"Sekalian saja kamu minta suapin, biar tangan kamu itu makin tidak berguna!" sahut Mas Juna dengan kesal.
Nora pun diam, ia lalu menyendok nasi dengan mimik wajah cemberut."Juna, jangan begitu sama Adek kamu, Nak." Ibu berucap dengan lemah lembut, ah entahlah.Mas Juna kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, tanpa menyahut sedikitpun. Sedangkan Nora kembali makan dengan lahap, begitupun kedua bocah malang itu.Selesai makan, Mas Juna menggendongku menuju ruang keluarga. Di ruang keluarga masih ada Enot yang menggendong bayiku sambil mengajaknya ngobrol."Not, kamu makan dulu, sinikan Baimnya!" ujarku sambil mengulurkan kedua tanganku ke arah Enot."Baik, Bu!" sahutnya sambil memberikan Baim ke gendonganku.Ia pun berlalu masuk ke dapur.Terdengar suara Nora memberi perintah kepada Enot."Eh, Babysiter, mandiin anakku nanti," ujarnya.Aku yang mendengar titah dari Nora hanya"Asal kalian tahu saja, selama ini aku tidak pernah keluar kota! Setahun belakangan ini aku memantau semua kelakuan Nora secara diam-diam.""Tidak usah berbelit-belit, Jo. Langsung saja pada intinya!" bentak Mas Juna yang mulai tersulut emosi."Adik kamu itu, selama setahun ini bermain gila dengan Om-Om. Ia bahkan ketangkap basah di hotel bersama seorang laki-laki parubaya yang tak lain adalah tetangga di samping rumah. Aku malu, aku kehilangan muka asal kalian tahu. Selama ini aku bersabar demi anak-anakku.Aku bahkan membiarkan Nora menitipkan mereka ke penitipan anak, setia Nora menitipkan mereka, aku selalu membawa mereka berdua jalan-jalan.Aku sudah pernah mencoba menyadarkan Nora, namun Nora selalu menghinaku miskin dan acuh dengan semua nasehatku.Wajar jika sekarang aku berniat menceraikannya dan menikahi perempuan lain."Paijo menjelaskan semuanya dengan panjang lebar. Mas Juna menatap geram pada Nora, namun Nora menepi
"Mau kamu apa sebenarnya? Hah," bentaknya kasar. Aku mengernyitkan dahi menatap laki-laki yang bergelar suamiku ini, harusnya aku yang bertanya seperti itu."Mas, harusnya aku yang bertanya begitu,, mau kamu apa? Datang-datang mengamuk begini, persis sekali satu keluarga tidak ada yang memiliki etika sama sekali," cercaku dengan wajah merah padam, bukan hanya dia yang kini tersulut emosi, aku pun begitu."Istri durhaka kamu, Leha.""Kalau aku durhaka, ngapain kamu masih mau bertahan hidup denganku, kamu bisa mencari wanita lain yang mau tubuh dan hatinya di gerogoti keluaraga kamu!" bentakku.Terlihat tangan Mas Juna kini mengepal, ia seakan ingin sekali menamparku. Coba saja, berani ia menyentuhku, aku tidak segan-segan memasukkan ia ke penjara."Kamu tega memfitnah Nora, dia bahkan berlutut dan bersumpah atas nama Ibuku, bahwa dia tidak melakukan seperti yang kamu tuduhkan!" lirihnya sambil menampar dinding."Kamu l
Tiba-tiba aku teringat akan penuturan Mas Juna tentang Ibunya yang kini kritis, aku bahkan kehilangan rasa khawatir terhadap wanita yang bergelar Ibu Mertuaku itu.Apakah kini hatiku telah hilang empati kepadanya, entahlah.______________Malam hari telah tiba, namun Mas Juna sepertinya masih di rumah sakit, tidak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah."Bi, coba tengok siapa yang datang!" ujarku kepada Bi Surti yang beranjak dari duduknya, sambil berjalan menuju pintu keluar."Leha ..., Leha ..., wanita cacat!" teriak Nora melengking, mendengar ucapannya itu, rasanya membuatku semakin geram dan sangat bernafsu untuk menyeret wanita sialan itu keluar rumah.Namun aku masih berusaha sabar, sambil menonton tivi.”Eh pembantu! Siapkan minuman dan makan enak untuk tamu saya!" titah Nora yang terdengar menggema, hingga ke dalam ruang keluarga. Andai saja keadaanku pulih, kupastikan m
