Tiba-tiba terbesit sebuah ide di kepalanya, tentang gadis yang berada di belakangnya.Tanpa pikir panjang, Livia menarik Belle dan mendorongnya ke arah pria itu.“Ambil saja! Dia anak kandung Eleird!” tegasnya.Belle yang didorong sangat keras, menabrak tubuh pria itu yang malah menahannya untuk tak jatuh ke tanah.“Ibu! Apa yang ibu lakukan? Aku tidak mau ikut dengannya!” Belle tak menyangka Ibu tirinya akan setega itu, menyerahkannya sebagai pengganti hutang.“Kau benalu bagiku! Kau pikir setelah Ayahmu tiada aku mau mengurusmu? Anakku hanya satu, hanya Reval!” terang Livia seakan tengah melepaskan bebannya. Ia tak mau memikirkan bagaimana melunasi hutang Eleird dan mengurus Belle yang bukan anak kandungnya.“Aku selalu menuruti apa saja yang Ibu katakan, aku selalu mengalah! Tapi, kenapa Ibu masih tidak mau menganggapku?”“Apa aku harus mati hanya untuk diakui sebagai anak?”“Meskipun kau mati, aku tidak sudi menganggapmu anakku.”Belle terdiam, ia tak bisa bereaksi menghadapi Livi
Meskipun ia tak mengenal Albara, tetapi pria itu jauh lebih baik dari Ibu tirinya.Bahkan setelah bertahun-tahun bersama, ia tetap bukan apa-apa bagi Livia.Belle sampai di sekolahnya tepat waktu, bersama supir ia datang lebih cepat dari dugaannya. “Akan saya tunggu sampai pulang, nona.” pinta supir saat Belle akan keluar dari mobil.“Tidak, pak supir pergi saja tidak perlu berdiam di sini.”Belle beranjak dari sana menuju kelasnya, namun ia malah bertemu dengan Elvan. Ingin sekedar menyapa, tetapi Belle takut akan kembali hanyut dalam perasaannya. Elvan juga melaluinya tanpa menyapa, tak seperti biasa.Belle berusaha tak menghiraukan dan masuk ke dalam kelas.Di sana ia melihat Dahlia bersama Khaira, semuanya telah berubah dan Belle tidak boleh lupa akan hal itu.“Waktu tidak bisa diputar, jadi aku tidak boleh mengharapkannya.”Duduk di bangkunya menahan lapar, ia terlalu takut dengan Albara hingga tak berani berlama-lama di dekatnya.Saat Belle membuka tas yang di bawahnya, ia ter
Setelah sekolahnya selesai, Belle bergegas pulang. Tak ingin berlama-lama menatap wajah yang semakin membuatnya kesal.Supir sudah siap di depan gerbang untuk mengantarnya pulang.“Apa nona ingin langsung pulang?” tanya supir.“Tidak, aku ingin mengunjungi suatu tempat.”Sekarang belum terlalu sore, Belle akan mengunjungi Livia.Mobil itu menuju ke rumahnya, di perjalanan Belle terus berpikir bagaimana keadaan Livia sekarang? Mungkin seharusnya ia tak terlalu berbaik hati kepada Ibu tirinya.Sesampainya di sana, Belle terkejut karna rumahnya sangat sepi. Bahkan daun yang gugur kemarin, belum dibersihkan dari halaman rumah dan jndela juga tak dibuka seperti biasanya.“Ibu,” panggil Belle seraya mengetuk pintu beberapa kali.Tak ada yang membuka, saat ia mendorong knop pintu langsung terbuka. Yang memang tak dikunci sedari tadi, Belle berlanjut masuk dan menuju kamar Livia.Dapur dan ruang tamu sangat berantakan, Belle melihat Livia tersungkur dengan pandangan yang kosong.“Ibu!” pang
Belle merasa perih di bagian sikunya, ia baru ingat Livia mendorongnya dengan keras dan menyebabkan memar. “Lepaskan, tanganku sakit.” mintanya sembari menatap dengan mata yang basah, Albara berpindah ke sebelahnya.Belle menekuk tangan guna melihat sikunya, benar tergores di sana.“Di lemari ada obat,” titah Albara dan Belle segera menuju lemari dan mengambilnya dan mengobati lukanya sendiri, tak meminta bantuan kepada Albara.“Dia terbiasa mengobati lukanya sendiri?” batinnya.Albara membenarkan kerah bajunya, masih mengamati Belle.“Cepat mandi, setelah itu turun ke ruang tengah.” pintanya.Keluar dari kamar Belle, lebih dahulu ke ruang tengah.Sebenarnya, Albara tak tahu akan membicarakan apa dengan Belle dan mulutnya lepas kendali saat itu.Belle melakukan apa yang Albara katakan, setelah selesai ia pergi ke ruang tengah. Ia mendengar Albara berbicara begitu lembut dengan seseorang melalui panggilan suara.“Apa dia sudah memiliki istri?” batinnya mulai muncul rasa takut akan dic
