"Lepaskan tanganku, Mas!" seru Tania. "Siapa yang menyuruhmu datang kemari?" tanya Aryo ketus. "Lalu aku harus berdiam diri menerima keputusanmu? Kamu anggap apa aku ini, Mas? Mainan? Pelampiasan?" suara Tania berhasil menarik perhatian beberapa orang yang sedang melintas di depan restoran itu. "Rasanya kata-kataku sudah sangat jelas. Aku baru menyadari kalau aku gak pernah mencintai kamu, Nia. Mungkin dulu aku salah melangkah, atau hanya merasa bosan pada Indah. Aku memang salah karena memanfaatkan kamu sebagai pelampiasan. Aku tertipu dengan perasaanku sendiri," ucap Aryo. Tania mengangkat wajahnya dan menatap Aryo. Dengan suara keras ia berkata, "Apa?! Gila kamu, Mas! Kamu pikir pernikahan itu hanyalah main-main? Setelah bosan kamu mencampakkan aku begitu saja? Aku sudah menjadi istrimu yang sah, Mas. Ada seorang anak tak berdosa di antara kita. Apa kamu tega dan gak memikirkan masa depan anak kita? Bagaimana bisa dia bertumbuh tanpa seorang ayah?" "Nia, pelan kan suaramu! Ora
"Maaf, Pak," ucap Aryo sambil menundukkan kepala. "Ini semua karena Mas Aryo, Pak," jawab Tania terus terang. "Eh, enak saja kamu menyalahkan aku!" seru Aryo sambil menatap Tania. "Iya memang, kamu yang salah!" Tania memang tidak pernah mau mengalah. "Sudah.. Sudah! Apa-apaan kalian? Sekarang malah ribut di ruangan saya! Kalian ini suami istri yang dulu sangat harmonis. Kenapa sekarang malah membuat keributan seperti ini?" tanya Pak Dibyo. "Dia selingkuh, Pak!" jawab Tania. Aryo terkejut karena Tania berterus terang membongkar persoalan rumah tangga mereka dengan mudahnya. "Saya tidak mau tahu urusan rumah tangga kalian! Segera keluar dari sini dan selesaikan masalah pribadi kalian!" titah Pak Dibyo. Aryo segera menggandeng tangan Tania keluar dari ruangan atasan mereka. "Ingat, Aryo, Tania! Ini kantor, bukan pasar atau rumah kalian! Kalau keributan ini terulang kembali, silakan keluar dari perusahaan ini selamanya! Kalian langsung akan saya pecat!" kata Pak Dibyo. "Iya, Pak
"Apa maksudmu?" tanya Aryo. "Aku gak bisa jawab sekarang, Mas. Aku juga merasa kasihan pada istri dan anakmu. Selain itu, aku juga ingin melihat kesungguhanmu padaku, sebelum aku memberikan jawaban," jawab Indah. "Aku sudah membicarakan semuanya dengan Tania. Aku gak akan melepaskan tanggung jawabku pada anakku. Ini justru bentuk kesadaran dan tanggung jawabku padamu dan anak-anak kita, Indah. Aku kembali pada kalian, bukankah itu yang kalian inginkan?" tanya Aryo. "Aku ingin mendengar dari Tania secara langsung, bahwa ia rela bercerai denganmu, Mas. Aku gak mau menyakiti orang lain, apalagi sampai merebut suaminya," jawab Indah. "Baiklah kalau itu yang kamu mau, kita akan bertemu dengan Tania dan membicarakan semua. Tapi kamu masih mencintai aku, kan?" tanya Aryo sambil menggenggam tangan Indah. Indah membiarkan Aryo berpikir demikian. Ia tersenyum dan menatap Aryo yang mencium tangannya dengan lembut. Aryo mempersiapkan sebuah acara untuk kembali melamar Indah dan menyatakan k
"Hahaha.. Aku puas sekali melihat ekspresi bodohmu tadi, Mas," ejek Tania. "Diam kamu!" hardik Aryo. "Kamu terlalu percaya diri untuk mendapatkan Indah kembali, Mas. Dulu mungkin dia sangat mencintai kamu. Dia bertahan dengan sikap burukmu, karena dulu dia belum menjadi apa-apa, hanya ibu rumah tangga yang sederhana. Tapi sekarang, dia sudah berubah menjadi cantik, sukses, dan mandiri. Jadi seleranya bukan lagi kamu, Mas! Kamu sudah gak selevel dengan dia," cerocos Tania. Aryo menjadi semakin gusar, ia menatap Tania dengan tajam dan menjawab, "Diam! Jangan berisik!" "Ah, aku senang sekali melihat lelucon konyol siang ini. Kamu melamar pujaan hatimu dan ditolak, menyakitkan bukan? Sudahlah, aku pulang saja!" kata Tania. Teman-teman Aryo yang mendengar ucapan Tania berusaha menahan tawa. Aryo memang sangat menyedihkan hari itu, karena telah dipermalukan di depan banyak orang. "Kami pulang dulu, ya," ujar teman-teman Aryo. Aryo masih duduk terpaku di tempat parkir restoran, ia men
