Membuat Lu Bu bertemu dengan Diao Chan tidak sulit. Membuat Diao Chan suka Lu Bu juga akan mudah.
Walau Lu Bu kasar, memiliki wajah tampan serta badan kekar idaman wanita.
Cao Cao mengajak Lu Bu menyamar menjadi warga biasa dan bertemu Diao Chan di pasar.
Pasar sangat ramai oleh penjual dan pembeli, jalanan becek, aroma campur aduk. Keduanya berdesakan mencari bidadari.
"Mana dia? Kamu tidak bohong, kan?" tanya Lu Bu, berjinjit-jinjit mencoba mencari Diao Chan. "Harusnya aku membawa pasukan, biar mereka menariknya ke hadapanku."
"Haiya, jika kamu melakukan itu Diao Chan bakal takut. Kamu mau cinta sejati atau cinta terpaksa?"
Lu Bu terkekeh. "Sejati, lah."
"Apa yang kamu lakukan dengan belati itu?" tanya Hua Xiong. "Jatuhkan atau kubunuh kamu!" Cao Cao semakin panik ketika Dong Zhuo melotot tajam kepadanya. Belati telah keluar dari sarung, jelas tidak mudah mengarang alasan untuk keluar dari situasi ini. "Mau apa kamu, hmm!" sentak Dong Zhuo. Cao Cao langsung bertekuk lutut, tertunduk menyajikan belati dengan kedua tangan pada Dong Zhuo. "Hamba ingin memberi belati sakti kepada Tuan." Hua Xiong bertukar pandang bingung dengan Dong Zhuo. Dong Zhuo bangkit mengambil belati, mengamati dengan seksama benda itu. "Ini pisau dapur?" "Itu b
Bersama teman-teman, Sima Zhou mendaki gunung menuju perguruan Huasan. Banyak calon murid melakukan hal yang sama. "Capek," keluh Zhou mengusap kening yang basah keringat. "Kak apa masih jauh?" Shi mengangguk tanpa menjawab. Hatinya masih terkubur dalam kecemburuan. "Ini minumlah," tawar Qiao memberi wadah air terbuat dari bambu pada Zhou. Zhou hendak menerima, tapi teringat ucapan Bian. Dia mengamati Shi yang melangkah sambil sesekali memandang ke belakang. Pandangan sinis itu membuat Zhou semakin yakin jika Shi cemburu. "Ahm, aku tidak haus." Dia mempercepat langkah meninggalkan Qiao. "Kak minta minum," pinta Zho
"Baiklah, yang dipanggil maju," ucap guru muda, mulai membaca daftar nama yang dia pegang. Setiap nama yang dipanggil maju untuk menerima kertas. Kertas hijau tanda lulus sementara kertas putih tanda gagal, disertai uang saku untuk pulang. Satu persatu nama peserta dipanggil. Sebagian pulang tanpa semangat dan sebagian riang menerima kertas hijau. Deng Ai dan Deng Qiao lulus. Setelah mendapat kertas hijau, mereka memilih tetap berada di sana, menanti hasil tes dua teman baru mereka. "Sima Shi, maju," panggil guru. Shi enggan melepas gandengan pada adiknya. Walau tadi sempat cemburu buta, ikatan kasih sayang adik-kakak lebih besar. Matanya berkaca-kaca takut jika keterima. Bagaimana dengan Zhou kelak? "Zhou
Kuda Cao Cao kena racun dan tewas di tengah jalan. Terpaksa dia melangkah sendiri. Beruntung pakaian yang dia kenakan lumayan tebal hingga anak panah yang menancap di punggung tidak mengenai tubuh. Malam semakin larut. Dia tidur di pinggir jalan, menyelimuti diri pakai rerumputan. Sebagai penangkal hewan buas dia sengaja menaburi garam di sekitar, mengolesi badan pakai kotoran. Cahaya bulan dan bintang menemaninya. "Lagi-lagi Dewa mempermainkanku." Suara semak bergoyang membuatnya waspada mengeluarkan pedang. Binatang buas atau manusia? Tiba-tibau puluhan pasukan kekaisaran bertombak datang menyergap. Cao Cao terlalu lemah untuk bergerak. Seorang penunggang kuda mendekat. Menyeringai melihatnya. "Halo C
