Ruang tengah rumah Wak Baidil sudah mulai ramai. Koh Bai dan para tetua Dusun Lubuk Ruso yang diundang Wak Baidil telah hadir. Tak ada lagi yang ditunggu. Sesaat lagi acara akan dimulai.Ketika Wak Baidil berniat menghampiri tempat duduknya dari teras rumah, di saat itulah dua orang pemuda terburu-buru mengejarnya. "Wak! Wak! Tunggu sebentar!" teriak salah seorang dari mereka sambil tergopoh menaiki anak tangga rumah.Wak Baidil menahan langkahnya."Muri! Kau sudah kembali lagi?""Ya Wak! Aku ditemani oleh Pendek! Kami berdua berangkat dari Kutaraja Melayu semalam!""Ayo duduk dulu. Sambil istirahat, kau bisa langsung bercerita.""Ya Wak?" jawab Muri. Ia dan Pendek lalu duduk dan segera minum dengan tergesa."Kau tampak tergesa-gesa kembali ke Lubuk Ruso. Padahal kau harusnyabaru berangkat dari Kutaraja Melayu besok malam. Ada apakah gerangan?" tanya Wak Baidil pada Muri.Muri mengatur nafas yang masih tersengal. Baru kemudian menjawab pertanyaan Wak Baidil."Wak, sebelum aku cerita,
Setelah pertemuan para Datuk di rumah Wak Bai, Lubuk Ruso berubah menjadi sibuk. Dusun yang biasanya telah sepi dan hanya meninggalkan para orang peronda malam berjaga, kini berubah total. Manusia, obor, dan teriakan hilir mudik menjadi satu.Kesepakatan bersama dalam pertemuan tadi menghendaki semua penduduk Lubuk Ruso harus mengungsi ke hutan larangan besok pagi. Mau tak mau, semua yang hadir dalam pertemuan langsung bergerak sesuai dengan tugas masing-masing. Bahkan Muri dan Pendek yang baru tiba di Lubuk Rusopun harus bergerak menyiapkan pengungsian massal.Telah disepakati dalam pertemuan itu juga, seluruh lelaki muda di Lubuk Ruso malam ini harus dibangunkan dan diberi tugas menyebarkan kabar ke seluruh dusun, menjaga keamanan, menyiapkan jalur pengungsian, menyiapkan tandu-tandu untuk membawa barang, orang jompo, orang sakit, dan lainnya. Sementara perempuan, anak-anak, dan orang tua juga dilibatkan untuk mengemasi barang-barang yang akan akan dibawa mengungsi ke hutan larangan
Pagi masih remang. Ekor rombongan besar pengungsi Lubuk Ruso sudah hilang dari pandangan mata Aditya. Itulah rombongan terakhir yang berangkat ke hutan larangan.Sedangkan rombongan pertama yang terdiri dari lima belas orang tua, orang sakit, dan para perempuan hamil jadi rombongan pertama yang diberangkatkan ke hutan larangan tengah malam tadi. Rombongan itu dikawal oleh tiga puluh orang pemuda yang bertugas memandu, melindungi, dan menyiapkan perkemahan sementara di hutan larangan. Rombongan pertama ini dipimpin oleh Nadir, sebagai orang yang tahu jalan rahasia menuju hutan larangan.Pemuda pengawal rombongan pertama nantinya akan dipecah jadi dua bagian. Sepuluh orang akan tinggal di tengah jalan dan bertugas menjaga keamanan jalur pengungsian. Sementara dua puluh orang lainnya akan ikut sampai ke hutan larangan.Rombongan kedua dipimpin oleh Koh Bai yang kebetulan memahami separuh jalan yang akan dilewati. Rombongan ini terdiri dari seluruh penduduk Lubuk Ruso yang tersisa. Rombo
"Ada apa Kadi? Kenapa kau malah datang kemari?" tegur Wak Baidil melihat Kadi datang."Anu Wak... anu!" Kadi tergagap."Anu kenapa Kadi? Coba tenang dulu. Baru kau cerita pada kami apa yang terjadi!" ujar Wak Baidil."Huft...huft...! Anu Wak...itu...itu!""Ya Kadi! Itu kenapa?" bentak Wak Baidil mulai kesal."Anu Wak...salah satu perempuan hamil dalam rombonganku hendak melahirkan!""Astagaaa...kukira ada apa! Kadi... Kadi...!" Wak Baidil jadi lega setelah dengar kabar dari Kadi. "Sekarang bagaimana kondisinya?""Sedang diurus semampunya oleh teman-teman yang lain Wak. Aku diperintahkan Nadir untuk mengabari Wak!""Baiklah! Koh Bai, perintahkan seorang dukun bayi dan seorang pemuda untuk mendahului kita! Cepat selesaikan persalinan perempuan itu. Jangan sampai nanti malah menghambat laju seluruh rombongan!" perintah Wak Baidil pada Koh Bai."Siap Wak!" jawab Koh Bai langsung mengerjakan perintah Wak Baidil.Wak Baidil kembali pada Kadi. "Lalu bagaimana dengan anggota rombongan yang la
