Suasana alam raya sangat romantis bagi Candra dan Tara malam itu. Malam yang damai. Bintang gemintang pendar berpendar dikejauhan. Suara jangkrik menjadi musik alami yang mengisi relung hati dua sejoli yang sedang kasmaran. Benar-benar malam paling indah bagi keduanya."Tara, aku merasa malam ini jadi malam yang terindah dalam hidupku," kata Candra sambil membelai rambut Tara mesra."Bagiku juga begitu Candra. Ini jadi waktu yang sangat kudambakan seumur hidupku. Aku ingin selalu bersamamu Sayang," balas Tara kalah mesra. Ia makin menguatkan pelukan tangannya ke pinggang Candra."Tara...""Ya Kak. Boleh aku memanggilmu begitu?""Sangat boleh Sayang.""Terimakasih Kakak. Terus, ada apa Kak?""Sejujurnya, aku kini tak mau kehilanganmu.""Akupun begitu.""Tapi ada yang jadi kekhawatiran dalam hatiku Sayang.""Apa itu Sayang?""Jangan marah ya kalau kukatakan?""Aku janji tak akan marah. Sungguh.""Aku merasa gelisah dengan posisimu sebagai prajurit."Tara sedikit bangkit dari duduknya. "
"Demi Buddha!" pekik Candra tanpa sadar."Ada apa Sayang?" Tara ikut kaget dibuatnya."Ahhh...tidak.""Ada apa Sayang? Bukankah kau berjanji tak akan bohong padaku?"Candra jadi serba salah. Namun ia harus tetap tenang supaya Tara tak curiga. "Aku hanya tak percaya Sayang.""Karena jabatanku?""Ya Sayang. Aku tak menyangka, jika kekasih cantikku ini orang hebat dalam pasukan Sriwijaya," puji Candra berusaha menutupi kekagetannya. Dalam hati ia masih juga tak percaya, "Demi Buddha. Benarkah yang kudengar ini?""Begitulah kenyataannya Sayang. Aku punya tanggung jawab yang besar dalam pasukan Sriwijaya." "Aku maklum dan mengerti posisimu sekarang.""Apakah itu berpengaruh dengan hubungan kita Kak?" tanya Tara. Ada rasa khawatir tersirat didalamnya."Tidak. Tidak Sayang. Aku malah makin mencintaimu karenanya."Jawaban Candra membuat Tara lega. Ketegangan di wajah Tara terurai kembali. Hari beranjak siang. Udara makin terasa panas."Kak Candra Sayang. Sudah siang, aku mesti kembali bertu
Tangan Candra dengan cekatan membuka pintu gerbang bukit milik Tara. Ia lalu membuka pintu dan memasukkan kudanya dengan cepat. Sebelum menutup pintu gerbang, ia sempat menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihatnya masuk.Setelah dirasa aman, Candra lalu menutup pintu gerbang dan langsung menuju puncak bukit. Malam ini Candra menepati janji terhadap kekasihnya.Suasana di sekitar Dangau Cinta sepi. Tak ada aktivitas manusia. Seperti biasa, yang terdengar hanya suara binatang malam dan desir angin. Setelah menambatkan kuda, Candra lalu masuk ke dalam Dangau Cinta. Pintu dangau memang tak pernah terkunci. Tara dari awal sengaja melakukan itu. Candra lalu menghidupkan obor minyak jarak dan keluar lagi. Menunggu Tara, bidadari cantiknya.Tak menunggu lama, dari kejauhan Candra mendengar derap kaki seekor kuda menuju puncak bukit. Makin lama suaranya makin jelas."Tara," kata Candra sembari tersenyum. Candra lalu berdiri dan berjalan lebih ke muka lagi.Kuda yang ditung
Ruang tengah rumah Wak Baidil sudah mulai ramai. Koh Bai dan para tetua Dusun Lubuk Ruso yang diundang Wak Baidil telah hadir. Tak ada lagi yang ditunggu. Sesaat lagi acara akan dimulai.Ketika Wak Baidil berniat menghampiri tempat duduknya dari teras rumah, di saat itulah dua orang pemuda terburu-buru mengejarnya. "Wak! Wak! Tunggu sebentar!" teriak salah seorang dari mereka sambil tergopoh menaiki anak tangga rumah.Wak Baidil menahan langkahnya."Muri! Kau sudah kembali lagi?""Ya Wak! Aku ditemani oleh Pendek! Kami berdua berangkat dari Kutaraja Melayu semalam!""Ayo duduk dulu. Sambil istirahat, kau bisa langsung bercerita.""Ya Wak?" jawab Muri. Ia dan Pendek lalu duduk dan segera minum dengan tergesa."Kau tampak tergesa-gesa kembali ke Lubuk Ruso. Padahal kau harusnyabaru berangkat dari Kutaraja Melayu besok malam. Ada apakah gerangan?" tanya Wak Baidil pada Muri.Muri mengatur nafas yang masih tersengal. Baru kemudian menjawab pertanyaan Wak Baidil."Wak, sebelum aku cerita,
