"Apa yang kau lakukan? Kenapa Cammie ditangkap polisi?" seru Clea tertahan di sela-sela giginya menghubungi Daniel melalui sambungan telpon. Luca mendengarkan pembicaraan Clea, matanya menggelap dan rahangnya mengeras, bibirnya menyeringai sinis menyimak pembicaraan gadis itu di sambungan telpon. Begitu Clea telah memutuskan sambungan telponnya dan barjalan masuk ke dalam cafe dari tempat dia sembunyi di balik tembok, Luca langsung menarik lengan gadis muda itu. "Sudah ku duga, kau punya rencana tersembunyi dengan bekerja di cafe ini Clea Carle!" dengkus Luca menyebut nama lengkap Clea. "Katakan, siapa yang menyuruhmu untuk menjebak Cammie? Tidakkah tindakanmu sedikit tidak tau diri, memanfaatkan kebaikan Cammie padamu?" Clea terperanjat diberondong pertanyaan yang menyudutkannya dan Luca sudah menariknya ke balik meja bartender yang tinggi. "Katakan, kenapa kau diam, Clea Carle?" ulang Luca menatap tajam mata Clea. Clea menarik napas panjang, tidak ada lagi alasan baginy
Camille sedang duduk di atas ranjang kecil di dalam ruangan. Dia menekuk kedua kakinya dan menempelkan wajah pada lututnya. Di Roma, Eve sudah berulang kali menghubungi Clea agar pulang. Dia benar-benar rindu pada anak-anaknya di saat sendiri seperti ini. David sama sekali tidak bisa dia dampingi dan suaminya itu di bawa ke ruangan lain yang tidak dia ketahui. Pengacara suaminya meminta Eve agar pulang saja ke rumah, karena tidak ada yang bisa dilakukan oleh Eve di kantor polisi. "Sudah lebih dari dua puluh tahun, kamu dimana Camille? Mama yakin kamu masih hidup di suatu tempat, apakah kamu makan dengan baik? Bagaimana teman-temanmu? Apakah dirimu kesusahan, Nak? Mama rindu ...tapi jika kita bertemu, mungkin kita bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Akankah kamu mengenali Mama, Camille?" Eve sedang berada di dalam kamar bayi yang selalu dia kunjungi jika rindu membuncah dalam dadanya. Kamar bayi milik Camille, putri pertamanya. Waktu itu ASI Eve masih terus mengalir d
"Camilleeee ..."Luciano berlari menyambut Camille dan membawa tubuh gadis yang dia peluk erat itu menari bergoyang dengannya sedikit lebai dalam ruangan sempit balik meja bartender. "Kalian bisa mengganggu pekerjaanku! Luciano, antarkan ini pada tamu di halaman sana, cepatlah sebelum esnya mencair!" tegur Luca sambil menarik lengan Luciano yang memeluk tubuh Camille agar terlepas. Luciano bersungut-sungut mendelikkan bola matanya pada Luca, mengambil nampan dan membawa pesanan yang sudah Luca persiapkan untuk dia antarkan ke halaman. "Bagaimana keadaanmu? Apakah kamu baik-baik aja? Apakah petugas polisi yang menanyaimu sopan atau menyiksamu?" Luca mencecar pertanyaan pada Camille dan melihat lengan serta tengkuk gadis itu yang kulitnya terasa sangat lembut pada telapak tangannya. "Ya, mereka semua baik padaku. Aku tidak apa-apa. Tidak ada penyiksaan. Pierre ada di kantor?" Camille menjawab pertanyaan Luca sambil tersenyum bahagia lalu bertanya mengenai Pierre yang belum dia lihat
Camille mengantarkan makanan penutup ke meja Martin dan Patrick lalu bergegas kembali karena ada pelanggan lain yang memanggilnya. "Dia terlihat baik-baik saja," cetus Patrick pelan pada Martin. "Lain kali jangan memperhatikannya atau mau aku congkel keluar biji matamu?" dengkus Martin kesal bercampur cemburu karena pastinya Patrick juga memindai kemolekan tubuh Camille meskipun terbalut apron. Patrick berdecak dan geleng-geleng kepala menanggapi ucapan Martin yang sangat tidak masuk akal baginya. "Sepertinya Anda harus buru-buru melamarnya, ku lihat mereka para pria itu yang sering datang ke sini dan mata mereka hanya menatap padanya." tutur Patrick setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling cafe dan memperhatikan para tamu yang berinteraksi dengan Camille. "Cepat habiskan makananmu dan kembalilah ke kantor!" Martin tahu jika banyak pria yang pastinya menyukai Camille. Gadis itu bukan hanya terlihat manis mempesona, namun juga luwes dan ramah pada pelanggan tanpa membe
