Khaira yang kembali lagi ke tempat itu sangat terkejut kala melihat kondisi gudang. Bangunan itu sudah penuh dengan warna hitam dan hancur lebur, saat gadis itu menerobos masuk sudah tak ada siapapun di sana. “Tidak! Bagaimana dia bisa selamat?” pekik Khaira murka. Menelusuri setiap titik untuk setidaknya menemukan bukti bahwa Belle sudah tiada. Hatinya sangat sulit menerima hal ini.“Akh! Sialan!” teriak Khaira tak bisa mengendalikan kekesalannya. Penyiksaan yang ia dapatkan selama berada di penjara membuat mentalnya sangat cepat terpuruk. Kegagalan seakan memaksanya untuk semakin melakukan lebih. Khaira beranjak dari sana dengan dendam yang semakin membara. “Kakek, dia bebas!” adu Khaira menghadap kakeknya yang sedang bersantai di taman. “Khaira, setidaknya biarkan kakekmu meminum tehnya!” bentak sang Ibu.“Sudahlah, jangan memarahi cucuku. Duduklah sini, Nak. Katakan kepada kakek apa lagi yang terjadi?” ajak kakeknya meletakkan secangkir teh di meja. Perbedaan generasi san
51Di sisi lain, Albara yang tak melihat keberadaan Belle menjadi panik dan segera mencarinya. Perasaannya mulai tak tenang karna tak menemukan Belle di toilet. “Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk kepadanya,” rapal Albara.Saat akan melewati lorong, sudut matanya seakan menangkap sosok yang sedari tadi menikutinya.Lewat pantulan vas bunga, Albara bisa melihat jelas tanpa menoleh ke belakang.“Lucifer ... setelah sekian lama kenapa dia muncul?” batin Albara beranjak dari sana dengan cepat.Dirinya yang tak fokus menabrak Belle yang juga tak menyadari pertemuan mereka. Keduanya saling terbentur satu sama lain dan tersungkur di lantai yang dingin.“Auh!” ringis Belle memegangi kepalanya. Albara segera berdiri, “Bangunlah, kita harus segera pergi dari sini.”Kemudian menggandeng tangan Belle untuk mengikutinya. “T-tuan, pelan-pelan kakiku terasa sakit,” ujar Belle. Namun, Albara tak menghiraukannya dan malah berjalan semakin cepat.Saat akan sampai di pintu, Khaira dan kakekny
52“Kejutan!” suara seorang wanita menarik atensi orang-orang yang sedang duduk di meja makan pada pagi yang cerah. “A-anna!” teriak pria tua yang langsung bangkit dari tempat duduknya. “Ayah, siapa dia? Kenapa bisa masuk sembarangan? Pengawal ... usir dia pergi.” titah Khaira menunjuk ke arah Anna. Anna yang baru saja tiba di bandara segera menaiki taxi untuk menuju kediaman Gerald, yang merupakan Ayah kandungnya. “Ayah, katakan pada adik untuk menjaga sikapnya. Aku tidak harus memukulnya 'kan?” tutur Anna berjalan mendekat dan kemudian duduk di sebelah wanita tua yang enggan memandangnya.Gerald yang terkejut karna kedatangan Anna hanya bisa diam disaat ujaran Khaira memenuhi telinganya. Langkah kakinya ingin segera beranjak, namun sebuah ketakutan seakan mencegahnya.“Khaira, masuk ke kamarmu,” suruhnya.“Kenapa-”“Dengarkan Ibu! Cepat pergi ke kamarmu!” teriakannya membuat Khaira mengepalkan tangan marah. Setelah Khaira pergi, dirinya beralih menarik tangan Anna dan menyeret
53Di sisi lain, Belle tengah duduk berdua di sebuah restoran bersama Dahlia. Sembari menunggu makanan datang, keduanya fokus dengan ponsel masing-masing. Perasaan canggung menyertai sedari tadi, Belle menundukkan wajahnya lesuh, perlahan-lahan menoleh ke arah samping dan mendapati Albara juga menatapnya.“Ah, kenapa dia harus ikut? Aku tidak bisa leluasa.” batinnya menghela nafas gusar. Albara tak melepaskan pandangannya sedikitpun, dirinya waspada kepada Dahlia yang tiba-tiba mengajak Belle untuk bertemu.“Jadi, kenapa memintaku ke sini?” tanya Belle meletakkan ponselnya. “Tidak penting, aku hanya merasa ingin bertemu,” jawab Dahlia. Poros matanya melirik kalung yang dipakai Belle. Kilauannya seakan memancing Dahlia pada sebuah kenyataan bahwa Belle lebih bahagia. Perlahan, air matanya turun membasahi pipi yang nampak makin tirus. Dahlia berada di ambang keputuasaan.“Ada apa, katakan saja kepadaku.” minta Belle memberikan tisu kepada Dahlia. “Aku baik-baik saja, terima kasih.
