Terkejut dengan kata-kata temannya, Anisa melirik David dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan pengeras suara. “Kau sudah memberitahuku semua ini sebelumnya, Adelia. David adalah suamiku! Aku sudah menikah. Jadi, berhentilah membicarakan dia seperti itu.” Adelia masih menolak untuk mendengarkan alasan Anisa dengan berkata, “Berhentilah terlalu memedulikan pria berkebutuhan khusus itu. Lagi pula, dia tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tidakkah kamu setidaknya mencoba mendengarkan aku? Senior Ibrahim adalah segalanya yang diinginkan seorang gadis di kampus. Kamu akan menghancurkan hatiku jika terus melakukan ini, tahu.” Anisa tahu bahwa temannya hanya bermaksud yang terbaik untuknya. Kalau tidak, dia pasti sudah menutup telepon sejak lama. Namun kata-kata ini hanya akan melukai perasaan David jika dia mendengarnya. Sejenak Anisa mengabaikan suara telepon Adelia untuk melihat ekspresi suaminya, dia melihat David menundukkan pandangannya dan terdiam membeku saat mende
Anisa menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran, ditambah lagi, dia memiliki pengetahuan umum untuk mendukungnya. Dia sudah bertekad untuk mencari cara mengobati suaminya tercinta. “Aku adalah istrimu, senang maupun sulit kita jalani bersama. Tidak masalah tentang penyakitmu, sayang. Aku menyayangi kamu karena aku mau. Aku menginginkan kamu seutuhnya, selamanya, setiap hari.” Anisa berusaha untuk meyakinkan suaminya, jika dia sungguh-sungguh mencintai David. Tatapan matanya melebar dengan senyuman manis terpancar dari sikap keterbukaannya. “Apakah kamu menerima aku apa adanya?” tanya David dengan mengerutkan keningnya, dia masih meragukan kesetian Anisa. “Ya, mengapa tidak? Belah dada ini dan lihatlah hatiku, jika itu bisa meyakinkan kamu. Hidup dan matiku hanya untukmu, rasa hati ini tak akan pernah bisa dusta.” Sebuah ungkapan rasa cinta yang mendalam diucapkan oleh Anisa, dia mencintai suaminya dengan setulus hatinya. David seketika tersenyum lebar sa
Setelah mengirim pesan, David melirik Anisa. Istrinya benar-benar cantik, dan penuh semangat. Tidak mengherankan jika Anisa memiliki beberapa pengagum di universitas, tetapi jika ada yang berani mencoba mengambil wanita itu darinya, mereka sama saja dengan mencari masalah. Anisa telah mempelajari dokumen yang diberikan Profesor Jalaluddin dengan cermat. Tiba-tiba, dia berseru, “Ternyata kemaluan pria penuh dengan saraf, sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ereksi. Sungguh menarik...” Anisa terlalu fokus dengan tugasnya dan tidak sadar mengucapkan kata-kata sensitif yang bisa saja menyinggung suaminya. David terdiam mendengar kata-kata Anisa saat membaca dokumen milik Profesor Jalaluddin. “Ereksi adalah kondisi ketika kemaluan pria dalam keadaan tegang, keras, dan membesar karena peningkatan aliran darah. Apa ini? Aku jadi penasaran.” Anisa sedang memeriksa informasi tersebut murni melalui kacamata seorang mahasiswa kedokteran, tanpa memikirkan sesuatu yang tidak senonoh, i
“Aku merasa bersalah. Aku… Aku tidak sengaja menumpahkan air panas kepadamu… Aku akan lebih hati-hati lagi…” Anisa sangat terpukul akibat perbuatannya sendiri yang tak mampu menjaga suaminya dengan baik.“Aku tidak apa-apa, sayang. Itu adalah kecelakaan… Maafkan aku juga yang tidak bisa memegang cangkir itu dengan benar,” balas David berusaha menjelaskan kondisi dirinya.“Kamu benar-benar tidak bisa merasakan apa pun di kakimu, sayang? Padahal airnya panas sekali?” kata Anisa sambil meneteskan air matanya di pipinya. “Sebenarnya aku merasakannya, tapi hanya sedikit.” David benci melihat Anisa menangis. Dengan cepat dia meraih Anisa untuk memeluknya, membungkus istri kecilnya dalam pelukan hangatnya. Selain itu, dia pada dasarnya berhati-hati, dan airnya paling hangat, tidak sepanas yang Anisa katakan. “Apakah kamu yakin tidak apa-apa, sayang?” kata Anisa sambil menyeka air matanya yang menetes. “Sungguh, aku baik-baik saja, Rahma. Hapus air matamu, aku akan merasa bersalah
