"Wak Baidil...! Wak Baidil...!"Dengan wajah pucat pemuda yang datang itu menghampiri Wak Baidil dan berbisik padanya. Wak Baidil mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi.Selesai memberikan informasi, pemuda itu langsung pergi. Tanpa sepatah katapun yang dikatakan pada Aditya dan Nadir. Tapi mereka tak mempersoalkannya. "Heeehhhhh...," Wak Baidil menghembuskan nafas panjang karena berita yang dibawa si pemuda tadi."Ada apa Bak?""Aaaah...berita duka Aditya!" kata Wak Baidil."Kalau aku boleh tahu, kabar duka dari siapa Bak?""Beberapa hari lalu, sebelum kedatangan kalian berdua, aku mengirimkan dua orang anak muda Lubuk Ruso ke sebuah hutan yang terkenal angker.""Hutan angker?" sahut Nadir tak bisa menutupi kekagetannya."Ya Nadir. Hutan berjarak satu hari perjalanan dari Lubuk Ruso.""Bak, apakah hutan yang Bak maksud itu hutan larangan yang terletak di sebelah kanan jalan antara Lubuk Ruso ke Melayu?""Kau benar Nadir. Bagiamana kau bisa tahu?"Adi
100.....Hari-hari pertama Candra dan Tara menjadi sepasang kekasih adalah hari-hari terindah dalam hidup keduanya. Siang, malam, dan seluruh waktu dalam hidup keduanya saat ini adalah kebahagiaan. Ya, hanya kebahagiaan yang hadir dalam setiap tarikan nafas keduanya. Seperti tak ada kata susah di dunia ini.Bisa dipastikan, jika Tara lepas dari waktu dinasnya sebagai prajurit, maka Candra pasti ada disampingnya. Di rumah Tara, di kediaman Candra, di pasar, hampir di semua tempat. Di mana ada Tara, di situ ada Candra atau sebaliknya. Hanya di Istana Kedatuan Melayu yang keduanya hampir tak mungkin bersama.Malam ini, Candra telah selesai mandi dan memakai baju terbaik yang ia punya. Sebentar lagi ia akan berjalan menuju kediaman sang kekasih. Saat hendak bergegas, Candra harus menunda keberangkatannya. Dari ujung lorong jalan menuju rumahnya, Pak Cik terlihat berjalan menghampirinya."Selamat malam anak muda yang sedang dimabuk cinta hahaha...!" goda Pak Cik pada Candra."Haha...selam
Merasa bersalah, Candra berusaha berulangkali minta maaf pada Tara. Tapi Tara tak kunjung menanggapinya. Hal ini makin menyiksa Candra. Ia mulai putus asa. Ia lalu memilih diam. Keheningan menguasai rumah Tara beberapa saat lamanya."Puan, sekali lagi maafkan aku. Jika Puan tak hendak lagi aku ada di sini, aku akan pergi," ucap Tara sambil melepaskan tangan Tara dan berusaha bangkit dan pergi.Namun upayanya itu diurungkan oleh Tara. Tara segera menarik tangan Candra dan memintanya untuk tidak pergi."Candra jangan pergi! Kau tak salah! Tolong jangan tinggalkan aku!" pekik kecil Tara terdengar merajuk. Candra tak menyangka Tara tak menyalahkannya. Iapun menuruti permintaan Tara. Memang itu juga yang diinginkannya.Candra kembali duduk di sebelah Tara. Kondisi kekasihnya itu sudah kembali stabil dan tenang."Candra, aku minta maaf karena mendorong dengan kasar tadi.""Kok aneh? Seharusnya aku yang minta maaf Puan.""Candra, jangan panggil aku Puan lagi. Panggil saja aku Tara. Itu lebih
Suasana alam raya sangat romantis bagi Candra dan Tara malam itu. Malam yang damai. Bintang gemintang pendar berpendar dikejauhan. Suara jangkrik menjadi musik alami yang mengisi relung hati dua sejoli yang sedang kasmaran. Benar-benar malam paling indah bagi keduanya."Tara, aku merasa malam ini jadi malam yang terindah dalam hidupku," kata Candra sambil membelai rambut Tara mesra."Bagiku juga begitu Candra. Ini jadi waktu yang sangat kudambakan seumur hidupku. Aku ingin selalu bersamamu Sayang," balas Tara kalah mesra. Ia makin menguatkan pelukan tangannya ke pinggang Candra."Tara...""Ya Kak. Boleh aku memanggilmu begitu?""Sangat boleh Sayang.""Terimakasih Kakak. Terus, ada apa Kak?""Sejujurnya, aku kini tak mau kehilanganmu.""Akupun begitu.""Tapi ada yang jadi kekhawatiran dalam hatiku Sayang.""Apa itu Sayang?""Jangan marah ya kalau kukatakan?""Aku janji tak akan marah. Sungguh.""Aku merasa gelisah dengan posisimu sebagai prajurit."Tara sedikit bangkit dari duduknya. "