Dahlia kian menangis sesaat setelah taxi yang dinaikinya meninggalkan Belle, sesak di dada semakin memaksanya untuk melampiaskan kesedihan. Tangannya mulai menyeka air mata yang terus jatuh. “Tidak ... aku harus menemuinya segera, dia tidak bisa mencampahkanku seperti ini.” batinnya mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Pada malam harinya, Dahlia bersiap untuk pergi keluar. Jaket tebal yang dikenakan membuat tubuh Dahlia semakin menggemuk. Setelah mengunci kostnya ia bergegas menuju sebuah tempat yang sudah ditentukan.“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah menjawabnya?” sela Elvan kala Dahlia datang. Bahkan gadis itu belum masih berdiri.“Kita melakukan kesalahan, kenapa hanya aku yang menanggungnya, apa itu yang dinamakan keadilan?” sergah Dahlia melempar alat tespect kepada Elvan. Pria itu kian menjadi diam, namun tatapannya mengarah lekat pada dua garis yang dianggapnya hanya tipuan. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir Elvan. “Aku merasa sakit, aku sendiri, dan kau ... tidak
Pagi-pagi sekali, Belle menuruni tangga dengan seragam lengkap dan tas yang digenggamnya.Meninggalkan rumah megah yang masih sunyi, matahari belum sepenuhnya bersinar. “Setelah tiga hari aku bisa pulang,” ungkap Dahlia.Sesaat setelah makanan yang dikunyahnya sampai ke tenggorokan. Nafsu makannya tak terlalu baik hari ini, namun Belle terus menyuapinya.“Baiklah, aku akan kembali lagi nanti. Jika butuh sesuatu panggil saja suster, jangan melakukan apapun sendirian.” ujar Belle meletakkan piring makan Dahlia di meja. Kemudian mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu. Sejenak matanya melirik jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangannya. Langkah kaki mulai berlari menuju parkiran.Sementara itu, Dahlia yang perlahan meraba perutnya kian terluka. Hatinya memikirkan anaknya yang akan lahir tanpa seorang Ayah. Seketika air mata mulai keluar dari pelupuk matanya. Dahlia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit rumah sakit sembari menahan isakannya. ***“Kenapa kau pe
Matahari mulai naik perlahan-lahan menyingkirkan kegelapan yang ada di langit, sepersekian detik kemudian Dahlia membuka matanya disambut cahaya mentari yang menyelinap lewat jendela ruangannya. Bibir itu kian terangkat mengukir sebuah senyuman yang indah.“Aku akan menjalaninya perlahan,” ujarnya.Selang beberapa saat, pintu terbuka dan memperlihatkan Belle yang datang bersama Albara.Setelah semua prosedur selesai, mereka pergi meninggalkan rumah sakit yang ramai di pagi hari. Belle duduk di kursi belakang bersama Dahlia, sementara Albara berada di mobil lain karna langsung pergi ke perusahaannya.“Apa obatmu sudah ada semua?” tanya Belle memeriksa tas bawaan mereka.“Sudah, kita tidak melupakan apapun.” terangnya menunjukkan obat yang ada di dalam tas. Belle bernafas lega setelah melihatnya, saat sampai di rumah Belle memegangi tangan Dahlia ketika menaiki tangga. Menggenggam erat tangan Dahlia dan berjalan perlahan, Dahlia membelalakkan matanya kala memasuki kamarnya.“Kau ...
Dahlia masuk sekolah saat kondisinya lebih baik, namun bayang-bayang malam itu masih sangat pekat dalam ingatannya. Begitupun sosok yang ternyata sedang ada di dalam kelasnya, menatap dengan pandangan tak bersalah. “Tidak perlu, biarkan saja aku sudah muak.” titah Dahlia memegangi tangan Belle sesaat sebelum menghampiri Elvan. Dahlia duduk terlebih dahulu di bangkunya dan disusul Belle dari belakang. Gadis itu meletakkan tasnya kasar di meja dengan ekspresi kesalnya. Selang beberapa saat, Elvan beranjak keluar dan Belle segera mengejarnya.Kali ini, Dahlia tak mencegahnya. Melainkan bertopang dagu menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Elvan!” panggil Belle. Berlari di belakang sebelum akhirnya Elvan berhenti dan berbalik menatapnya.“Kenapa kau mengacuhkan Dahlia seperti itu?” tanya Belle sembari mengatur nafasnya.“Lalu, aku harus bagaimana lagi? Dia meminta pertanggungjawaban, aku sudah memberikannya-”“Sialan!” umpat Belle memotong, “kau pikir dengan lari dari kenyataan bisa