Share

Bab 2 Pengakuan

  Saat di dalam mobil, Anisa Rahma menjadi tenang, tapi telapak tangannya lengket karena keringat. Dia merasa gugup karena belum pernah sedekat ini dengan seorang pria sebelumnya, dan sekarang dia yang harus bersandar, menempelkan bibirnya ke bibir pria itu.

 Seseorang yang pada dasarnya adalah orang asing bagi Anisa, karena mereka belum saling mengenal.

 “Sebaiknya diselesaikan dengan cepat,” gumam Anisa di dalam hatinya.

 Untuk memuaskan keinginan suaminya, Anisa menutup matanya dan mendekatkan bibir tipisnya ke bibir David Hutapea, sebelum menarik penutup wajahnya kembali ke tempatnya dan berdiri.

 David terkejut dengan tindakannya yang dilakukan Anisa yang cepat dan lugas. Tatapannya menyempit dipenuhi rasa curiga, mendidih dengan kedalaman yang tak terbaca.

 “Apakah wanita ini benar-benar baru saja memberikan bibirnya kepadaku dengan berani?” gumam David di dalam hatinya. Jelas David sedang menguji keromantisan dan kesetiaan istri barunya itu.

 Saat Anisa bangkit, kerudungnya terlepas dari kepalanya, namun aromanya, meski samar, tetap bertahan harum. Dia membiarkan matanya menatap ke bawah. Namun di dalam dirinya, dia dipenuhi dengan kepastian baru yang membara.

 “Apakah wanita ini bukanlah Amanda Santika?” gumam David di dalam hatinya dengan bertanya-tanya.

 Kesehatan David buruk, dan tidak ada aktivitas setelah upacara pernikahan. Kepala pelayannya, Paman Iskandar Muda, membantu mendorong kursi rodanya untuk membawa dia pulang ke rumahnya.

 Anisa dan David duduk bersama di kursi belakang mobilnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, menyinari sisi lain wajah David. Bulu matanya panjang dan tebal, serta kemiringan hidungnya tinggi dan lurus. Luka bakar telah merusak separuh wajahnya, tapi dari tempat mereka duduk sekarang diselimuti bayang-bayang, separuh wajahnya yang tak bertanda luka, dan tampak tanpa kerusakan adalah sebuah karya kesempurnaan yang disepuh oleh sinar matahari.

 Seolah-olah wajah David adalah setengah malaikat dan setengah iblis.

 Tanpa peringatan, suaminya menoleh ke arahnya. Anisa tidak punya waktu untuk mengalihkan pandangannya. Mata mereka saling bertemu, dan dia merasa sedikit malu karena ketahuan sedang menatap.

 David mengulurkan tangan dan menyentuh kain putih bersih dari kerudungnya lalu berkata, "Apakah kamu tidak akan melepaskan ini?" dia mengingatkannya sambil tertawa di dalam mobil.

 Ada desas-desus bahwa luka-luka David membuat Anisa mudah tersinggung, dengan temperamen yang tidak menentu. Sepertinya semua itu tidak benar.

 Sambil memiringkan kepalanya ke arah suaminya, Anisa bertanya dengan ragu-ragu, "Maukah kamu membantuku?"

 Anisa hanya setengah berharap suaminya akan setuju, tapi, dengan sedikit main-main, David menyingkapkan cadar dari wajah Anisa, lalu berlama-lama menyelipkan rambutnya yang sedikit acak-acakan ke belakang telinganya. Meskipun sentuhannya terasa dingin, Anisa menyadari betapa lembut tindakannya.

 “Emosinya jauh lebih baik dari yang aku bayangkan,” renungan Anisa. Mungkin menjadi pasangannya tidak akan seburuk itu.

 "Siapa namamu?" David bertanya tanpa diduga.

 "Aku?" Anisa tertawa, berusaha menutupi keterkejutannya. "Aku Amanda Santika, kamu tahu itu."

 David menatapnya dengan tatapan tajam dan mengintimidasi, seolah-olah beban fisik di dadanya menekannya ke tempat duduknya. Namun sesaat kemudian, yang ada hanya kelembutan di matanya, dan dia bertanya-tanya apakah perasaan tercekik yang sekilas itu hanya imajinasinya saja.

 Dengan menggelengkan kepalanya, Anisa menggenggam tangan suaminya, lalu dia berkata jujur, "Baiklah. Izinkan saya memperkenalkan diri dengan benar. Namaku Anisa Rahma, istrimu yang baru menikah secara sah."

 "Anisa Rahma? Kamu bukan dari Keluarga Siregar?" kata David dengan ekspresi sedikit terkejut.

