Jangan lupa vote, ya. Happy reading :)
Nadya bisa melihat rahang William yang tampak mengeras dan sorot matanya sedingin es. Sejak tadi tatapannya tak lepas mengawasi Jelita. “Will,” Nadya menepuk-nepuk lengan William dan mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu. “Berhenti menatap Jelita seperti itu. Jangan membuat tantemu yang cerewet itu curiga. Jika kau ingin melindungi pembantu kesayanganmu itu, bersikaplah sewajarnya di depan semua orang.” William menghela napas panjang, bersyukur Nadya berbaik hati mengingatkan sikapnya yang nyaris hilang kendali. Pria itu kemudian tersenyum tipis sebagai ungkapan terima kasih saat matanya bertemu tatap dengan Nadya yang juga membalas senyumnya.Sementara itu dari tempatnya, Jelita melihat William dan Nadya sedang saling adu tatap dengan mesra, bahkan tangan mereka saling menggenggam. Kini semua orang bisa melihat jika kedua orang itu betul-betul pasangan yang sepadan dan sedang kasmaran. Jelita menghela napas panjang, menguatkan hatinya saat membawa nampan berisi tiga gelas lemon t
William bergegas memasuki rumah begitu mengetahui Jelita sudah lebih dulu sampai. Dia langsung menuju kamar Jelita. “Sayang?” panggilnya sambil mengetuki pintu. “Boleh aku masuk sebentar? Aku ingin bicara.” William masih mengetuk-ngetuk pintu, namun Jelita tak jua menyahut. Jelita mendengar ketukan itu, tetapi dia tak ingin menanggapi William. Lebih baik tidur mengistirahatkan jiwa-raganya yang lelah agar besok pagi kembali bugar saat kembali bekerja. Bagaimanapun tak boleh lupa kalau dia adalah pembantu William yang digaji untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah ini dan memasak. Dia tak ingin memanfaatkan hubungan asmara mereka untuk bersantai-santai. Namun Jelita sungguh terganggu karena William terus saja mengetuk pintu sehingga dia tak bisa tidur karena berisik. ‘Apa tangannya tak lelah mengetuki pintu terus?’ pikirnya gusar. “Masuk, nggak dikunci!” William memasuki kamar dan langsung menghambur kepada Jelita yang sedang tidur di ranjang. Dipeluknya Jelita erat-erat. “Sayang,
Jelita sekarang tahu kenapa orang-orang bilang Bali itu salah satu surga dunia. Sepanjang mata memandang, yang Jelita lihat hanyalah keindahan. Panorama alamnya sungguh luar biasa. Jelita membuka kaca jendela mobil yang membawanya semakin menjauhi kota, seketika udara segar khas pedesaan berembus masuk dan meniup rambutnya hingga menari-nari bersama irama angin. Gadis itu tersenyum mengagumi nuansa pedesaan yang asri menghijau dengan sawah terasering yang unik dan memukau. Jelita baru menyadari kenapa William memilih Ubud sebagai tempat menginap. Sebab selain terkenal dengan kearifan lokal, ketenangan, dan hamparan alam dan sawahnya yang menghijau, Ubud juga sering menjadi sasaran bagi para pasangan yang sedang berbulan madu atau untuk mencari ketenangan dan menjalani hubungan romantis. Hal itu terlihat jelas sepanjang perjalanan. Beberapa kali Jelita berpapasan dengan sepasang atau beberapa pasangan yang sepertinya kekasih. Mereka semua tampak begitu bahagia bersama. “Selamat datan
Ubud memiliki banyak tempat wisata seni dan wisata alam yang indah dan menyenangkan. Sementara William berkutat dengan urusan bisnisnya, Jelita menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang menarik bersama Wati yang tak pernah jauh-jauh darinya. Wati juga sebenarnya seorang bodyguard yang ditugaskan William untuk menjaga sang kekasih selama berlibur di Bali. Jelita mengunjungi Pasar Seni Ubud yang merupakan surga bagi wisatawan yang ingin mencari pernak-pernik khas Bali. Banyak produk seni anti mainstream yang bisa dijadikan oleh-oleh, tetapi Jelita tak membeli satupun karena dia tak punya teman dekat untuk diberi oleh-oleh. Tetapi Jelita cukup puas hanya dengan melihat-lihat saja. Ternyata di dalam pasar seni ini juga menawarkan aneka kebutuhan sehari-hari seperti buah dan sayuran. Jelita antusias mencicipi aneka jajanan pasar yang dijual di tempat ini, entah makanan ringan, camilan, maupun menu tradisional khas daerah. Hari sudah menjelang siang, tempat itu sudah
