Share

Bab 7 || Dendam Tersimpan Polisi Tampan

Secangkir kopi hitam untuk Maxime yang dibawa Bi sumi pun sengaja di tumpahkan ke berkas warisan itu.

"Aduh! Maaf, Non, Tuan Maxime saya tidak sengaja," ucap Bi Sumi usai menumpahkan minuman tersebut.

"Gimana sih, Bi! Kalau jalan tuh liat-liat dong! Bibi tau nggak, itu berkas penting yang akan saya tandatangani. Jadi kotor kan sekarang!" gerutu Maura kesal.

Rencana untuk mendapatkan warisan pun gagal kembali. Satu langkah untuk mendapatkan warisan itu akhirnya sirna.

"Ada apa ini ribut-ribut?" sahut Frans dan Siska menghampiri Maura dan Maxime di kamar.

"Papa! Liat nih ulah pembantu kita, dia numpahin minuman di surat warisan ini! Pah, aku mau Papa sama Mama pecat dia!" Maura mengadu.

Mendengar ucapan Maura membuat Bi sumi tercengang. Dia tidak ingin keluar dari rumah keluarga Frans, karena Bi Sumi di beri amanat oleh Arabel untuk selalu menjaga Prince dari jahatnya Maura.

"Tuan, Nyonya, ampuni saya. Saya minta maaf nggih, saya nggak sengaja numpahin kopi itu. Tolong jangan pecat saya," Mohon Bi Sumi kepada Frans dan Siska.

"Sebentar, surat warisan apa Sayang? Bukannya pembagian warisan itu akan dibagikan nanti ketika Prince sudah beranjak dewasa?" ucap Siska dengan nada heran.

Maura mencoba menjelaskan agar mertuanya itu tidak salah paham dengannya. "Mah, warisan keluarga Frans ini kan lumayan besar, kalau ahli waris dibagi hanya untuk Prince rasanya tidak adil buat aku. Gimana pun juga, aku ini istri dari Maxime pewaris tunggal keluarga ini,"

Siska dan Frans pun saling tatap satu sama lain. Dia tidak membayangkan sebelumnya bahwa Maura pun menginginkan warisan itu.

"Tapi sayang, apa uang yang diberikan Maxime setiap bulan dengan jumlah miliaran itu apa tidak cukup juga untuk kamu? Kalau kamu tidak cukup uang bulanan segitu, Maxime bisa kok tambahin lagi, bilang saja kamu berapa," balas Siska dengan mencoba membuat Maura tenang.

"Itu kan uang bulanan mah! Uang miliaran setiap bulan buat aku itu udah biasa, karena Mami, Dady selalu kasih jajan setiap bulan segitu. Jadi aku mau yang lebih mah, tapi bukan hanya uang bulanan aja. Apa Mama nggak bisa adil buat aku?" rengek Maura, yang kemudian pergi meninggalkan obrolan dengan wajah cemberutnya.

Siska pun menghela nafas panjang, dan membicarakan kembali tentang warisan itu kepada suami dan anaknya.

"Gimana menurut Papa? Apa sebaiknya warisan itu kita bagi aja untuk Maura juga?" tanya Siska kepada Frans.

"Untuk warisan dari dulu Papa sudah putuskan, kalau warisan Papa hanya untuk cucu laki-laki Papa seorang. Tidak untuk yang lain! Maxime, sebaiknya kamu bicarakan baik-baik sama istri kamu. Kalau perlu kamu tambahin uang bulanan dia lebih besar lagi," pinta Frans kepada Maxime. Maxime pun hanya mengangguk.

Sementara Maura yang kini menguping pembicaraan tersebut pun, merasa kesal. Keluarga Frans tidak akan membagi warisan itu kepadanya. Maura pun tidak akan tinggal diam, dia akan mengambil warisan itu tanpa persetujuan keluarga Frans.

"Setuju atau tidaknya kalian, aku akan tetap mengambil warisan itu agar menjadi milikku, bukan milik anak dari Arabel! Sampai kapan pun aku nggak akan terima!" batin Maura.

***

Arabel yang kini masih mendekap di dalam penjara pun masih teringat Prince, anaknya.

