Kendi arak berdiri di batu pinggir kali. Salju semakin tebal menghujani benda warna coklat tua itu.
Deng Qiao berdiri memandang pusaran air yang seakan tak bosan berputar.
Kejadian itu bagai kemarin baru terjadi. Tak terasa lebih dari lima bulan dia melakukan hal ini.
Shi menaruh kendi arak ke sebelah kendi di batu kali, mengusir salju putih yang singgah di atas kendi. Dia berdiri menggandeng tangan Qiao, mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Perlahan Qiao bersandar ke lengan pria jangkung di sebelah, sembari memeluk lengannya dengan erat.
Beberapa bulan ini mereka saling berbagi kesedihan, saling menguatkan, menempuh laut derita bersama. Setidaknya dengan berdua mereka menjadi lebih kuat dan h
Beberapa hari berlalu setelah Bian dan Lu Xun memadu kasih dalam makam Lang Xiaoni. Sepasang kekasih itu tak malu mengumbar kemesraan. Setelah berlatih Zhou mencari ikan, sementara Lu Xun yang menyiapkan kayu bakar dan memasak.Walau kemampuan Lu Xun tidak sehebat Bian, tapi dia mampu menguasai dengan baik ilmu menahan napas juga jurus melihat dalam gelap.Kali ini Bian menguasai tubuh Zhou.Zhou duduk santai di dekat api unggun, bermain suling. Sementara Lu Xun manja memeluk lengannya.Zhou berhenti bermain suling. "Siap kembali ke atas sana?"Lu Xun diam. Sebenarnya dia nyaman berdua saja dengan kekasih yang merenggut mahkotanya ini, terlebih memikirkan aktifitas di atas sana bakal membuat mereka tak bisa bertemu lagi
Ledakan terjadi karena ulah Deng Ai dan para Bu.Beruntung Zhou berhasil keluar dari lubang dengan semangat. Dia mendarat di tepi sungai atas."Zhou!" teriak Deng Ai memeluk Shi.Para senior yang menangkap tiga serangkai Bu kaget, mengucek mata. Mereka masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.Sementara Qiao hendak berlari memeluk Zhou, tapi pemandangan yang dia lihat.Lelaki yang dia cintai membopong gadis, dia tahu siapa Lu Xun. Gadis itu merangkul leher Zhou, enggan turun walau mereka sudah selamat.Perasaan Qiao campur aduk, hingga air mata tumpah. Beberapa bulan dia setia menaruh arak dan bunga di sini. Ketika yang lain yakin Zhou telah tiada, dia percaya
Setelah kehilangan semua pasukan, Cao Cao tidak tenggelam dalam kehampaan berlebih. Selama lima tahun dia berhasil memperluas wilayah dan membangun kekuatan militer di tanah tengah. Chenliu, Xuchang, Puyang, Wan, empat kota besar berada di bawah kekuasaannya setelah berhasil memperdaya para gubernur untuk memberi giok kuasa. Cao Cao tidak sungkan memakai bekas pasukan pemberontak Yellow Turban sebagai pasukan, yang dilatih sebagai pasukan Qing. Di bawah komando Xiahou Dun, mereka sangat buas hingga singa memilih menaruh cakar dan taring, kabur dari mereka. Siang ini keadaan Xuchang aneh. Semua orang di kota memakai kain putih untuk membalut pakaian mereka, juga memakai topi kain putih berekor panjang, mereka juga menggantung kain putih di setiap rumah, bahkan di depan gerbang kota dan tembok luar kota. 