Seseorang berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang tidak pas dengan badannya. Dia adalah Anisa Rahma, dia mengamati bayangannya dan merasakan sudut bibirnya berubah menjadi senyuman masam. "Cepat! Tanda tangani kontrak ini!" Anisa Rahma mengambil dokumen yang diberikan oleh Ardiansyah Siregar kepada dirinya. Matanya beralih ke bagian bawah halaman, di sana tertera tanda tangan berserta nama yang tecetak jelas, David Hutapea. Ardiansyah Siregar adalah ayah kandung Anisa Rahma dari hubungan gelapnya. Dia selalu menghinakan Anisa, dan tidak mengakuinya sebagia anaknya. Walaupun Anisa selalu diperlakukan buruk oleh ayahnya, dia sebagai anak yang baik hanya bisa menurut apa yang dikatakan ayahnya. "Baiklah," balas Anisa sambil menghela napas panjang. Tulisan tangannya sangat rapi, seolah-olah dicetak dengan menggunakan mesin cetak, tetapi penanya dicengkeram dengan cukup kuat hingga tintanya merembes ke sisi lain kertas yang membuatnya sedikit kotor. "Kamu akan dira
Saat di dalam mobil, Anisa Rahma menjadi tenang, tapi telapak tangannya lengket karena keringat. Dia merasa gugup karena belum pernah sedekat ini dengan seorang pria sebelumnya, dan sekarang dia yang harus bersandar, menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Seseorang yang pada dasarnya adalah orang asing bagi Anisa, karena mereka belum saling mengenal. “Sebaiknya diselesaikan dengan cepat,” gumam Anisa di dalam hatinya. Untuk memuaskan keinginan suaminya, Anisa menutup matanya dan mendekatkan bibir tipisnya ke bibir David Hutapea, sebelum menarik penutup wajahnya kembali ke tempatnya dan berdiri. David terkejut dengan tindakannya yang dilakukan Anisa yang cepat dan lugas. Tatapannya menyempit dipenuhi rasa curiga, mendidih dengan kedalaman yang tak terbaca. “Apakah wanita ini benar-benar baru saja memberikan bibirnya kepadaku dengan berani?” gumam David di dalam hatinya. Jelas David sedang menguji keromantisan dan kesetiaan istri barunya itu. Saat Anisa bangkit, kerudungny
Sebelum kepala pelayan membukakan pintu, sebuah suara lemah terdengar dari dalam kamar tidur, diselingi oleh batuk, "Uhuk... Uhuk... Apakah itu kamu, Anisa Rahma? Masuk." Anisa mengangkat satu alisnya ke arah kepala pelayan, yang tidak punya pilihan selain membukakan pintu dan membiarkannya masuk. “Silakan masuk, Nona. Tuan Muda menginginkan kamu untuk masuk,” kata Paman Iskandar Muda sambil membukakan pintu kamar dan membungkukkan badannya. “Terima kasih,” ucap Anisa sambil melangkahkan kakinya masuk ke kamar David Hutapea dan membungkukkan badan dalam proses perjalanannya. Sungguh sangat sopan sikap Anisa, hingga dia membungkukkan badannya saat berjalan memasuki kamar David. Walaupun Anisa sudah menjadi istri dari David, dia tetap menjaga sikap dan adab untuk menghormati orang lain. Lalu paman Iskandar Muda keluar dari kamar David dan menunggu di luar. “Sangat sopan sekali Anisa Rahma ini, inilah yang aku suka darinya. Aku akan menilai seberapa jauh kesetiaannya kepada ak
“Jangan takut kepadaku, Gadis manis,” goda Victor Hutapea sambil mengulurkan tangannya ke arah wajah Anisa Rahma. Dengan cepat Anisa menipis tangan Victor dan berkata, “Jaga sikapmu! Jangan ganggu aku! Aku ini wanita baik-baik yang tidak suka bermain dengan pria hidung belang seperti kamu!” "Gadis kecil nakal, memukul aku. Aku suka itu." Victor mengusap bibirnya dan perlahan menyudutkan Anisa ke dinding. "Mengapa kamu tidak memberiku kesempatan? Kamu akan menyadari bahwa aku adalah pria tampan yang jauh lebih baik daripada kakak laki-lakiku yang lemah. Aku bisa memberikan kamu rumah, mobil, tas desainer mewah, dan tentu saja, banyak kesenangan duniawi jika bersamaku." Paman Iskandar Muda menyaksikan pemandangan itu dari sudut tangga di ruang tamu. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Tuan Muda, haruskah saya melakukan sesuatu?" David melihat tangan Victor yang menyentuh wajah istrinya. Kilatan kebencian memasuki tatapannya yang lembut dan kini dia sangat marah kepada Victor la