Di waktu yang sama dengan keberangkatan Tara, satu hari perjalanan dari tepi Sungai Batanghari. Aditya berjalan mondar-mandir. Ia dan beberapa pemuda Lubuk Ruso gelisah menanti proses persalinan seorang perempuan pengungsi. Perempuan itu dikenal sebagai Midah. Anak dari Datuk Arsam.Bagaimana tak gelisah, seumur hidupnya ia tak pernah sekalipun melihat orang melahirkan. Apalagi sampai harus mendampinginya. Erang kesakitan Midah membuat hati Aditya masygul. Apalagi saat ini suami Midah tak ada. Kabarnya, suami Midah pergi merantau ke Muara Bulian saat Midah baru mengandung dua bulan. Hingga kini tak pernah ada kabar tentangnya.Bi Daya, dukun bayi yang membantu persalinan Midah sudah berusaha sekuat tenaga. Segala cara digunakannya untuk mempercepat persalinan Midah. Tapi sampai saat ini bayi yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Yang terdengar hanya erangan kesakitan Midah yang membuat Aditya makin panik.Waktu terus bergerak."Oek...oek...!" tiba-tiba terdengar keras tangisan bayi.
Sejak berangkat dari tempat Midah melahirkan, hujan deras mengguyur Aditya dan rombongan. Saat itu mereka hampir sampai ke tepi rawa-rawa yang memisahkan tempat mereka sekarang dengan hutan larangan.Seharusnya mereka bisa sampai di tepi rawa-rawa paling lambat sebelum malam. Tapi karena hujan deras ini, jalan jadi licin dan membuat beberapa obor bambu yang mereka andalkan untuk penerangan tidak bisa difungsikan. Akhirnya semua itu membuat Aditya dan rombongan berjalan pelan dan meraba-raba.Efek paling fatal yang disebabkan cuaca buruk adalah Aditya harus kehilangan banyak waktu. Belum lagi ia memperkirakan air rawa-rawa pasti naik drastis. Ia khawatir mereka tak akan bisa menyeberang ke hutan larangan. Kekhawatiran sekarang benar-benar menjalari bulu tengkuk Aditya.Kehilangan banyak waktu membuat jarak waktu rombongan Aditya dan kedatangan pasukan Sriwijaya makin menipis. Bahkan dalam situasi yang sama sekali buta informasi tentang lawan, Aditya makin khawatir jika pasukan Sriwijay
Lubuk Ruso, Dusun PemberontakKokok ayam jantan pertama mulai terdengar. Selarut ini Wak Baidil masih terjaga. Hujan deras yang mengguyur hutan larangan sejak kemarin sore membuat suasana hutan larangan yang mereka huni malam ini tambah mencekam.Wak Baidil tak sendiri. Datuk Arsam duduk didepannya. Tegang, gelisah, dan marah tersirat di wajah keduanya. Sebagai pemimpin Lubuk Ruso, ketika masih ada puluhan penduduk yang belum jelas nasibnya, sudah wajar Wak Baidil gelisah. Demikian juga dengan Datuk Arsam. Sebagai orang dari Midah dan sebagai seorang kakek, manusiawi jika ia mengkhawatir nasib Midah dan cucunya."Datuk, kemana perginya mereka semua ini? Maksudku, kenapa sampai hampir dini hari begini Aditya dan rombongannya belum muncul juga?""Ya Wak! Aku juga gelisah. Entah bagaimana nasib Midah dan cucuku? Apakah masih hidup atau sebaliknya?" kata Datuk Arsam sambil menahan tangis."Sabar Datuk! Lagi-lagi hanya itu yang bisa kita lakukan. Sabar dan menunggu." kata Wak Baidil mengu
Pagi yang indah. Tak hanya suasana alam raya yang tertimpa sinar matahari terang yang begitu elok untuk dipandang mata pagi ini. Begitu pula dengan suasana hati manusia-manusia penghuni baru hutan larangan.Di kejauhan Aditya melihat hampir seluruh penduduk Lubuk Ruso berdiri gembira menyambut kedatangannya, Koh Bai, dan seluruh anggota rombongan. Lebih istimewa lagi, kegembiraan pagi ini diwarnai oleh hadirnya kehidupan baru. Hadirnya si jabang bayi, anak Midah.Tak bisa dipungkiri, Datuk Arsam adalah orang yang paling bahagia. Ia juga orang pertama berjalan menyambut kedatangan rombongan. Kebahagiaan Datuk Arsam itu dibalas dengan didahulukannya Midah dan sang cucu yang digendong oleh Bi Daya untuk berjalan paling depan. Kegembiraan emosional lalu pecah. Semua penduduk Lubuk Ruso larut dalam kegembiraan dan bisa melupakan segala duka untuk sementara.Saat semua orang larut dalam kegembiraan, Aditya memilih untuk memeriksa dan menghitung anggota rombongan. Setelah semua beres, Aditya
