang keluarga Frans yang kaya raya. Tapi, ada syaratnya."Arabel mengerutkan keningnya. Senyumnya hilang."Syarat apa itu, Nyonya?" tanya Arabel dengan polos."Pernikahan kontrak. Ya, pernikahan itu hanya akan berjalan selama kurang lebih sembilan bulan, sampai anak itu lahir ke dunia. Setelah anak dalam kandunganmu lahir, maka status pernikahanmu dengan Maxime akan cerai. Kamu tidak perlu khawatir, karena semua urusannya akan ada di bawah naungan saya. Terima kasih.""Pernikahan itu sakral! Tidak
"Maxime? Kamu mau mengajakku tidur di kamarmu? Terima kasih."Maxime mendorong Arabel ke ranjang. Dia mengunci pintu kamar rapat-rapat."Kamu mau apa, Maxime? Kita sudah resmi suami istri, tapi tidak sekarang kamu melakukan itu padaku."Maxime tidak menjawab. Dia terus mengikuti keinginannya yang tersulut nafsu. Akhirnya hari itu terjadi. Ini yang kedua kalinya mereka melakukan hubungan sepasang suami istri.***Keesokan pagi. Siska berteriak memanggil nama Maxime. Dia mencari-cari putranya yang sudah tidak ada di kamar."Maxime, di mana kamu Maxime?" teriak Siska.Maxime keluar dari kamar pembantu. Siska mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu keluar dari kamar pembantu?" tanya Siska.Tidak lama kemudian Arabel juga keluar. Siska menghela napas dan melipat tangannya di dada. Dia sudah paham apa yang terjadi."Kurang ajar. Arabel, kemari kamu!" pinta Siska."Iya Mama, ada apa?""Jangan panggil saya Mama. Panggil Nyonya," tegas Siska. "Baik Nyonya.""Oke bagus. Sekarang, kamu bersihkan ruma
Arabel menangis. Dia dilema oleh keadaan yang membingungkan. Jika dia mati, maka anaknya tidak bisa lagi mendapat kasih sayangnya. Keputusan Arabel bulat, dia melepaskan anaknya dan berjanji akan datang kembali untuk merebut hak anaknya lagi.***Di lain tempat, Maxime masih asyik bermesraan dengan wanita muda. Rambutnya panjang, kulitnya putih. Secara keseluruhan, wanita itu lebih seksi dari Arabel."Kapan kamu mau nikahi aku, Sayang?" tanya wanita tersebut."Gimana kalau bulan depan? Aku diskusikan dulu kepada mama dan papaku," balas Maxime."Aku tunggu ya Sayang, aku sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluargamu."Wanita itu bergelayut manja di pelukan Maxime. Siapa sangka jika dia adalah Laura, adiknya Arabel.***Satu bulan berlalu dan selama ini Arabel masih memantau keluarga Maxime dalam diam dan dari kejauhan. Dia menyewa rumah di dekat kompleks perumahan keluarga Frans, tetapi tidak ada satu orang yang tahu menahu bahwa Arabel ada di sana. Selama ini juga dia melihat perk
“Saya tidak akan melupakan perjanjian itu, Nyonya Siska. Yang saya inginkan hanyalah bertemu dengan anak saya dan melindunginya dari ular berbisa.” Sebagai tanggapan, Arabel melontarkan sindiran kepada Maura. Dia memusatkan pandangannya pada Maura, membuatnya goyah.Apa yang diucapkan Arabel membuat keluarga Frans bingung."Tolong ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari agar keinginanku bertemu anakku bisa terwujud! Aku bersumpah, setelah itu, aku akan pergi," Arabel memohon pada keluarga Maxime."Jangan biarkan dia tinggal di sini, sayang. Aku tidak ingin dia merusak kebahagiaan kita sebagai pengantin baru." Menanggapi hal tersebut, Maura tampak ketakutan karena Arabel akan tetap berada di kediaman Maxime."Maura, kamu harus yakin saya tidak akan mengganggu rumah tangga kamu. Yang saya inginkan hanyalah berada di dekat anak saya. Karena Prince adalah putraku, kamu tidak punya hak untuk mencegahku menemuinya." Menanggapi pernyataan Maura, Arabel membalas.Siska menghela nafas panjan
Nawang sangat terkejut melihat putri keduanya ada di tengah-tengah keluarga angkuh itu. Maura tidak ingin jika orang lain tahu Nawang adalah Ibu kandungnya, dia pun segera bergegas pergi untuk menghindar. "Tunggu, Maura!" Panggil Arabel. Maura pun menghentikan langkahnya. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu terlihat panik dan seperti menghindar? Kamu takut dengan siapa wanita yang ada dihadapan kamu?" timpal Arabel kembali. Maura memasang wajah kesal, ketika Arabel coba membongkar rahasianya. "Pak polisi, tolong bawa wanita ini. Dia bersalah! Tunggu apalagi? Cepat bawa!" pinta Maura kepada kawanan polisi. Maura tidak ingin semua orang curiga hingga dia kembali menghindar dan menjauh dari Nawang. Nawang pun semakin heran, mengapa Maura bersikap seperti tidak mengenalinya. "Tolong lepaskan anak saya, dia tidak bersalah. Nyonya yang terhormat, tolong jangan bawa anak saya, saya yakin ini hanya salah paham!" ucap Nawang memohon kepada Siska. Namun, Siska tetap kekeh untuk memb