Setelah pertemuan para Datuk di rumah Wak Bai, Lubuk Ruso berubah menjadi sibuk. Dusun yang biasanya telah sepi dan hanya meninggalkan para orang peronda malam berjaga, kini berubah total. Manusia, obor, dan teriakan hilir mudik menjadi satu.Kesepakatan bersama dalam pertemuan tadi menghendaki semua penduduk Lubuk Ruso harus mengungsi ke hutan larangan besok pagi. Mau tak mau, semua yang hadir dalam pertemuan langsung bergerak sesuai dengan tugas masing-masing. Bahkan Muri dan Pendek yang baru tiba di Lubuk Rusopun harus bergerak menyiapkan pengungsian massal.Telah disepakati dalam pertemuan itu juga, seluruh lelaki muda di Lubuk Ruso malam ini harus dibangunkan dan diberi tugas menyebarkan kabar ke seluruh dusun, menjaga keamanan, menyiapkan jalur pengungsian, menyiapkan tandu-tandu untuk membawa barang, orang jompo, orang sakit, dan lainnya. Sementara perempuan, anak-anak, dan orang tua juga dilibatkan untuk mengemasi barang-barang yang akan akan dibawa mengungsi ke hutan larangan
Pagi masih remang. Ekor rombongan besar pengungsi Lubuk Ruso sudah hilang dari pandangan mata Aditya. Itulah rombongan terakhir yang berangkat ke hutan larangan.Sedangkan rombongan pertama yang terdiri dari lima belas orang tua, orang sakit, dan para perempuan hamil jadi rombongan pertama yang diberangkatkan ke hutan larangan tengah malam tadi. Rombongan itu dikawal oleh tiga puluh orang pemuda yang bertugas memandu, melindungi, dan menyiapkan perkemahan sementara di hutan larangan. Rombongan pertama ini dipimpin oleh Nadir, sebagai orang yang tahu jalan rahasia menuju hutan larangan.Pemuda pengawal rombongan pertama nantinya akan dipecah jadi dua bagian. Sepuluh orang akan tinggal di tengah jalan dan bertugas menjaga keamanan jalur pengungsian. Sementara dua puluh orang lainnya akan ikut sampai ke hutan larangan.Rombongan kedua dipimpin oleh Koh Bai yang kebetulan memahami separuh jalan yang akan dilewati. Rombongan ini terdiri dari seluruh penduduk Lubuk Ruso yang tersisa. Rombo
"Ada apa Kadi? Kenapa kau malah datang kemari?" tegur Wak Baidil melihat Kadi datang."Anu Wak... anu!" Kadi tergagap."Anu kenapa Kadi? Coba tenang dulu. Baru kau cerita pada kami apa yang terjadi!" ujar Wak Baidil."Huft...huft...! Anu Wak...itu...itu!""Ya Kadi! Itu kenapa?" bentak Wak Baidil mulai kesal."Anu Wak...salah satu perempuan hamil dalam rombonganku hendak melahirkan!""Astagaaa...kukira ada apa! Kadi... Kadi...!" Wak Baidil jadi lega setelah dengar kabar dari Kadi. "Sekarang bagaimana kondisinya?""Sedang diurus semampunya oleh teman-teman yang lain Wak. Aku diperintahkan Nadir untuk mengabari Wak!""Baiklah! Koh Bai, perintahkan seorang dukun bayi dan seorang pemuda untuk mendahului kita! Cepat selesaikan persalinan perempuan itu. Jangan sampai nanti malah menghambat laju seluruh rombongan!" perintah Wak Baidil pada Koh Bai."Siap Wak!" jawab Koh Bai langsung mengerjakan perintah Wak Baidil.Wak Baidil kembali pada Kadi. "Lalu bagaimana dengan anggota rombongan yang la
"Akupun berpikir demikian Pak Cik! Satu ini yang belum bisa kuselesaikan." Candra mengakui kekurangannya. Ia kemudian bertanya pada Pak Cik. "Pak Cik, adakah kabar terbaru dari Aditya?""Aku belum dapat kabar terbaru Candra. Justru kabar tentang Aditya dan mereka semua di Lubuk Ruso yang jadi pikiranku. Entah apa yang terjadi pada mereka."Mendengar kata-kata terakhir Pak Cik, kepala Candra menjadi berat. Selama ini ia memang prajurit, namun hanya prajurit biasa yang menjalankan perintah atasan saja. Tak pernah ia bekerja atas keputusan sendiri. Tapi kini kondisi memaksa Candra untuk berubah sepenuhnya. Ia dan beberapa kawan seusianya mau tak mau harus bisa mengambil keputusan. Di tangan Candra dan teman-temannyalah nasib Kedatuan Melayu ditentukan."Candra! Masih adakah yang harus kita bicarakan?""Kupikir cukup Pak Cik. Menurutku kita tinggal menunggu kabar dari Lubuk Ruso!"Lubuk Ruso? ada rasa getir ketika Candra mengucapkan kata "Lubuk Ruso". Kembali kepala Candra merasa dihantam