Malam itu Indah harus lembur untuk membuat laporan keuangan restoran. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Restoran itu sudah tutup, dan satu per satu karyawan pulang ke rumah.Indah masih duduk di dalam ruangan kantor sambil menatap layar laptopnya. Ia sudah terbiasa lembur setiap akhir bulan tiba. Ketika Indah masih sibuk memeriksa kembali laporan yang ia buat, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Indah mengangkat wajahnya dan melihat Sandy membawa satu plastik besar berisi makanan dan minuman dari restoran makanan cepat saji ternama. "Loh, Mas Sandy, kenapa masih ada di sini?" tanya Indah. "Tentu saja untuk menemani kamu. Mana mungkin aku tega membiarkan seorang wanita bekerja sendirian hingga larut malam?" kata Sandy. "Oh, sebentar lagi aku selesai koq, Mas," kata Indah. Sandy duduk di kursi di hadapan Indah, lalu mengeluarkan makanan dan minuman dari dalam plastik itu dan meletakkannya di meja. "Aku akan menemani kamu sampai selesai. Sekarang kita makan dulu,
Sandy langsung melakukan pendekatan pada kedua anak Indah, Arinna dan Charles. Awalnya Sandy harus berjuang lebih keras karena sebelumnya mereka tidak dekat dengan Aryo. "Ma, Arinna gak mau Mama dekat sama Om Sandy," kata Arinna menjelang tidur malam itu. "Kenapa, Sayang?" tanya Indah sambil membelai kepala Arinna. "Rina gak mau Om Sandy membuat Mama sedih, seperti papa dulu," jawabnya polos. Sorot mata Arinna menyiratkan kesedihan, saat ia mengingat kembali peristiwa buruk dahulu. Walaupun Aryo sempat mencoba memperbaiki kesalahannya, dengan kembali mendekati kedua anaknya, tapi ternyata luka yang sudah tergores tak mudah hilang. Indah mencoba tersenyum dan memahami perasaan kedua buah hatinya. Saat ini jika akan membuka hati untuk seorang pria, tentu kedua anaknya akan menjadi pertimbangan utama. Indah tidak boleh egois memikirkan perasaan dan kebahagiaannya sendiri. Kedua anaknya harus nyaman, bahagia, dan merestui pilihan Indah nantinya. Bagi Indah, yang terutama saat ini ad
Sandy langsung menggandeng tangan Indah dan menu selangkah, seolah sedang berusaha melindungi wanita yang ia cintai dari segala kemungkinan buruk. "Ma, Sandy benar-benar mencintai Indah. Sandy mohon Papa dan Mama mau merestui kami," kata Sandy. Ekspresi wajah Bu Ratna belum berubah, masih datar dan dingin. Melihat wajah itu jantung Indan terasa berdebar. Ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Walaupun sudah berusaha menyiapkan diri untuk segala respon dan kemungkinan terburuk, tapi ia tetap merasa gemetar saat ini. Indah menggenggam tangan Sandy lebih kuat lagi berharap ada kekuatan yang mampu menopang tubuhnya. "Apa kalian yakin? Usia kalian sudah cukup dewasa, Mama rasa bukan saatnya lagi kalian main-main dan hanya memikirkan emosi sesaat," ujar Bu Ratna. "Justru itu, Ma. Kami memang berniat serius," jawab Sandy. Bu Ratna menatap Sandy dengan tajam, "Apa yang kamu sukai dari Indah? Dia sudah pernah menikah dan bercerai. Juga mempunyai dua orang anak," Pertanyaan itu m
Suatu sore, Aryo datang ke rumah Ibu Indah. Ia sengaja datang sebelum Indah pulang bekerja. Ibu Indah terkejut melihat kedatangan mantan menantunya itu. "Nak Aryo, ada perlu apa datang kemari? Apa sudah telepon Indah?""Saya mau ketemu Arinna dan Bagas, Bu. Saya ini papa mereka, Bu. Apa saya harus ijin dulu untuk menemui mereka? Walaupun sudah bercerai, saya tetap punya hak untuk menjalin hubungan dengan mereka.""Ibu mengerti, Nak. Tapi kamu tetap harus minta ijin pada Indah kalau mau bertemu dengan mereka.""Aturan dari mana itu, Bu? Ibu jangan coba menghalangi saja untuk menemui mereka. Atau saya akan mengambil mereka dari Indah secara paksa untuk selamanya!"Ibu Indah mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ancaman Aryo itu. Ia sangat takut kalau Aryo kalap dan nekat melakukan itu. Apalagi Ibu Indah tahu bahwa Aryo sakit hati karena Indah telah mempermalukan dirinya beberapa waktu yang lalu. "Arinna, Charles, ini Papa, Nak," panggil Aryo. Arinna dan Charles berlari da