Aryo sedang duduk di meja kerjanya dengan gusar. Beberapa waktu belakangan ini, kinerjanya terus menurun. Atasan Aryo sudah memperingatkannya berulang kali, karena produktivitas dan target Aryo menurun dua bulan ini. Aryo melihat surat peringatan yang baru selesai ia baca di tangannya. Perusahaan sudah mengancam untuk menurunkan jabatan Aryo jika bulan ini targetnya tidak juga dapat tercapai. Aryo mengacak rambutnya frustasi, dia tidak bisa berpikir, harus kemana lagi mencari konsumen baru. Beberapa anak buahnya sudah menjadi sasaran kemarahan Aryo. Hari ini Aryo memerintahkan semua anak buahnya keluar dan harus mendapatkan konsumen bagaimanapun caranya. Tiba-tiba ponsel Aryo berdering, ia mengambil ponselnya dari atas meja dan melihat nama Tania di layar itu. Aryo kembali meletakkan ponselnya dengan malas, rasanya ia enggan untuk menjWab panggilan telepon itu. Biasanya Tania hanya akan mengomel, marah, atau meminta sesuatu yang memusingkan bagi Aryo. Beberapa saat lamanya Aryo me
Keluarga Tania datang menjenguk ke rumah sakit. Kedatangan mereka membuat sifat Tania semakin menjadi. Tania tidak mau menyusui, menggendong, dan merawat anaknya. Ia terus mengeluh kesakitan, sekalipun dokter sudah meresepkan obat untuknya. Aryo tidak bisa berbuat apa-apa, saat Tania meminta sesuatu yang di luar nalarnya, keluarga Tania selalu membela dan meminta Aryo memakluminya. Ibu Aryo memilih menyingkir, tidak datang lagi ke rumah sakit untuk menemui menantu dan cucunya. Aryo mulai melihat tagihan rumah sakit yang terus membengkak, dan harus memutar otak untuk mencari uang. Dokter sudah mengijinkan Tania dan bayinya untuk pulang besok, itu artinya besok seluruh biaya rumah sakit harus lunas. "Mas, besok aku mau pulang ke rumah orang tuaku saja," kata Tania malam itu. "Apa?! Kenapa seperti itu?" tanya Aryo. "Aku masih harus menyesuaikan diri dengan pola hidupku yang baru juga bagaimana cara merawat anak ini. Sementara kamu harus pergi bekerja dari pagi sampai malam. Aku gak
Ting.. Sebuah notifikasi menunjukkan adanya pesan yang masuk ke ponsel Indah. Indah yang sedang duduk di tempat atas tempat tidur segera mengambil gawainya dari atas nakas. "Indah, kamu sudah tidur?" sebuah pesan dari Aryo. Indah tak langsung membalas pesan itu. Sejak kemarin Indah mengijinkan Aryo mengantarnya pulang, Aryo mengirimkan beberapa pesan untuknya. Rasanya sangat aneh bagi Indah, karena dulu saat pernikahan mereka masuk ke masa jenuh, Aryo tak pernah mengirimkan pesan semacam itu. Saat Indah menelepon atau mengirim pesan pada Aryo, suaminya itu bahkan sangat jarang membalas pesan Indah. Aryo selalu beralasan sibuk bekerja, tak sempat menjawab telepon atau membaca pesan Indah. Jika membalas, nada pesan Aryo selalu penuh amarah dan menjawab seperlunya saja. Saat ini Aryo sepertinya sedang menemukan kembali rasa penasaran atau kerinduan pada Indah dan anak-anaknya. Tapi Indah tak mau terhanyut, ia tidak boleh luluh pada perhatian dan perlakuan Aryo padanya. Sesekali In
Indah menghela nafas panjang, ia sama sekali tidak merasa senang mendengar sanjungan mantan suaminya itu. "Pikirkan dengan matang tentang istri dan anakmu, Mas. Aku wanita, yang juga pernah merasakan sakit karena kamu khianati," jawab Indah. "Kali ini aku sungguh-sungguh, Ndah. Aku ingin kamu menjadi istriku lagi. Kalian bertiga adalah sumber kebahagiaan bagiku," kata Aryo."Jujur aku juga merindukan masa-masa kebersamaan kita, Mas," ujar Indah. Binar bahagia terlihat di mata Aryo, ia bersorak dalam hatinya mendengar perkataan Indah.Kata Aryo, "Kamu juga merasakan hal yang sama denganku, Sayang?" "Entahlah, Mas. Sayangnya saat ini kamu sudah menjadi suami dari wanita lain," ujar Indah berusaha terlihat menyesal di depan Aryo. "Sayang, demi kamu aku rela kembali padamu. Aku akan melepaskan Tania. Aku sadar saat ini, bahwa aku tidak pernah mencintai dia," kata Aryo. Indah tersenyum tipis, ia yakin bahwa mantan suaminya itu telah masuk ke dalam jebakannya. Selangkah lagi, ia akan