Entah permainan apa yang Dewa lakukan hingga Cao Cao terselamatkan dengan cara aneh. Dari malam sampai matahari bersinar terang mereka tak henti berkuda. Cheng Gong meninggalkan pekerjaan demi menemani pahlawan tanpa persiapan matang. Hanya kuda dan sekantong uang serta empat kendi arak menemani mereka. Keduanya tidak memakai jalan utama. Mereka memakai jalan kelinci yang hanya diketahui oleh orang desa setempat. Chen Gong mengusap kening yang berkeringat sambil memacu santai kudanya yang mulai kelelahan. "Ternyata Kakek pencari kayu tadi benar, ya." Cao Cao terkekeh. "Ya. Kita sangat beruntung poster buronan belum sampai ke desa-desa. Andai sudah sampai, mereka pasti berlomba-lomba membunuhku."
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Chen Gong, memandang bandit lalu memandang heran Cao Cao. "Haiya, apa kamu akan menyerah begitu saja setelah petualanganmu selama ini? Aku yakin bandit seperti mereka, setelah mendapat apa yang mereka mau, akan langsung membunuh kita." Cao Cao terkekeh kecil. "Aku harusnya sudah mati ketika kamu tangkap kemarin malam. Nyatanya tidak, kan? Dewa masih ingin bermain-main denganku, dia belum bosan, jadi aku tidak akan mati." Ucapan Cao Cao hanya membuat Chen Gong kesal. "Cukup berkata-kata. Katakan apa rencanamu." Chen Gong menanti jawab cukup lama tapi Cao Cao malah turun dari kuda. "Haiya, dasar!" Chen Gong tidak punya pilihan lain selain ikut turun menemani Cao Cao sambil menarik tali kemudi kedua kuda mereka.
Mendengar semua itu membuat Cao Cao berpikir cepat. Dia mengoper pedang pada sahabatnya lalu berdua mereka keluar kamar, bersenjatakan pedang yang telah keluar dari sarung pedang masing-masing. Kehadiran Cao Cao dan Chen Gong membuat terkejut dua pemuda di depan kamar. Kedua pemuda itu membawa golok di tangan masing-masing. Sepertinya dugaan Chen Gong benar. Keluarga Luboshe menjual mereka dan jelas mereka hendak memenggal kepala Cao Cao dan Chen Gong demi uang hadiah. "Tuan Cao Cao, ada apa?" tanya salah satu pemuda dengan ramah. Cao Cao menjawab dengan sadis menusuk perut pemuda. Pemuda kedua ketakutan sampai badannya bergetar dan tidak bisa bergerak. Cekatan C
Setelah dosa besar yang mereka lakukan, Cao Cao dan Chen Gong bingung harus apa. Luboshe orang baik. Tetapi mereka mengkhianati kebaikannya. "Ada apa, kenapa buru-buru? Matahari belum terbit," ucap Luboshe, turun dari kuda pamer beberapa kendi mahal. "Lihat, arak ini enak. Ayo kita pulang dulu ke rumah menikmati arak." Chen Gong menangis karena hal ini. Dia turun bersama Cao Cao dan menjadi yang pertama memeluk kaki Luboshe. "Maafkan kami, Paman. Maafkan dosa kami." "Haiya." Luboshe yang baik salah mengerti. Dia membantu Chen Gong berdiri, merapikan pakaian pria itu. "Kenapa sampai berlutut? Tidak apa-apa, aku tahu kalian tidak betah di rumah kan?" "Bukan begitu, tapi--" Ca