Aditya tak tahu harus bagaimana menanggapi kenyataan yang diceritakan Wak Baidil. Senang dan marah teraduk jadi satu.Di satu sisi, kenyataan yang ceritakan oleh Wak Baidil membuat hatinya senang. Betapa tidak, dengan kondisi Dusun Lubuk Ruso yang sekarang dipenuhi para pelarian dari Muara Bulian akibat kesewenang-wenangan pihak Sriwijaya, ia dan Nadir tak perlu terlalu capek mambangun basis perlawanan. Bahan bakarnya sudah tersedia di Lubuk Ruso.Di sisi yang lain, ia benar-benararah mengetahu penduduk Melayu di seantero negeri menjadi sengsara dan miskin karena ulah Sriwijaya. Suatu rasa yang wajar dimiliki oleh anak muda dari suatu negeri terjajah.Kedua alasan di atas membuat Aditya seperti terhimpit beban sangat berat. Jika menuruti emosi, hendak sekali ia membuka hati dirinya saat itu juga. Tapi Aditya mampu mengendalikan diri. Ia tak bisa bersikap konyol dan kekanak-kanakan. "Semua harus tetap tertutup sesuai dengan skenario awal," ujar Aditya dalam hati. "Sementara ini, biarl
"Hoiii...iya Dik! Sebentar lagi aku ke sana! Ini masih ada Wak Baidil!" teriak Koh Bai menjawab teriakan tadi."Ajaklah pula Beliau ikut makan kemari Kak!" teriakan balasan kembali terdengar."Iya Dik!" teriak Koh Bai pendek."Siapa Koh Bai? Yatikah itu?" tanya Wak Baidil."Benar Wak, itu Yati," jawab Koh Baidil sambil sisa keringat dikeningnya."Apa kabar Yati Koh?""Sehat Wak. Oh ya Wak Baidil dan adik-adik, istriku mengundang Wak dan adik-adik untuk makan siang bersama di huma kami. Kebetulan Yati masak lumayan banyak tadi Wak.""Bagaimana Nadir dan kau Jawir? Ada rezeki mendadak nih? Kalian menerimanya?""Kalau aku ikut Bak saja," jawab Nadir singkat."Akupun sama Bak," Aditya mengikuti sikap Nadir."Kalau demikian, ayolah kita ikut Koh Bai sekarang. Menurutku juga sayang kalau menolak rezeki hehe..."Mereka berempat kemudian berjalan melewati jalan setapak di tengah ladang Koh Bai yang sedang ditanami padi darat. Di sela-sela rumpun-rumpun Koh Bai sengaja menanam labu. Jadi Koh B
Koh Bai berhenti bicara. Ia kemudian melirik ke arah Wak Baidil yang duduk tak jauh darinya."Wak Baidil sebagai tetua dusun Lubuk Ruso lebih paham kondisinya dariku. Beliau bisa menjelaskannya nanti padamu Jawir," Koh Bai menutup rangkaian ceritanya. Ada kegetiran yang belum bisa ia urai diwajahnya."Ini yang aku senang darimu Koh Bai!" tiba-tiba ceketukan Wak Baidil muncul. Namun orang tua itu belum mau bicara lebih banyak lagi. Ia lebih memilih mengajak Aditya dan Nadir berpamitan pada Koh Bai. "Koh Bai, sudah lewat tengah hari. Aku dan anak-anak pamit dulu. Kau juga pasti akan meneruskan pekerjaanmu.""Baik Wak. Jangan bosan main ke gubuk atau ladangku Wak. Kalian berdua juga begitu ya," jawab Koh Bai dengan senyumnya yang khas.Matahari sudah merambat perlahan ke arah barat. Hampir seluruh Lubuk Ruso telah dijelajahi mereka bertiga. Dalam sisa perjalanan itu, bagi Aditya tak ada lagi kejutan yang berarti. Namun ia sudah cukup puas untuk beberapa kejutan yang sangat berharga bagin
Aditya bingung dengan perbedaan yang terjadi soal Koh Bai. Untuk memenuhi rasa keingintahuannya, Aditya kembali bertanya pada Wak Baidil."Kenapa bisa beda soal asal usul kedatangan Koh Bai Wak? Terus, kenapa Wak Baidil dan Koh Bai juga berbohong pada penduduk Lubuk Ruso?""Ini yang aku berat mengatakan alasannya Jawir," jawab Baidil pelan. Seperti ada hal besar dan berat yang tak boleh diketahui orang lain. "Aku belum percaya kalian berdua bisa pegang rahasia.""Bak masih tak percaya pada kami berdua?""Bukan begitu Nadir. Soalnya ini menyangkut rahasia yang sangat besar.""Katakanlah Bak!" desak Nadir lagi.Wak Baidil tak juga menjawab. Yang terdengar malah hembusan nafas panjang. Ketiganya terdiam. Suasana yang terjadi bak suasana negoisasi besar yang macet."Huuuffft...baiklah kalau kalian terus memaksa. Tapi kuminta dari awal kalian akan menjaga rahasia ini dengan hidup kalian!" terdengar Wak Baidil menyetujui. Suara orang tua itu tergetar hebat. "Koh Bai adalah buronan nomor sat
