Siang itu Candra sengaja singgah ke kedai Pak Cik. Sesampainya di sana, kebetulan kedai dalam kondisi sepi. Kondisi yang membuat Candra jadi tenang.Begitu masuk pintu kedai, ia mendapatkan Pak Cik sedang santai. Tanpa basa-basi, langsung saja Candra menarik Pak Cik menuju rumah utama. Pak Cik yang kaget tangannya ditarik paksa oleh Candra, sedikit kesal dan langsung bertanya pada Candra."Aih Candra! Apa maksudmu ini? Main tarik tangan orang lain seenaknya saja?"Tahu Pak Cik kesal padanya, Candra bukannya mengendurkan tarikannya. Ia malah makin kuat menarik tangan Pak Cik. Pak Cik kembali mengumpat."Anak kurang ajar! Bukannya berhenti, kau malah makin ngawur Candra!""Haha...Pak Cik! Sudahlah jangan banyak cakap, ayolah! Aku punya kabar baik untukmu!"Walau merasa kesal, mau tak mau Pak Cik akhirnya menuruti mau Candra. Diikutinya telik sandi Kedatuan Melayu yang kini kehilangan induk pasukan itu sampai ke teras rumah panggungnya. Sesampainya di teras rumah, Candra belum berhenti.
Kita tinggalkan sejenak perjalanan Aditya dan Nadir mencari rahasia misteri di dalam hutan larangan rimba raya Melayu. Begitu juga kemenduaan upaya Candra untuk mendekati Tara, antara cinta dan tugas negerinya.Kini kita alihkan perhatian kita ke Kerinci Rendah. Negeri para sigindo.Dalam bab terdahulu, telah diceritakan Sigindo Demahu sengaja datang dari jauh untuk menemui Sigindo Sungai Lintang. Kunjungan itu sengaja dilakukan untuk memberikan dukungan moral dan material bagi Sigindo Sungai Lintang yang negerinya berada di garis depan jika perang melawan ekspansi Melayu terjadi.Saat ini, malam mulai beranjak di Sungai Lintang. Lepas makan malam, Sigindo Sungai Lintang mengajak tamunya untuk bercakap-cakap di teras depan rumahnya. Pembicaraan mereka masih berkutat pada tema rencana ekspansi Sriwijaya dan persiapan mereka untuk menghadapinya.Sigindo Sungai Lintang yang pertama memulai obrolan."Saudaraku Tuan Sigindo Demahu, setelah lama kupikir, saat ini kita sedang melakukan misi
Pagi cerah. Di halaman rumah Sigindo Sungai Lintang telah terlihat Sigindo Sungai Lintang dan Sigindo Demahu. Keduanya bercakap-cakap ringan. Obrolan pagi banyak diwarnai derai tawa. Sementara tak jauh dari mereka, beberapa pengawal berkuda telah bersiap di samping dua ekor kuda yang telah disiapkan untuk keduanya.Kedua sigindo di tanah Kerinci Rendah tersebut pagi ini berencana pergi menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir. Sigindo Demahu yang memintanya semalam."Saudaraku Tuan Sigindo Demahu, mudah-mudahan kau tak keberatan mengatakan padaku, kenapa kau minta kuantar menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir?""Dengan senang hati Tuan. Sebenarnya aku gelisah dengan benteng dan parit pertahanan yang kita bangun di sana!" ujar Sigindo Demahu sambil mengacungkan tangannya ke arah kejauhan. Ke tempat benteng dan parit pertahanan Kerinci Rendah yang sedang dibangun."Maafkan aku Tuan, apakah aku salah dalam membangunnya sehingga kau kecewa?"Sigindo Demahu tersenyum dan menjawab pertanyaan
Sore datang. Setelah seharian menyusuri hutan larangan, Aditya dan Nadir tak kunjung menemui yang mereka cari. Setidaknya begitu untuk Nadir. Sedangkan Aditya, ia masih penasaran dengan mahluk misterius yang ia temui siang tadi.Karena perkara mahluk misterius itu pulalah yang membuat Aditya memutuskan untuk menginap semalam lagi di hutan larangan. Apalagi untuk keluar dari hutan tersebut, hari sudah hampir gelap. Ia dan Nadir tak punya cukup waktu untuk melakukannya."Nadir, sepertinya kita harus menginap semalam lagi di hutan ini. Aku masih penasaran dengan isi sesungguhnya dari hutan ini.""Aku ikut Kak Aditya saja," jawab Nadir singkat."Kalau kau kau sudah setuju, sebaiknya sekarang segera mencari tempat yang pas untuk membuat dangau. Kalau tak salah, tadi kita melewati sebuah sungai kecil. Kita kembali saja ke dekat sungai itu.""Baik Kak."Keduanya lalu berbalik dan berjalan ke arah sungai yang dimaksud Aditya. Tak lama keduanya sampai di tepi sungai kecil berair jernih. Sepert