"Demi Buddha!" pekik Candra tanpa sadar."Ada apa Sayang?" Tara ikut kaget dibuatnya."Ahhh...tidak.""Ada apa Sayang? Bukankah kau berjanji tak akan bohong padaku?"Candra jadi serba salah. Namun ia harus tetap tenang supaya Tara tak curiga. "Aku hanya tak percaya Sayang.""Karena jabatanku?""Ya Sayang. Aku tak menyangka, jika kekasih cantikku ini orang hebat dalam pasukan Sriwijaya," puji Candra berusaha menutupi kekagetannya. Dalam hati ia masih juga tak percaya, "Demi Buddha. Benarkah yang kudengar ini?""Begitulah kenyataannya Sayang. Aku punya tanggung jawab yang besar dalam pasukan Sriwijaya." "Aku maklum dan mengerti posisimu sekarang.""Apakah itu berpengaruh dengan hubungan kita Kak?" tanya Tara. Ada rasa khawatir tersirat didalamnya."Tidak. Tidak Sayang. Aku malah makin mencintaimu karenanya."Jawaban Candra membuat Tara lega. Ketegangan di wajah Tara terurai kembali. Hari beranjak siang. Udara makin terasa panas."Kak Candra Sayang. Sudah siang, aku mesti kembali bertu
Tangan Candra dengan cekatan membuka pintu gerbang bukit milik Tara. Ia lalu membuka pintu dan memasukkan kudanya dengan cepat. Sebelum menutup pintu gerbang, ia sempat menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihatnya masuk.Setelah dirasa aman, Candra lalu menutup pintu gerbang dan langsung menuju puncak bukit. Malam ini Candra menepati janji terhadap kekasihnya.Suasana di sekitar Dangau Cinta sepi. Tak ada aktivitas manusia. Seperti biasa, yang terdengar hanya suara binatang malam dan desir angin. Setelah menambatkan kuda, Candra lalu masuk ke dalam Dangau Cinta. Pintu dangau memang tak pernah terkunci. Tara dari awal sengaja melakukan itu. Candra lalu menghidupkan obor minyak jarak dan keluar lagi. Menunggu Tara, bidadari cantiknya.Tak menunggu lama, dari kejauhan Candra mendengar derap kaki seekor kuda menuju puncak bukit. Makin lama suaranya makin jelas."Tara," kata Candra sembari tersenyum. Candra lalu berdiri dan berjalan lebih ke muka lagi.Kuda yang ditung
Ruang tengah rumah Wak Baidil sudah mulai ramai. Koh Bai dan para tetua Dusun Lubuk Ruso yang diundang Wak Baidil telah hadir. Tak ada lagi yang ditunggu. Sesaat lagi acara akan dimulai.Ketika Wak Baidil berniat menghampiri tempat duduknya dari teras rumah, di saat itulah dua orang pemuda terburu-buru mengejarnya. "Wak! Wak! Tunggu sebentar!" teriak salah seorang dari mereka sambil tergopoh menaiki anak tangga rumah.Wak Baidil menahan langkahnya."Muri! Kau sudah kembali lagi?""Ya Wak! Aku ditemani oleh Pendek! Kami berdua berangkat dari Kutaraja Melayu semalam!""Ayo duduk dulu. Sambil istirahat, kau bisa langsung bercerita.""Ya Wak?" jawab Muri. Ia dan Pendek lalu duduk dan segera minum dengan tergesa."Kau tampak tergesa-gesa kembali ke Lubuk Ruso. Padahal kau harusnyabaru berangkat dari Kutaraja Melayu besok malam. Ada apakah gerangan?" tanya Wak Baidil pada Muri.Muri mengatur nafas yang masih tersengal. Baru kemudian menjawab pertanyaan Wak Baidil."Wak, sebelum aku cerita,
Setelah pertemuan para Datuk di rumah Wak Bai, Lubuk Ruso berubah menjadi sibuk. Dusun yang biasanya telah sepi dan hanya meninggalkan para orang peronda malam berjaga, kini berubah total. Manusia, obor, dan teriakan hilir mudik menjadi satu.Kesepakatan bersama dalam pertemuan tadi menghendaki semua penduduk Lubuk Ruso harus mengungsi ke hutan larangan besok pagi. Mau tak mau, semua yang hadir dalam pertemuan langsung bergerak sesuai dengan tugas masing-masing. Bahkan Muri dan Pendek yang baru tiba di Lubuk Rusopun harus bergerak menyiapkan pengungsian massal.Telah disepakati dalam pertemuan itu juga, seluruh lelaki muda di Lubuk Ruso malam ini harus dibangunkan dan diberi tugas menyebarkan kabar ke seluruh dusun, menjaga keamanan, menyiapkan jalur pengungsian, menyiapkan tandu-tandu untuk membawa barang, orang jompo, orang sakit, dan lainnya. Sementara perempuan, anak-anak, dan orang tua juga dilibatkan untuk mengemasi barang-barang yang akan akan dibawa mengungsi ke hutan larangan