pov Nora°Dari awal hingga sekarang, hanya sebuah kebencian yang selalu terpatri di wajahku, kala memandang wajah Leha, Istri dari Kakaku. Wanita kampungan itu, mengendalikan seluruh kekayaan kakak, kalau saja dia tidak pelit dan royal kepadaku, mungkin aku tidak sebenci ini.Rumah tanggaku hancur, akibat ulahku sendiri yang suka bermain cinta dengan Om-om yang bisa memuaskan hasrat belanjaku.Aku terusir, bahkan aku di permalukan semua orang di komplek perumahan tempatku tinggal.Dan kini, kedua anakku diambil mantan suamiku, akibat campur tangan Leha sialan itu.Bahkan ibuku sampai masuk rumah sakit, selain licik, Leha juga tukang ngadu. Hatiku semakin geram, dendam dan kebencian menyeruak dihati ini.Mendidih seperti air yang di panaskan.Sepulang dari rumah sakit, aku berniat bermain-main dengan teman lelakiku dan sedikit menjahili si Leha. Namun na'as, mas Juna pulang dan mengamuk.Di luar dugaanku, ia bahkan t
°pov Nora°Dengan berat hati, terpaksa kujual mobilku satu-satunya. Demi pelet sakti mandraguna itu, nanti juga pasti bakal kebeli lagi yang baru kalau sudah dapat sultan.Tanpa pikir panjang, aku langsung saja menjual mobil merah kesayangan.Setelah akad jual beli selesai, aku segera menghubungi Amel, untuk memintanya mengantarku ke rumah si dukun pelet.'Amel pun bersedia mengantarku, dengan meminta bonus pula, dasar wanita bayaran, apa-apa minta di bayar. Sial, celetukku dalam hati.' tapi tidak apa-apa, nanti juga bakal dapat gantinya, itulah yang selalu menjadi motivasiku untuk meraih mimpi, aku harus rela merugi.Tapi, merugi untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal."Mel, masih jauh kah ini?" tanyaku pada Amel, yang memboncengku menggunakan sepeda motor matic miliknya."Jauhlah, yang sabar, lagian aku juga yang bawa motor!" sahut Amel dengan kesal."Bisa rusak rambut cantikku, Mel. Suda
°pov Nora°Semakin hari keuanganku semakin menipis, kak Juna juga masih sibuk jagain Ibu di rumah sakit, sedangkan Leha, ia kini selalu ada di rumah. Aku mana bisa mengambil kesempatan untuk mencuri uang kak Juna, ah sial.Lebih baik aku jalan-jalan saja, mana tahu ketemu horang kaya, kan lumayan buat balikin modal.Aku terpaksa kesana kemari harus memesan taksi, ah tidak apa-apa, yang penting bisa jalan-jalan.Hari ini jalan sendiri saja, malas ngajak si Amel, doyan minta traktiran melulu.Aku berjalan ke cafe elit seorang diri, dengan uang yang masih lumayanlah, untuk membayar minuman masih bisa.Nampak kulihat seorang Om-om yang tengah sibuk berkutat dengan laptop miliknya. Aku membawa gelas milikku dan mendekatinya."Hai, boleh bergabung?" tanyaku sambil mengulas senyum manis, semanis mungkin.Lelaki itu mengernyitkan dahi menatap ke arahku."Maaf, sepertinya kita tidak kenal," j
°Pov Nora°'Penggoda Om-om kena batunya' ya ampun, rasa Maluku semakin meluas, wajahku terpampang jelas, ketika di siram dengan air minuman.Rasanya harga diri semakin terkoyak, malu tidak dapat ditutupi, reputasiku hancur seketika.Aku hanya bisa terisak-isak, entah bagaimana caranya aku mampu melewati semua ini.Sementara di tempat lain, Juna menemui Leha.Sesampainya lelaki yang bergelar kakak serta Suami itu, memasuki halaman rumahnya dengan perasaan jengkel. Sebab mendapat aduan sedemikian rupa dari Nora, membuat Juna naik pitam."Leha ..., Leha ...!" Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan. Leha yang masih terbawa emosi pun seketika langsung meradang keluar rumah untuk menemui Juna."Ada apa? Baru ingat pulang kamu?" bentak Leha dengan tangan di lipat didada."Kamu apakan Nora?" tanya Juna acuh."Lihat rumah ini, akibat perbuatan brutal adikmu itu!" bentaknya sambil menga
'Baiklah, Nora dan Mas Juna, nikmati kemenangan kalian. Sebelum ke sabaranku benar-benar habis, maka terbanglah dengan bebas.Seperti kamu yang mendapatkan kelemahanku, aku pun akan mencari kelemahanmu, Mas."Bu, bagaimana keadaan Ibu mertua?" tanya Bi Surti yang tiba-tiba datang dari dapur, membawakanku beberapa cemilan dan minuman dingin."Aku belum tahu, Bi. Tadi Bapak datang cuma ngajak ribut, mengesalkan," ujarku.Bibi duduk di sampingku. "Bapak betah banget di rumah sakit, coba sesekali ibu kesana, mana tahu Ibu Mertua sudah sehat."Ada benarnya juga saran si Bibi, mumpung aku sudah sehat kembali, harusnya aku bisa jalan ke sana."Baik, Bi. Nanti aku kesana langsung. Kalau Nora pulang tolong Bibi perhatikan orang itu, jangan sampai ia masuk rumah membawa teman laki-lakinya lagi." Aku berpesan pada Bibi, dan bersiap untuk menuju rumah sakit. Aku juga meminta Enot membawa anakku ke kamarnya, dan tidak memperbolehk