"Kalian berantem?" Dylan bertanya pada Camille saat putrinya itu sudah kembali ke kamarnya yang mereka akan tidur bersama di ranjang baru. "Tidak. Aku hanya tidak suka pria yang memaksakan kehendaknya pada wanita. Och, Paman ...apakah ada duplikat pria seperti dirimu di dunia ini? Aku ingin menikah dengan pria yang memiliki karakter seperti dirimu!" Camille menyahut sambil memeluk sebelah bahu Dylan dan melabuhkan wajahnya bersandar pada Ayah angkatnya tersebut. Solenne tersenyum, ikut memeluk Camille dari belakang. "Pamanmu memang yang terbaik. Tetapi Bibi yakin, kamu gadisku yang manis juga pasti mendapatkan pria tampan yang cocok, sesuai dan menyayangimu tanpa memaksakan kehendaknya padamu." Dylan memeluk Camille dan Solenne yang dia tarik pada masing-masing sisi tubuhnya. Lalu menoleh pada Abraham yang tersenyum lebar juga berhambur memeluk Camille dan masih terjangkau lengan Dylan ikut memeluknya. "Sudah Paman katakan, jika kamu tidak suka, jangan dipaksakan menjalin hubu
Martin tidak bisa memejamkan matanya hingga matahari pagi terbit di ufuk timur dan cahayanya masuk ke dalam kamarnya melalui ventilasi. Martin sebelumnya memang tidak menyesali atas apa yang telah dia lakukan dan berikan sebagai hadiah untuk Camille. Tetapi mendengar ucapan gadis pujaannya itu semalam, membuatnya berpikir ulang puluhan kali dalam kepalanya jika dia telah salah menilai Camille. "Aku bukan ingin memaksa dan merendahkanmu, Cammie ...tapi, aku sungguh dan ingin memberikan apa pun serta semuanya untukmu. Melindungimu juga berharap dirimu bisa berhenti dari pekerjaan berbahaya yang kamu lakukan." bisik Martin sambil bangkit dari ranjangnya, berjalan dan berdiri di depan jendela, menatap cahaya matahari pagi yang dia tatap langsung ke pijaran bola terangnya. Setelah beberapa saat, Martin menghela napas panjang. Martin masuk ke kamar mandi untuk mengguyur kepalanya yang terasa panas karena secara tidak langsung Camille telah menjaga jarak dengannya dari ucapan gadis itu
Solenne tiba-tba merasa pusing dan tubuh besarnya oleng saat akan membuatkan penganan untuk pelanggan di warungnya. "Solenne!" Dylan langsung tanggap memegangi tubuh Solenne yang hendak jatuh. "Duduklah, biarkan aku dan Abraham yang melayani pelanggan." tutur Dylan lembut sambil membawa istri kesayangannya itu untuk duduk pada salah satu kursi. Dylan menerima air lemon segar dari tangan Abraham yang datang membawakan minuman untuk Solenne. "Paman temani Bibi saja, biar saya yang membuatkan penganan," tutur Abraham yang diangguki Dylan. Abraham sudah terbiasa membantu Solenne dan sudah mulai bisa membuat penganan yang juga rasanya tidak kalah lezatnya dari kedua orangtua angkatnya tersebut. "Ada apa denganmu? Apakah kepalamu pusing atau tensimu rendah?" Dylan bertanya kuatir pada Solenne yang menatap Dylan dengan tatapan kosong selama beberapa saat. "Kita jalan-jalan ke Lemoncello yuk!" ajak Solenne tanpa menjawab pertanyaan Dylan. Dylan menatap mata Solenne yang terlih
"Apa kabar, Bibi? Dan bagaimana denganmu anak muda? Mari Paman, silakan bawa Bibi dan Abraham duduk di sofa. Aku akan memanggil Camille ..." Solenne mengibaskan tangan di depan wajahnya sambil tertawa kecil. "Biarkan saja dia bekerja. Jangan beritahu dia dulu," potong Solenne cepat agar Pierre tidak memanggil Camille yang sedang melayani para pelanggan datang ke Lemoncello membantu karyawan magang yang meminta bantuan pada gadis itu. Pierre tersenyum maklum. Dia melayani sendiri keluarga Camille, menanyakan minuman, makanan dan camilan yang ingin mereka makan sambil dia juga memberikan rekomendasi menu terlaris di Lemoncello. "Itu orangtua Camille?" tanya Luca saat Pierre kembali ke balik meja bartender. "Ya. Camille memanggil mereka dengan sebutan Paman dan Bibi. Anak lelaki itu Abraham yang anggota baru di yayasan Dokter Elma," sahut Pierre sambil memotong cake untuk keluarga Camille sebagai makanan pembuka. Luca terdiam mendengar jawaban Pierre yang terbuka padanya menceritak