Akhir pekan itu, Aryo mempersiapkan diri untuk datang ke rumah orang tua Tania. Tekad Aryo telah bulat untuk berpisah dengan Tania. Kini Aryo menyadari bahwa dirinya telah terjerat dalam cinta semu yang telah memabukkan dirinya. Aryo harus mempersiapkan diri, menghadapi kemarahan Tania dan keluarganya. Wajar mungkin, karena Aryo akan meninggalkan Tania dan buah hatinya yang baru hitungan minggu usianya. 'Aku tidak akan goyah dengan tangisan atau kemarahan Tania. Aku sudah merasa yakin dengan keputusanku, dan hatiku bulat untuk kembali pada Indah setelah semua urusan ini selesai. Aku rasa Indah tak akan keberatan jika aku tetap bertanggung jawab dan memberi nafkah pada Cahaya, anakku dengan Tania, apalagi kondisi keuangan Indah saat ini cukup baik,' gumam Aryo. Tak terasa, bus yang dinaiki Aryo telah tiba di kota kelahiran Tania. Ia bergegas turun dan menuju ke alamat rumah orang tua Tania. Aryo hanya dua kali menginjakkan kaki di rumah itu, yaitu saat berkenalan dengan keluarga Tan
Tania tertunduk lesu di sofa, ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari suaminya. Kabar buruk ini bagaikan petir di siang bolong baginya. Kini Tania tidak tahu harus berbuat apa, ia merasa ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja oleh suaminya. Padahal Tania baru saja berjuang dan mempertaruhkan nyawa melahirkan putri kecil mereka. "Minum dulu, Nak,"Ibu Tania mengulurkan segelas air untuk Tania yang masih terpukul. Tania menerima gelas itu dengan gemetar. Ia seperti kehilangan kekuatan dan harapannya. "Kurang ajar Aryo!" geram Ayah Tania. "Aku harus bagaimana?" lirih suara Tania yang putus asa. "Kamu gak perlu mengharapkan pria itu lagi," kata Ayah Tania. Tania menggelengkan kepala sambil menangis, ia masih ingin menyangkal semua yang terjadi, "Ini gak mungkin! Mas Aryo itu tergila-gila padaku. Dia sangat mencintai aku, sampai dia rela meninggalkan istri dan anaknya,""Andaikan dulu kami tahu, kalau Aryo sudah mempunyai istri, kami gak akan merestui hubungan k
"Lepaskan tanganku, Mas!" seru Tania. "Siapa yang menyuruhmu datang kemari?" tanya Aryo ketus. "Lalu aku harus berdiam diri menerima keputusanmu? Kamu anggap apa aku ini, Mas? Mainan? Pelampiasan?" suara Tania berhasil menarik perhatian beberapa orang yang sedang melintas di depan restoran itu. "Rasanya kata-kataku sudah sangat jelas. Aku baru menyadari kalau aku gak pernah mencintai kamu, Nia. Mungkin dulu aku salah melangkah, atau hanya merasa bosan pada Indah. Aku memang salah karena memanfaatkan kamu sebagai pelampiasan. Aku tertipu dengan perasaanku sendiri," ucap Aryo. Tania mengangkat wajahnya dan menatap Aryo. Dengan suara keras ia berkata, "Apa?! Gila kamu, Mas! Kamu pikir pernikahan itu hanyalah main-main? Setelah bosan kamu mencampakkan aku begitu saja? Aku sudah menjadi istrimu yang sah, Mas. Ada seorang anak tak berdosa di antara kita. Apa kamu tega dan gak memikirkan masa depan anak kita? Bagaimana bisa dia bertumbuh tanpa seorang ayah?" "Nia, pelan kan suaramu! Ora
"Maaf, Pak," ucap Aryo sambil menundukkan kepala. "Ini semua karena Mas Aryo, Pak," jawab Tania terus terang. "Eh, enak saja kamu menyalahkan aku!" seru Aryo sambil menatap Tania. "Iya memang, kamu yang salah!" Tania memang tidak pernah mau mengalah. "Sudah.. Sudah! Apa-apaan kalian? Sekarang malah ribut di ruangan saya! Kalian ini suami istri yang dulu sangat harmonis. Kenapa sekarang malah membuat keributan seperti ini?" tanya Pak Dibyo. "Dia selingkuh, Pak!" jawab Tania. Aryo terkejut karena Tania berterus terang membongkar persoalan rumah tangga mereka dengan mudahnya. "Saya tidak mau tahu urusan rumah tangga kalian! Segera keluar dari sini dan selesaikan masalah pribadi kalian!" titah Pak Dibyo. Aryo segera menggandeng tangan Tania keluar dari ruangan atasan mereka. "Ingat, Aryo, Tania! Ini kantor, bukan pasar atau rumah kalian! Kalau keributan ini terulang kembali, silakan keluar dari perusahaan ini selamanya! Kalian langsung akan saya pecat!" kata Pak Dibyo. "Iya, Pak