"Uaaaah...!" Aditya menggeliat dan menguap bangun dari tidur. Walau sudah terasa membaik, badannya masih terasa pegal di sana-sini. Perjuangan yang ia lakukan benar-benar menguras seluruh energi dan pikiran.Tadinya Aditya masih akan melanjutkan kembali tidur. Tapi niat itu ia urungkan. Gaduh kegiatan penduduk hutan larangan membuatnya mau tak mau harus bangkit.Aditya terkaget ketika mengetahui hari telah sore. Seluruh teman-teman yang semalam tidur bersamanya telah bangun semua. Ia yang terakhir bangun.Dengan cepat Aditya pergi mandi. Setelah mandi, ia langsung menuju dapur umum yang telah dibangun dan makan sepuasnya.Sore itu, walau dalam kondisi sederhana, seluruh pengungsi Lubuk Ruso merasa gembira di tempat tinggal baru. Hutan larangan yang semula dalam benak mereka adalah tempat yang penuh misteri serta menakutkan, ternyata adalah sebuah tempat yang tenang. Setelah semalam bermukim di hutan larangan, mereka sudah mampu merasakan. Aditya juga bisa merasakan keceriaan itu.Deng
Langit mendung di atas bumi Melayu. Tara terlihat kotor dan acak-acakan. Ia baru saja turun dari kudanya dan langsung menuju ksatrian prajurit Melayu. Memang sudah ia tekadkan, setibanya di Kutaraja Melayu dari Lubuk Ruso, ia akan langsung menuju gedung ksatrian prajurit Kedatuan Sriwijaya di Melayu.Tanpa basa-basi ia langsung menuju sebuah bangunan tempat Senapati Madya Danar biasanya berada.Setibanya di pintu gerbang bangunan yang dituju, Tara langsung masuk ke halaman bangunan utama tanpa memberitahu prajurit penjaga.Sikap Tara yang seenaknya, membuat seorang prajurit jaga mengejarnya."Senapati! Senapati! Mohon berhenti!""Ada apa prajurit?""Bukankah Senapati seharusnya melapor dulu ke gardu jaga?" tanya si prajurit sopan."Prajurit, kau tahu siapa aku?" bentak Tara dengan mata melotot. Ia langsung membuang muka dan berlalu.Si prajurit langsung menghadang Tata dengan kedua tangannya."Berhenti Senapati! Amba hanya menjalankan perintah!""Plak! Buk! Heg...!Bukan menjawab, Tar
Malam telah datang ketika Aditya dan Vidya sampai ke Dusun Lubuk Ruso yang baru. Keduanya berjalan beriringan sambil berbincang ringan. Kali ini tangan Aditya dipenuhi barang milik Vidya. Ia tak tega melihat gadis itu harus membawa beban terlalu bamyak.Ketika keduanya melintasi barisan gubuk milik penduduk Lubuk Ruso, saat itu, para penduduk Lubuk Ruso masih ramai bercengkrama di depan gubuk darurat masing-masing.Saat Aditya dan Vidya melintas di depan mereka, tatapan mata mereka seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hampir semua orang bengong. Namun, mereka memang tetap menegur ramah keduanya.Begitu sampai di depan gubuk Wak Baidil, Aditya melihat Wak Baidil dan Umak sedang duduk santai diterangi nyala obor minyak jarak.Wak Baidil dan Umak yang telah melihat Aditya beriringan dengan Vidya dari jauh, seperti penduduk Lubuk Ruso yang lain, tak percaya dengan penglihatan mereka."Mak, benarkah apa yang kulihat ini?" saking tak percayanya, Wak Baidil sampai harus bertanya
Pertemuan para tetua Lubuk Ruso telah usai. Mereka semua telah kembali ke kediamannya masing-masing.Tinggalah Bak, Umak, Aditya, dan Nadir. Sementara Muri dan Pendek mendapat giliran tugas jaga malam ini.Sembari membantu Umak membereskan gerabah kotor, Bak, Aditya, dan Nadir terlibat perbincangan hangat. Awalnya pembicaraan mereka berkutat soal hasil pertengahan yang baru selesai dilakukan.Hasil-hasil pertemuan tadi antara lain, pertama, memberi nama Lubuk Ruso bagi dusun baru di hutan larangan ini. Nama Lubuk Ruso tetap digunakan karena mempertimbangkan kalau seluruh penduduk di dusun baru ini berasal dari Lubuk Ruso. Pemberian nama ini juga menyebabkan seluruh penduduk Lubuk Ruso tidak kehilangan akar sejarahnya.Kedua, menugaskan Koh Baidil memimpin laki-laki dewasa dan pemuda Lubuk Ruso untuk membangun fasilitas pertanian pangan.Ketiga, menugaskan Aditya untuk memimpin seluruh pemuda Lubuk Ruso untuk membangun rumah-rumah baru untuk semua penduduk Lubuk Ruso. Aditya juga punya