"Gimana nasib kamu sayang? Mama Minta maaf nggak bisa lindungin kamu di rumah Papa. Tapi Mama janji, Mama akan membawa kamu sejauh mungkin dari keluarga Frans, dan kita bisa hidup bahagia," ucap Arabel dan tak terasa air matanya jatuh ketika mengingat anaknya.

Polisi tampan yang kini sedang berjaga di depan sel penjara pun melihat Arabel yang terus menangis. Dia yang sedari awal tidak yakin bahwa Arabel bersalah pun memantik perhatiannya.

"Gadis polos itu, tidak mungkin berbuat hal bodoh seperti yang dilaporkan keluarga Frans. Saya tahu Frans seperti apa. Dia adalah orang yang licik, orang yang tega membunuh mantan istrinya sendiri!" batin Polisi tampan itu ketika mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang dialaminya.

Waktu jam makan malam para tahanan pun tiba, Arabel dan tahanan lain pun segera bersiap untuk makan malam bersama.

Di sela istirahat kerjanya, polisi tampan itu menghampiri Arabel yang tengah makan malam sendiri, Arabel selalu menghindar dari para tahanan lain ketika sedang berkumpul.

"Makan yang banyak, jangan nangis terus!" ucap polisi tampan itu kepada Arabel.

"Eh, Iya Pak. Terima kasih, ini saya lagi makan kok," balas Arabel dengan sopan.

Polisi tampan itu kemudian duduk di sebelah Arabel.

"Kenapa kamu diam aja ketika orang nuduh kamu? Kenapa kamu diam aja ketika orang lain berani laporin kamu ke kantor polisi di saat kamu tidak salah?" ucap polisi tampan itu kembali, memulai obrolan.

Arabel menghentikan makannya sesaat, mendengar polisi itu berbicara seperti itu kepadanya.

"Bapak kenapa bicara seperti itu? Memangnya Bapak tahu kalau saya tidak bersalah?" balas Arabel.

"Hati saya yang bilang, kalau kamu adalah gadis yang baik. Kamu selalu melaksanakan kewajiban kamu, seperti ibadah, dan melakukan kebaikan lain di sel ini. Jadi rasanya tidak mungkin, kamu bukan orang yang baik," jelas polisi tampan itu dengan tersenyum.

Arabel mengela nafas panjang. "Saya orang yang tidak mampu, Pak. Saya bisa apa, jika harus melawan keluarga kolongmerat itu? Mereka punya uang yang bisa bayar apa saja yang mereka mau, sedangkan saya hanya orang miskin, yang hanya bisa diam dan menerima semuanya." Air mata Arabel perlahan terjatuh mengingat perlakuan keluarga Maxime kepadanya.

"Kamu juga punya tenaga untuk bisa balas mereka. Jangan diam saja ketika orang lain bersikap tidak adil ke kamu. Kamu berhak membalasnya. Ini bukan soal dendam, tapi soal harga diri!" Dengan lantangnya polisi tampan itu memberikan masukan kepada Arabel.

Namun, Arabel bingung kenapa polisi itu seakan mendukung Arabel untuk membalaskan perlakuan keluarga Frans.

"Ta-tapi--" ucapan Arabel terhenti ketika mendengar alarm menandakan makan malam tahanan telah usai dan segera kembali ke dalam sel.

"Sebelum kamu kembali, perkenalkan saya Malik. Kamu bisa panggil saya Malik, atau Pak Malik. Kamu harus ingat ya tentang ucapan saya tadi. Renungkan itu. Balas apa yang ingin kamu balas!" ucap Polisi tampan itu kemudian bergegas pergi untuk bertugas kembali.

"Apa maksud ucapan Pak Malik tadi? Kenapa dia seakan memberikan aku semangat untuk balas dendam kepada keluarga Frans? Siapa dia sebenarnya?" batin Arabel, yang masih bertanya-tanya siapa Malik sebenarnya.

Malik masih memperhatikan Arabel dari kejauhan. "Arabel, tujuan kita sama untuk membalaskan dendam kita kepada keluarga Frans! Frans, tunggu pembalasan saya! Saya tidak akan membawa anda ke dalam penjara ini, tapi akan saya pastikan anda menderita seumur hidup!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status