Aditya tak tahu harus berkata apa lagi untuk membela diri. Sama halnya dengan Nadir. Ia juga merasa telah kehabisan kata-kata untuk membela Aditya di depan Baknya."Aditya, aku dan Koh Bai sudah beberapa hari menunggu kedatangan kalian berdua! Kami senang kalian berdua akhirnya bisa sampai ke Lubuk Ruso dengan selamat!""Demi Buddha! Darimana Wak Baidil tahu nama asliku?" Aditya seperti tersambar petir di siang bolong. Sementara Nadir hanya bisa melongo mendengar Baknya tahu persis siapa nama asli Aditya."Akan jadi kejutan lagi bagimu jika kukatakan siapa orang yang memberitahuku soal nama aslimu," ujar Wak Baidil sambil tersenyum. Saat ini Aditya benar-benar dalam kendali Wak Baidil.Kalah telak. Itulah perasaan yang dimiliki Aditya saat ini. Ia tak menyangka orang tua yang berada dihadapannya ini telah memperhatikan dirinya dan Nadir sejak dari Kutaraja Melayu. Aditya menyerah."Ya Wak. Aku Aditya," ujar Aditya pasrah. "Lalu dari siapa Wak tahu namaku?""Hehe...jadi sekarang aku ha
"Wak Baidil...! Wak Baidil...!"Dengan wajah pucat pemuda yang datang itu menghampiri Wak Baidil dan berbisik padanya. Wak Baidil mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi.Selesai memberikan informasi, pemuda itu langsung pergi. Tanpa sepatah katapun yang dikatakan pada Aditya dan Nadir. Tapi mereka tak mempersoalkannya. "Heeehhhhh...," Wak Baidil menghembuskan nafas panjang karena berita yang dibawa si pemuda tadi."Ada apa Bak?""Aaaah...berita duka Aditya!" kata Wak Baidil."Kalau aku boleh tahu, kabar duka dari siapa Bak?""Beberapa hari lalu, sebelum kedatangan kalian berdua, aku mengirimkan dua orang anak muda Lubuk Ruso ke sebuah hutan yang terkenal angker.""Hutan angker?" sahut Nadir tak bisa menutupi kekagetannya."Ya Nadir. Hutan berjarak satu hari perjalanan dari Lubuk Ruso.""Bak, apakah hutan yang Bak maksud itu hutan larangan yang terletak di sebelah kanan jalan antara Lubuk Ruso ke Melayu?""Kau benar Nadir. Bagiamana kau bisa tahu?"Adi
100.....Hari-hari pertama Candra dan Tara menjadi sepasang kekasih adalah hari-hari terindah dalam hidup keduanya. Siang, malam, dan seluruh waktu dalam hidup keduanya saat ini adalah kebahagiaan. Ya, hanya kebahagiaan yang hadir dalam setiap tarikan nafas keduanya. Seperti tak ada kata susah di dunia ini.Bisa dipastikan, jika Tara lepas dari waktu dinasnya sebagai prajurit, maka Candra pasti ada disampingnya. Di rumah Tara, di kediaman Candra, di pasar, hampir di semua tempat. Di mana ada Tara, di situ ada Candra atau sebaliknya. Hanya di Istana Kedatuan Melayu yang keduanya hampir tak mungkin bersama.Malam ini, Candra telah selesai mandi dan memakai baju terbaik yang ia punya. Sebentar lagi ia akan berjalan menuju kediaman sang kekasih. Saat hendak bergegas, Candra harus menunda keberangkatannya. Dari ujung lorong jalan menuju rumahnya, Pak Cik terlihat berjalan menghampirinya."Selamat malam anak muda yang sedang dimabuk cinta hahaha...!" goda Pak Cik pada Candra."Haha...selam
Merasa bersalah, Candra berusaha berulangkali minta maaf pada Tara. Tapi Tara tak kunjung menanggapinya. Hal ini makin menyiksa Candra. Ia mulai putus asa. Ia lalu memilih diam. Keheningan menguasai rumah Tara beberapa saat lamanya."Puan, sekali lagi maafkan aku. Jika Puan tak hendak lagi aku ada di sini, aku akan pergi," ucap Tara sambil melepaskan tangan Tara dan berusaha bangkit dan pergi.Namun upayanya itu diurungkan oleh Tara. Tara segera menarik tangan Candra dan memintanya untuk tidak pergi."Candra jangan pergi! Kau tak salah! Tolong jangan tinggalkan aku!" pekik kecil Tara terdengar merajuk. Candra tak menyangka Tara tak menyalahkannya. Iapun menuruti permintaan Tara. Memang itu juga yang diinginkannya.Candra kembali duduk di sebelah Tara. Kondisi kekasihnya itu sudah kembali stabil dan tenang."Candra, aku minta maaf karena mendorong dengan kasar tadi.""Kok aneh? Seharusnya aku yang minta maaf Puan.""Candra, jangan panggil aku Puan lagi. Panggil saja aku Tara. Itu lebih