 Anisa menggelengkan kepalanya lagi dan berkata, "Tidak masalah siapa aku. Yang perlu kamu tahu hanyalah Amanda Santika tidak ingin menikah denganmu. Tapi aku dengan hati yang tulus menggantikannya."

 David menganggukkan kepalanya, lalu bersandar di kursinya. Alisnya berkerut, seolah-olah kelelahan. Dia terima dengan kenyataan yang terjadi, yang terpenting adalah istri barunya perhatian kepada dirinya.

 Anisa menatapnya dalam diam tak percaya. “Itu saja? Mengapa dia bertingkah sedikit terlalu tenang setelah aku membongkar kebenarannya?” gumam Anisa di dalam hatinya dengan kebingungan.

 Anisa mengamati David lebih lama, tapi rasa lelah suaminya pasti menular. Setelah beberapa saat, dia merasakan kelopak matanya mulai terkulai lelah. Dia memutuskan untuk mengikutinya, membiarkan dirinya tertidur di kursi belakang mobil dan bersandar di bahu suaminya.

 *********

 Setelah mereka turun dari mobil dan Paman Iskandar Muda mendorong kursi roda David ke kamarnya, lalu meninggalkan Anisa di ruang tamu. Setelah sampai di kamar, Paman Iskandar Muda bertanya, "Tuan Muda, apakah Anda ingin saya mengirim wanita ini pulang? Sebagai peringatan bagi Keluarga Siregar?"

 Keluarga Siregar benar-benar bertindak terlalu jauh, memilih seorang wanita dari jalanan untuk berperan sebagai pengantin pengganti wanita dalam pernikahan hari ini. Bagaimana mereka bisa membiarkan rasa tidak hormat terhadap Tuan Muda Hutapea hilang begitu saja?

 “Jangan! Aku menerimanya sebagai istri baruku,” jawab David dengan santai.

 “Tapi Tuan...”

 David memotong ucapan Paman Iskandar Muda. Matanya yang lembut, tanpa sedikit pun kemarahan, dan suaranya tidak berbobot, dia tampak sangat lemah lalu berkata, "Sudahlah. Terkadang, kesalahan belum tentu buruk."

 Paman Iskandar Muda memprotes, "Tetapi kamu telah ditipu oleh Keluarga Siregar."

 David mengangkat tangan sebagai isyarat untuk diam, dan Paman Iskandar Muda terdiam. Pernyataan Anisa benar. Tidak peduli dari keluarga mana istrinya berasal, hanya saja dia menikah dengannya atas kemauannya sendiri.

 "Biarkan aku melihat surat pernikahannya," perintah David.

 Setelah memastikan bahwa Anisa memang menandatangani surat pernikahannya, David mengembalikannya kepada Paman Iskandar Muda dan berkata, "Ambil ini dan cepat ganti surat nikahnya di Kantor Urusan Agama, sekarang!"

 Paman Iskandar Muda kaget dengan keputusan David lalu berkata, "Tuan Muda, kami bahkan tidak tahu siapa wanita ini atau dari mana asalnya. Apakah kamu benar-benar menginginkan dia untuk menjadi istri?"

 Paman Iskandar Muda berhenti sejenak untuk menghela napas panjang, karena dia masih belum percaya dengan Anisa Rahma.

 “Surat nikah lebih dari sekedar selembar kertas. Jika wanita ini menyembunyikan rencana rahasia apa pun, dia bisa pergi dengan membawa setengah kekayaan Tuan Muda itu kapan saja. Pasti dia mau ratusan juta dolar, itu saja!” Paman Iskandar Muda menambahkan dengan sedikit nasihatnya.

 Paman Iskandar Muda hendak memaksa tuan mudanya memikirkan kembali keputusannya ketika ada ketukan di pintu. Dengan hati-hati, dia membuka pintu, hanya untuk menemukan Anisa berdiri di sana. Gaun wanita muda itu terlalu longgar untuk bentuk tubuhnya, namun wajahnya halus, menawan, cantik, dan di balik bibir kuncup mawarnya, giginya seputih mutiara.

 Jadi inilah sebabnya tuan mudanya menolak mengirim kembali istrinya?

 “Wanita Penggoda Kecil,” gumam Paman Iskandar Muda tidak mampu mencegah kilasan rasa jijik di wajahnya. "Tuan Muda perlu istirahat. Anda..."

 David mengangkat tangan sebagai isyarat untuk diam. Paman Iskandar Muda mengerti, “Baiklah Tuan.”

 “Biarkan istriku masuk!” perintah David dengan tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status