Karena pertimbangan logistik di musim salju, Cao Cao menunda invasi ke kawasan Xiao Pei sampai musim panen tiba. Di pagi hari yang cerah, dia melancarkan invasi nyata, dengan beralasan membalas dendam kematian Ayah. Empat kuda berbaris menarik kereta kuda besar melewati lahan padi yang siap panen. Di atas kereta kuda berpayung besar Cao Cao duduk sambil membaca buku. Sekarang jenggotnya sangat lebat, hitam, menutup seluruh dagu, membuatmya bagai beruang garang. Di depan kereta kuda beberapa pasukan berkuda membuka jalan. Di sisi kiri dan kanan pasukan infanteri mengawal. Di belakang seperti naga panjang ratusan ribu bergerak secara teratur, mereka membawa peralatan perang juga logistik. Cao Cao memimpin 50.000 pasukan pemanah. Sementara 700.000 pasukan terbagi
Cao Cao mengamati wajah Xu Huang yang tanpa kerut. Dia mengartikan itu sebagai tiada niat jahat atau maksud tersembunyi dari pertanyaan pemuda di depannya. Terlebih sikap tenang dan aura petarung yang bagai laut tanpa angin menarik rasa bangga juga ngeri bersamaan. Cao Cao merasa beruntung mendapat Jenderal permata yang terselimuti tanah pekat seperti Xu Huang. Ketika pasukan datang hendak menyeret si permata menuju kerangkek, Cao Cao memberi kode dengan lambaian lemas tangan supaya mereka melepas Xu Huang. "Pertanyaan yang sangat bagus." Cao Cao memandang sekitar, banyak orang-orang bingung. Ini membuat raut wajahnya berseri-seri karena mereka tak mampu menebak pikirannya. Dia lanjut bicara, "Aturanku tadi sangat buruk, karena aturan yang baik tidak membuat ce
Sementara itu di Huasan, api cemburu membutakan mata beberapa murid. Qiao tahu rubah seperti apa Lu Xun. Menurutnya gadis yang menyamar sebagai lelaki guna merebut cinta adalah iblis jahat. Dia paham benar jika dia bertindak gasak-gusuk, bisa berujung sial. Dia berusaha bermain cantik dengan menjadi 'kakak baik' bagi Lu Xun. Selama beberapa hari terakhir dia selalu mengajak Lu Xun berlatih pedang. Siang ini dia bersama Deng Ai, Zhou, Shi, dan Lu Xun berkumpul di perpustakaan. Dia membawa buku tua duduk di sebelah Zhou yang saat ini berada di bawah kekuasaan Bian. Qiao cemberut mendapati Zhou sedang bercengkrama dengan Lu Xun. "Zhou, lihat ini, pedang keramat meteor. Satu dari dua senjata Liu Ban." Dia menar
Semua murid tahun kelima Huasan berkumpul di pagoda Air Terjun. Guru gendut menanti mereka bersama guru wanita tua. Para siswi berada di sisi kiri sementara para pemuda memenuhi sisi kanan. Shi yang terakhir datang, melangkah pelan berdiri di baris paling belakang. Raut wajahnya seperti es, pandangan sipit fokus ke depan. Tiada senyum mencuat di bibir. Bian yang menguasai tubuh Zhou menilai dia masih cemburu. Pintu utama perlahan tertutup rapat. Semua siswa panik ketika suara dentuman pintu menggema, kecuali Bian yang menguasai tubuh Zhou dan Shi. "Shi, sini!" ajak Deng Ai, tapi Shi tak bergeming. "Zhou, Ada apa dengan Shi?" "Fokus ke depan," saran Zhou berdiri gagah di sebelah Ai. Semua siswa berdiri tegap dalam barisan
Banyak siswi Huasan mencuri start. Sebelum matahari berdiri di angkasa, mereka berbondong-bondong turun gunung. Beberapa malah membantu guru dan senior demi stempel. Para siswa tak mau kalah, mereka berpencar penuh semangat ke segala arah. Zhou hari ini menguasai badan. Dia, Shi, Ai, dan tiga Bu berkumpul di jalan setapak di muka gapura depan tangga kaki gunung Huasan, yang rimbun oleh pepohonan di sekitar. "Awas kalian ya, siap-siap memanggil kami 'Kakak'!" Tiga Bu tertawa lantang. Mereka melayang menuju selatan, sepertinya mau ke kota Jiangxia. Ai menepuk dada Shi dan Zhou di sisi kiri dan kanannya bergantian. "Hei, apa kalian yakin mau ke Xiao Pei?" Tanpa menj