"Akupun berpikir demikian Pak Cik! Satu ini yang belum bisa kuselesaikan." Candra mengakui kekurangannya. Ia kemudian bertanya pada Pak Cik. "Pak Cik, adakah kabar terbaru dari Aditya?""Aku belum dapat kabar terbaru Candra. Justru kabar tentang Aditya dan mereka semua di Lubuk Ruso yang jadi pikiranku. Entah apa yang terjadi pada mereka."Mendengar kata-kata terakhir Pak Cik, kepala Candra menjadi berat. Selama ini ia memang prajurit, namun hanya prajurit biasa yang menjalankan perintah atasan saja. Tak pernah ia bekerja atas keputusan sendiri. Tapi kini kondisi memaksa Candra untuk berubah sepenuhnya. Ia dan beberapa kawan seusianya mau tak mau harus bisa mengambil keputusan. Di tangan Candra dan teman-temannyalah nasib Kedatuan Melayu ditentukan."Candra! Masih adakah yang harus kita bicarakan?""Kupikir cukup Pak Cik. Menurutku kita tinggal menunggu kabar dari Lubuk Ruso!"Lubuk Ruso? ada rasa getir ketika Candra mengucapkan kata "Lubuk Ruso". Kembali kepala Candra merasa dihantam
Di waktu yang sama dengan keberangkatan Tara, satu hari perjalanan dari tepi Sungai Batanghari. Aditya berjalan mondar-mandir. Ia dan beberapa pemuda Lubuk Ruso gelisah menanti proses persalinan seorang perempuan pengungsi. Perempuan itu dikenal sebagai Midah. Anak dari Datuk Arsam.Bagaimana tak gelisah, seumur hidupnya ia tak pernah sekalipun melihat orang melahirkan. Apalagi sampai harus mendampinginya. Erang kesakitan Midah membuat hati Aditya masygul. Apalagi saat ini suami Midah tak ada. Kabarnya, suami Midah pergi merantau ke Muara Bulian saat Midah baru mengandung dua bulan. Hingga kini tak pernah ada kabar tentangnya.Bi Daya, dukun bayi yang membantu persalinan Midah sudah berusaha sekuat tenaga. Segala cara digunakannya untuk mempercepat persalinan Midah. Tapi sampai saat ini bayi yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Yang terdengar hanya erangan kesakitan Midah yang membuat Aditya makin panik.Waktu terus bergerak."Oek...oek...!" tiba-tiba terdengar keras tangisan bayi.
Sejak berangkat dari tempat Midah melahirkan, hujan deras mengguyur Aditya dan rombongan. Saat itu mereka hampir sampai ke tepi rawa-rawa yang memisahkan tempat mereka sekarang dengan hutan larangan.Seharusnya mereka bisa sampai di tepi rawa-rawa paling lambat sebelum malam. Tapi karena hujan deras ini, jalan jadi licin dan membuat beberapa obor bambu yang mereka andalkan untuk penerangan tidak bisa difungsikan. Akhirnya semua itu membuat Aditya dan rombongan berjalan pelan dan meraba-raba.Efek paling fatal yang disebabkan cuaca buruk adalah Aditya harus kehilangan banyak waktu. Belum lagi ia memperkirakan air rawa-rawa pasti naik drastis. Ia khawatir mereka tak akan bisa menyeberang ke hutan larangan. Kekhawatiran sekarang benar-benar menjalari bulu tengkuk Aditya.Kehilangan banyak waktu membuat jarak waktu rombongan Aditya dan kedatangan pasukan Sriwijaya makin menipis. Bahkan dalam situasi yang sama sekali buta informasi tentang lawan, Aditya makin khawatir jika pasukan Sriwijay
Lubuk Ruso, Dusun PemberontakKokok ayam jantan pertama mulai terdengar. Selarut ini Wak Baidil masih terjaga. Hujan deras yang mengguyur hutan larangan sejak kemarin sore membuat suasana hutan larangan yang mereka huni malam ini tambah mencekam.Wak Baidil tak sendiri. Datuk Arsam duduk didepannya. Tegang, gelisah, dan marah tersirat di wajah keduanya. Sebagai pemimpin Lubuk Ruso, ketika masih ada puluhan penduduk yang belum jelas nasibnya, sudah wajar Wak Baidil gelisah. Demikian juga dengan Datuk Arsam. Sebagai orang dari Midah dan sebagai seorang kakek, manusiawi jika ia mengkhawatir nasib Midah dan cucunya."Datuk, kemana perginya mereka semua ini? Maksudku, kenapa sampai hampir dini hari begini Aditya dan rombongannya belum muncul juga?""Ya Wak! Aku juga gelisah. Entah bagaimana nasib Midah dan cucuku? Apakah masih hidup atau sebaliknya?" kata Datuk Arsam sambil menahan tangis."Sabar Datuk! Lagi-lagi hanya itu yang bisa kita lakukan. Sabar dan menunggu." kata Wak Baidil mengu