Malam telah datang ketika Aditya dan Vidya sampai ke Dusun Lubuk Ruso yang baru. Keduanya berjalan beriringan sambil berbincang ringan. Kali ini tangan Aditya dipenuhi barang milik Vidya. Ia tak tega melihat gadis itu harus membawa beban terlalu bamyak.Ketika keduanya melintasi barisan gubuk milik penduduk Lubuk Ruso, saat itu, para penduduk Lubuk Ruso masih ramai bercengkrama di depan gubuk darurat masing-masing.Saat Aditya dan Vidya melintas di depan mereka, tatapan mata mereka seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hampir semua orang bengong. Namun, mereka memang tetap menegur ramah keduanya.Begitu sampai di depan gubuk Wak Baidil, Aditya melihat Wak Baidil dan Umak sedang duduk santai diterangi nyala obor minyak jarak.Wak Baidil dan Umak yang telah melihat Aditya beriringan dengan Vidya dari jauh, seperti penduduk Lubuk Ruso yang lain, tak percaya dengan penglihatan mereka."Mak, benarkah apa yang kulihat ini?" saking tak percayanya, Wak Baidil sampai harus bertanya
Pertemuan para tetua Lubuk Ruso telah usai. Mereka semua telah kembali ke kediamannya masing-masing.Tinggalah Bak, Umak, Aditya, dan Nadir. Sementara Muri dan Pendek mendapat giliran tugas jaga malam ini.Sembari membantu Umak membereskan gerabah kotor, Bak, Aditya, dan Nadir terlibat perbincangan hangat. Awalnya pembicaraan mereka berkutat soal hasil pertengahan yang baru selesai dilakukan.Hasil-hasil pertemuan tadi antara lain, pertama, memberi nama Lubuk Ruso bagi dusun baru di hutan larangan ini. Nama Lubuk Ruso tetap digunakan karena mempertimbangkan kalau seluruh penduduk di dusun baru ini berasal dari Lubuk Ruso. Pemberian nama ini juga menyebabkan seluruh penduduk Lubuk Ruso tidak kehilangan akar sejarahnya.Kedua, menugaskan Koh Baidil memimpin laki-laki dewasa dan pemuda Lubuk Ruso untuk membangun fasilitas pertanian pangan.Ketiga, menugaskan Aditya untuk memimpin seluruh pemuda Lubuk Ruso untuk membangun rumah-rumah baru untuk semua penduduk Lubuk Ruso. Aditya juga punya
Di waktu yang sama, jauh di sebelah selatan Lubuk Ruso. Di sebuah bandar dagang yang kini berubah jadi sebuah Kutaraja Sriwijaya, Mukha Upang. Rampog sedang termangu, menopang dagu.Tubuh besar dan wajah seramnya tak bisa menyembunyikan rasa bimbang yang melanda hati si mantan bajak laut. Garis-garis diwajahnya kini makin mengerut.Galau hati Rampog terjadi sejak Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa memanggil. Datu Sriwijaya itu memintanya untuk pergi melakukan ekspansi ke Kerinci Rendah. Tugas itu ia terima dengan senang hati sekaligus bimbang. Rampog punya alasan tersendiri kenapa hatinya bisa bimbang menerima perintah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua terkait dengan peristiwa-peristiwa dalam hidup Rampog beberapa tahun lalu. Saat Rampog masih jadi seorang bajak laut.Memori Rampog terlempar ke masa-masa di mana ia menjadi salah satu raja bajak laut terbesar di Selat Bangka. Puak Elang Merah, kelompok bajak laut yang ia pimpin, berhasil menjadi yang terhebat dimasanya. Tak ada kapal
Wak Baidil dibuat heran pagi ini oleh Aditya dan Nadir. Sedari tadi keduanya ia lihat sama sekali tak bergerak dari teras rumah. Keduanya sibuk berbincang serius. Entah apa yang mereka perbincangkan.Wak Baidil menghampiri keduanya."Ehm...!""Eh...Bak!" jawab keduanya kaget.Wak Baidil lalu menarik sebuah bangku dan duduk bersama mereka."Aditya, Nadir. Kulihat kalian berdua sejak pagi tak beranjak dari teras ini. Tampaknya ada hal serius yang sedang kalian perbincangkan.""Begitulah Bak," jawab Aditya pendek."Kalau aku boleh tahu, apakah itu?""Aku mendapat tugas untuk membangun gedung sekolah di Lubuk Ruso ini. Tapi ada yang kurisaukan Bak," Nadir mengungkapkan isi obrolannya dengan Aditya."Kau ini memang selalu gelisah Nadir hahaha... Apa yang jadi kegelisahanmu?""Siapa yang akan jadi gurunya Bak!""Guru?" Sesaat Wak Baidil termangu. Sambil menepuk kening, Wak Baidil kembali bicara. "Kau benar Nadir! Kenapa aku sampai lupa soal ini dalam pertemuan semalam?""Hehe...Bak mulai pi