Belle yang sedang belajar di kamar dipanggil untuk makan malam, setelah Albara tidak mengizinkannya untuk menemui Livia, Belle berdiam di kamarnya.Pria itu juga telah mengganti supirnya dengan yang baru, yang tidak berbicara sama sekali dengannya. Albara sudah terlebih dahulu di sana, tapi mata dan jemari tangannya masih fokus pada layar ponsel.“Makanlah,” pintanya.Namun, ia sendiri masih mengacuhkan piringnya.“Kenapa diam saja?” lanjut Albara.Ia duduk berdua dengan Belle di meja makan, tapi tetap merasa sendiri.“Aku sedang makan, bukankah tuan yang menyuruhku?” jawab Belle sudah melakukan apa yang Albara minta, tapi pria itu seakan sedang menyalahkannya.“Maaf, saya tidak fokus.” Albara masih bergelut dengan ponselnya, Belle pikir ia sedang bermain game. Akan tetapi, ia sedang menyelesaikan pekerjaannya. Tak berselang lama, Albara meletakkan ponselnya. Tubuhnya terasa pegal, banyak hal yang harus diurus. “Apa aku boleh keluar? Temanku ada yang berulang tahun.” Ia baru ingat
Sesaat setelahnya, Albara diajak berbicara oleh rekan-rekan bisnisnya dan harus mengalihkan pandangannya dari Belle. “Bel, aku mau berbicara sebentar mari ke sana.” ajak Dahlia mengarahkan telunjuknya ke pintu kaca yang terhubung dengan kolam renang.Belle mengikuti Dahlia, tak berpikiran buruk akan niat gadis itu.“Kau datang juga ternyata,” sapa Khaira menarik mata Belle untuk menatapnya. Namun, ia dibuat salah fokus pada gaun yang dikenakan Belle. Masih satu brand dengan yang biasa ia beli, tapi itu edisi terbatas baru diluncurkan. “Apa kita perlu bermain truth or dare seperti waktu itu?” ajak Angel sengaja membicarakan ini untuk Belle. “Itu tidak seru sekarang,” ulas Khaira.Elvan hanya diam tak menjawab, sebenarnya ia tak mendukung rencana Khaira.“Apakah kita harus mengirimkan doa kepada Ayah Belle?” saran Khaira memancing amarah Belle yang diminta datang hanya untuk mendapat penghinaan.“Masalahmu denganku, bukan keluargaku!” tegas Belle muak saat Khaira membobol privasinya
Albara segera membawa Belle pulang, tubuh gadis itu menggigil. Ia terus mendekapnya, memakaikan selimut kepada Belle dan bersumpah akan menghancurkan siapa saja yang membuatnya terluka.“Dingin, dingin sekali,” lirih Belle terus menutup matanya, tubuhnya seakan sedang direndam dalam lautan air penuh es. “Kita akan segera sampai, tidurlah.” ucap Albara.Setelah sampai ia membawa Belle masuk ke kamar, membiarkan pelayan menggantikan baju Belle. Ia juga segera mengganti baju dan kembali ke kamar Belle. Hatinya benar-benar cemas, saat ini Albara lebih menganggap Belle sebagai anaknya.“Keluar,” titahnya kepada para pelayan yang masih di sana. Albara merebahkan tubuhnya di sebelah Belle, kembali mendekap tubuh Belle.Gadis itu meringkuk dalam pelukannya, seakan merasa sangat hangat.“Siapa yang mendorongmu?” tanya Albara sangat penasaran, bahkan ketika ia sedang berada di dekat Belle masih saja dalam bahaya. “Khaira, aku bertengkar dengannya.” terang Belle.Seharusnya Belle tak melawa
Albara yang bangun siang, berniat untuk menjemput Belle. Albara tak pernah punya waktu menjemput putrinya sepulang sekolah, ia akan melakukannya kepada Belle.“Seharusnya dia sudah pulang dari tadi kan?” tanya Albara yang datang ke sekolah Belle sendirian, tak bersama pengawal seperti biasanya.Para murid sudah pulang, tapi Belle tetap tidak muncul.“Kenapa tidak diangkat?” Albara terus menelpon Belle, setelah tak ada respon ia memutuskan untuk masuk ke dalam sekolah.Hendak mencari Belle, akan tetapi matanya fokus pada gadis yang sedang berjalan pelan di koridor depannya.“Belle!” panggilnya.Albara menuju ke arah Belle, tubuhnya basah, sangat pucat dan luka lebam di wajah dan lengannya.Gadis itu menatapnya nanar, berlari memeluknya dan menangis. Apa yang dilakukan Khaira sangat keterlaluan, setelah mental ia menyerang fisik Belle.“Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu seperti ini?” panik Albara menangkup pipi itu, Belle meringis kesakitan.“Mereka, mereka!” Belle tak sanggup menahan