Hartono menatap kepada lelaki tinggi berwajah khas asia yang menyodorinya selembar amplop berisi selembar kertas berisi laporan penting. “Sebutkan saja hasilnya,” kata Hartono tanpa repot-repot menoleh kepada orang yang sedang mengemban sebuah misi darinya itu. “Hasilnya 99,99% persis sama seperti dugaan Tuan.” Punggung Hartono membentur sandaran kursi kebesarannya. Kursi pucuk kekuasaan yang didapatinya lewat pertumpahan darah, keringat, dan air mata yang lama mengering. Dia memang sudah menduganya, tetapi tetap saja kekagetan menguasai hatinya ketika dia kini mendengar hal itu sebagai fakta yang tak lagi berupa dugaannya semata. Tangan Hartono terkepal. Ada kabut kesedihan sekaligus kemarahan yang menyelimuti mata dengan kantung kulitnya yang mulai keriput. “Sam sudah tahu?” “Saat ini belum, Tuan.” “Biarkan jika dia mengetahuinya.” “Baik, Tuan.” Sepeninggalan orang yang merupakan kaki tangannya itu, Hartono menghela napasnya dalam-dalam agar dadanya tak dihimpit sesak yang
Bimo menyeberangi kampus dan menuju kafetaria. Sebelum langkahnya mencapai pintu, Rika dan Mona sudah melangkah lebih dulu di hadapan Bimo. “Pagi, Bim …?” sapa Rika sambil menoleh dan melemparkan senyum penuh arti kepadanya. Lalu Rika berbalik badan dengan sikap tubuh yang provokatif, bokongnya bergoyang indah dibalik roknya yang seksi. Bimo bersiul dan mengulum senyum. Dia sudah mencicipi si montok itu di tahun pertama gadis itu kuliah di sini. Bimo sudah tak penasaran lagi seperti apa rupa bokong menggoda itu tanpa balutan kain. Gundukan bokong menggemaskan itulah yang membuat Bimo dulu penasaran ingin bercinta dengannya, tetapi sekali saja sudah cukup. Rasa penasarannya sudah terpenuhi.Bimo memencet bara rokoknya sampai padam sebelum membuangnya ke tong sampah di dekat pintu masuk kafetaria, karena ruangan itu ber-AC dan dilarang merokok tentu saja. Kemudian Bimo berjalan cepat melalui Rika dan Mona, menerobos pintu masuk ke dalam kafetaria. Rupanya sekumpulan mahasiswa dari klub
Auditorium semakin penuh. Bimo menaiki undakan dua-dua sekaligus menuju tempat duduk yang sudah disediakan Stephan di bagian atas. Tepat di bagian belakang, tempat favorit Bimo. Playboy itu tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya yang seksi saat melewati beberapa gadis yang pernah menjadi teman tidurnya, tapi Bimo lupa bagaimana rasa mereka. Bercinta dengan mereka itu cuma iseng, tak ada yang spesial buat diingat-ingat. Kontan saja para gadis itu memekik tertahan, seakan mereka masih punya harapan untuk mendapatkan perhatian spesial lagi dari Bimo yang entah punya ilmu pelet apa, sehingga bisa menjadi salah satu gadis Bimo seperti prestasi tersendiri bagi para wanita itu. Gadis-gadis ramai menyapa Bimo, sebab kehadiran Bimo di kelas selain saat ujian itu kejadian langka. Justru lebih gampang mendapati Bimo di diskotek daripada di kampus seperti sekarang ini. “Bim. Ada tugas yang kudu dikumpul besok, elu udah selesai belum?” “Gue sih udah kelar, Bim. Feel free ya kalau mau nyontek
Sabtu pagi, Jelita bersemangat ingin memasak. Dia ingin mencoba resep-resep baru yang diperolehnya dari koki pribadi Nyonya Marta, yaitu Chef Aryo. Jelita beruntung karena Chef Aryo orang yang tak pelit ilmu. Si chef mengizinkan Jelita menghubunginya kapan saja jika ingin bertanya tentang masakan. Jelita ingin memasak aneka kudapan western untuk teman malam minggunya nanti bersama William. Dia menelepon chef Aryo dan si chef langsung memberinya beberapa tips tentang itu.William tiba-tiba menyusulnya ke dapur. “Sayang, aku hampir lupa kalau ada undangan pernikahan temanku. Aku pergi dulu, ya,” katanya.Jelita menoleh dan melihat William sudah rapi dengan baju batik lengan panjang yang dipadunya dengan celana panjang berbahan kain hitam, terkesan formal dan membalut tubuhnya dengan elegan. Membuat pria itu kian tampan dan berkharisma.“Dengan Nadya?”William mendesah pelan dan mengangguk. Melihatnya, Jelita tak ingin membahasnya lagi. Dia tahu keadaannya memang begini. Bagaimanapun yan