Sejak amukannya tempo hari pada Senapati Madya Danar, sikap Tara sedikit berubah. Keceriaan seperti hilang begitu saja dari Tara. Efeknya, ia jadi kurang bersemangat menjalankan tugas sebagai komandan pasukan khusus Sriwijaya. Iapun jarang terlihat di ksatrian prajurit Sriwijaya. Begitu selesai melakukan apel prajurit, jika tak ada latihan, maka ia memilih segera pergi ke Dangau Cinta.Candra tentu jadi orang yang paling repot karena perubahan sikap Tara. Candra mulai harus menghadapi konflik-konflik kecil dengan Tara. Tapi ada baiknya untuk Candra. Candra yang biasanya bersikap teledor dan masa bodoh, kini mau tak mau dituntut jadi lebih sabar.Yang paling membuat Candra bingung adalah penyebab perubahan sikap Tara. Tapi Tara masih belum mau menceritakan hal itu pada Candra. Kondisi ini juga yang akhirnya membuat tugas Candra menggali informasi dari Tara jadi macet. Tapi Candra tetaplah Candra. Tak ada kata menyerah baginya.Siang itu, seperti biasanya, Candra sudah sampai di Dangau
"Operasi militer ke Lubuk Ruso, ternyata tak lebih dari upaya Danar untuk melenyapkanku Kak!"Candra seperti tak percaya pada cerita Tara. Sisi manusiawi Candra yang polos mengatakan, mana mungkin Danar punya niat menghabisi Tara? Apalagi selama ini Tara adalah senapati kepercayaan Danar. Hampir tak mungkin. Tapi di sisi lain, peristiwa-peristiwa keras dalam hidup yang dialami Candra selama ini mengajarkan bahwa dunia tak sebaik yang ia kira. Dunia juga dipenuhi oleh manusia-manusia penuh intrik dan kelicikan untuk mendapatkan tujuan mereka masing-masing."Apa alasan Danar menghabisimu? Belum cukupkah ia dengan sikap diam dan mengalahmu?""Tak akan pernah cukup bagi Danar Kak! Dia akan merasa cukup tenang jika ia berhasil membunuhku!"Candra diam mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Tara. Darahnya tiba-tiba mendidih."Tara! Jika itu maunya, maka aku aku dulu yang akan menghabisinya! Tak kubiarkan Danar menyentuhmu walau seujung rambut!" kata Candra geram."Tenang Kak! Aku bisa me
Aditya telah berada di depan gubuk Koh Bai. Ia tak menduga, gubuk Koh Bai tepat berada di samping gubuk yang ditempati oleh Vidya dan Bi Daya.Malam ini, Aditya memenuhi janji. Koh Bai minta Aditya datang kegubuknya. Baik Koh Bai maupun Aditya merasa obrolan mereka masih panjang dan perlu waktu lebih panjang."Sekali-sekali kau yang berkunjung ke gubukku ya Aditya?" pinta Koh Bai pada Aditya siang tadi. Aditya menyetujuinya.Gubuk Koh Bai sama sederhana dengan gubuk milik penduduk Lubuk Ruso yang lain. Tak ada yang istimewa. Anehnya, sejak sampai di depan gubuk Koh Bai, Aditya seperti berat untuk masuk ke dalam. Padahal pintu gubuk Koh Bai terbuka lebar. Aditya lebih suka memandang ke arah gubuk Vidya."Aditya! Kau sudah datang? Masuklah!" suara Koh Bai membuyarkan lamunan Aditya."Eh...ya Koh!" jawab Aditya sedikit gugup. Ia kemudian melangkah berat masuk ke dalam gubuk."Duduklah!" "Ya Koh," jawab Aditya pendek. "Bi Yati dan anak-anak kemana Koh?""Mereka ada di belakang. Biasa, m
"Malam tadi anaknya! Pagi ini Ubaknya!" teriak Koh Bai gembira melihat kedatang Wak Baidil ke mata air. Ia buru-buru mencuci tangan dan menyambut kedatangan kepala dusun Lubuk Ruso tersebut."Ayo Wak! Kita ngobrol di sana saja!" kata Koh Bai sambil menunjukkan sebuah dangau kecil yang berada di sebelah kanan mata air. Wak Baidil berjalan ke arah dangau yang dimaksud Koh Bai. Koh Bai beralih sebentar, memberikan instruksi kepada para pemuda yang sedang giat membangun irigasi.Begitu Koh Bai telah berada didekatnya, tak sungkan Wak Baidil memuji."Memang hebat kau ini Koh! Kemajuan tanggung jawabmu begitu pesat. Tak kusangka irigasi yang kita impikan hampir selesai!"Koh Bai tersenyum. Sambil menyeka keringat ia menjawab, "Sebagian pemuda dan lelaki dewasa kuarahkan ke bawah Wak. Mereka kutugaskan mulai mencetak beberapa petak sawah.""Oh pantas aku tak melihat Muri.""Muri di bawah Wak. Ia kuminta jadi kepala pencetakan sawah. Sepertinya dia paham apa yang ku mau.""Baguslah. Kau ini m