Candra berjalan mondar-mandir. Entah mengapa seharian penuh ia merasa gelisah. Ia sendiri heran mengapa hal ini terjadi. Ia telah berulangkali mencoba membuang kegelisahannya dengan ragam aktivitas. Mulai dari membelah kayu, membersihkan tempat tinggal barunya, hingga memberi makan ayam peliharaan. Namun sekali lagi, entah mengapa kegelisahan tak kunjung pergi.Sore, selepas mandi dan sedikit makan, Candra telah mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki.ia harus tampak sempurna malam ini dihadapan Tara. Ini adalah kencan pertama mereka. Malam ini pula ia akan menyatakan perasaan dan meminta Tara untuk jadi kekasihnya.Waktu yang Candra tunggu tiba."Saat memulai hal baru dalam hidup," ucap Candra dalam hati. Ia lalu bergegas meninggalkan rumah dan menunggangi kudanya menuju kediaman Tara.Candra telah sampai di kediaman Tara. Tara tinggal di sebuah rumah panggung berukuran sedang. Rumah itu terletak persis di samping Istana Kedatuan Melayu. Seharusnya Tara sebagai salah satu perwira m
Suasana hening cukup lama. Di dalam rumah, yang terdengar hanya suara cicak bersahutan. Suara itu ditingkahi oleh suara jangkrik dan lolongan anjing dikejauhan.Candra merasa bersalah telah mengajukan pertanyaan tadi pada Tara. Ia merasa harus meminta maaf."Puan, aku minta maaf kalau pertanyaanku tadi membuatmu jadi tak nyaman."Tara masih diam. Pelan-pelan pandangan matanya beralih pada Candra. Ia lalu mulai bicara."Tak ada yang salah Candra. Hanya aku yang merasa sedikit sentimentil.""Tapi tetap saja aku penyebabnya Puan?"Senyum Tara terbit kembali. Hal itu melegakan hati Candra."Kan sudah kubilang. Ini bukan salahmu. Aku hanya terkenang hidupku di masa silam.""Lalu kenapa Puan seperti sangat risau?""Candra, sama sepertimu. Seumur hidupku, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Aku memang dekat dengan laki-laki sedari kecil. Tapi itu sebatas pertemanan biasa dan dalam dunia keprajuritan."Candra mendengarkan cerita Tara dengan penuh perhatian. Tiba-tiba keduanya merasakan ada
Aditya bisa bernafas lega. Negoisasi antara Nadir dengan pemimpin Suku Anak Dalam berjalan lancar. Tujuh orang Suku Anak Dalam yang semula menodongkan tombak kayu ke arah mereka, kini telah menurunkan senjatanya. Nadir dan pemimpin mereka juga sudah berpelukan tanda sudah tak ada lagi masalah."Kak Aditya, kemarilah!" panggil Nadir.Aditya langsung melangkah maju mendekati Nadir dan pemimpin Suku Anak Dalam. Si Pemimpin mengangguk-anggukan kepala saat Aditya telah mendekat. Ia lalu mengulurkan tangan kanan. Mengajak Aditya berjabat tangan. Aditya menyambutnya dengan senang.Peristiwa itu cepat berlalu. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan Nadir, delapan orang Suku Anak Dalam langsung pergi. Masuk kembali ke hutan larangan.Sepeninggal mereka semua, Aditya mengajak Nadir bercakap-cakap. Rasa ingin tahunya sangat besar melihat Nadir Mampun menjinakkan Suku Anak Dalam tanpa konflik sama sekali."Luar biasa! Tak kusangka hebat sekali kau Nadir! Kau mampu menjinakkan Suku Anak Dalam dala
Rumah Kepala Suku Dusun Lubuk Ruso yang dituju Aditya dan Nadir sudah di depan mata. Hari belum terlalu gelap ketika keduanya tiba.Pucuk dicinta ulam tiba. Saat keduanya baru masuk ke halaman, si empu rumah ternyata sedang bersantai di depan rumah. "Wak Baidil! Ini aku Nadir!" Baidil mempercepat langkahnya kegirangan melihat orang tua angkatnya ada di depan rumah. Baidil, orang yang dipanggil oleh Nadir tercengang. Setengah tak percaya Nadir tiba-tiba datang dan mencium tangannya."Nadir! Benarkah kau ini Bujang?""Ya Bak! Ini aku Nadir. Anak bujang Bak!""Demi Buddha! Akhirnya kau sampai kemari lagi ke rumahmu ini Bujang! Ayo masuk...! Ayo masuk...! Ajak temanmu masuk juga!" ajak Wak Baidil gembira. Aditya langsung tenang melihat sambutan hangat Wak Baidil. Dari tadi ia begitu gelisah. Dua sampai tiga orang penduduk dusun telah mengikuti mereka dari jauh. Seolah mereka tak suka ada orang luar berkunjung ke Dusun Lubuk Ruso.Ketiganya kini sudah berada di dalam rumah panggung Wak B