Share

Es Yang Perlahan Meleleh

Setelah kejadian itu, Erland membawa Emma kembali ke kamar. Dia membantunya mengompres bekas tamparan yang masih memerah. Dia menatap Emma yang tertunduk sehabis menangis, kerutan di dahinya tak kunjung hilang, rasa kesalnya juga semakin besar kala melihat Nathan yang berjalan dengan santai melewati kamar Emma.

‘Nathan! Menjaga satu gadis lemah saja tidak bisa.’ Batinnya sembari terus menekan kain berisi es yang menempel di pipi Emma.

“Em … sakit." Gumamnya kala tangan Erland menekan pipinya terlalu keras.

Emma mendongak, dia menetap Erland yang melamun menatap pintu keluar. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Erland, matanya melotot kala melihat pipi kiri pria di hadapannya juga merah seperti miliknya. Tangannya terulur membelai lembut pipi merah Erland. 

“Apa yang kamu lakukan?”

Emma tersentak dan segera menarik kembali tangannya setelah melihat Erland yang menoleh padanya. Dia tertunduk sejenak menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Kemudian dia memberanikan diri untuk menatap Erland, dia menunjuk pipi Erland sembari berkata, “Apa Iblis Tua itu memukul ?” 

‘Kamu?!’ Batin Erland dengan penuh kesal, dia ingin sekali marah saat gadis di depannya menyebutnya seperti itu. Sayangnya dia tidak bisa membongkar penyamarannya. Kemudian dia mengangguk dan berkata dengan datar, “Em.” Dia terpaksa berbohong agar tidak dicurigai.

‘Ini karena kamu yang keluar sembarangan gadis bodoh!’ Batin Erland.

Emma langsung merampas kain berisi es tersebut dan menempelkannya ke pipi Erland, dengan tatapan sedih bercampur khawatir dia berkata, “Tidak apa, ini akan membaik.” Dia tersenyum sembari menatap Erland.

Erland yang menerima tindakan itu merasa sangat terkejut, tubuhnya mematung dengan netranya yang terus menatap Emma. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, rasa panas menjulur keseluruh tubuhnya, wajahnya juga memerah kala melihat senyum cantik Emma yang terukir. Ini pertama kalinya dia merasakannya.

‘Perasaan aneh apa ini?’

‘Tidak! Kenapa aku jadi ingin memeluknya.’

‘Tidak-tidak, jangan Erland!’

Kemudian Erland memegang tangan kanan Emma dan menariknya dalam dekapannya. Dia memeluk Emma dengan sangat erat, kini perasaannya menjadi sangat tenang dan tidak merasa kesal seperti sebelumnya. Tindakannya bertolak belakang dengan pikirannya, sungguh tidak sinkron. ‘Apa yang kamu lakukan Erland.’ Batinnya menangis menyalahkan dirinya sendiri.

Sementara Emma yang tiba-tiba dipeluk merasa sangat terkejut namun, perlahan dia mulai menikmati pelukan hangat dari Erland. Dia tersenyum dan kedua tangannya melingkar ke pinggang Erland, membalas pelukan tersebut. 

Setelah itu terjadi mereka duduk dengan jarak yang lumayan jauh seolah sedang menjaga jarak, suasana di dalam kamar berubah canggung. Ruangan menjadi sunyi, tidak ada yang mau membuka pembicaraan. 

Erland melirik Emma yang duduk di tepi tempat tidur, dia mengerutkan keningnya berusaha mencari topik pembicaraan. Dia merasa frustasi karena sebelumnya dia tidak pernah dalam keadaan seperti ini. ‘Apa aku harus meminta maaf?’ Batinnya mulai bimbang harus bagaimana berperilaku.

‘Tunggu, kenapa aku harus melakukannya? Bukannya bagus seperti ini, aku tidak perlu mendengarkan ocehannya.’ Batin Erland yang mulai sadar dengan kelakukan anehnya itu. Dia kembali melirik gadis itu namun, dia tidak tahan terus melihat wajah Emma yang sedang tersipu.

Dia bangkit dan berkata, “Aku ada urusan sebentar.,” Erland melangkah kelua meninggalkan Emma di kamar sendirian. 

Emma yang melihat itu langsung menghela nafas, dari tadi ternyata dia menahan nafasnya. Dia memegang dadanya, masih terasa jantungnya berdegup kencang. Dia bangkit dan menuang secangkir teh untuk menenangkan perasaannya. 

Dok dok dok

Terlihat ada Joana yang berdiri di depan pintu dengan wajah tersenyum seolah sedang menyapanya. Emma lantas mempersilahkan Joana untuk masuk, dan menuangkan secangkir teh. Emma dengan ragu membuka percakapan, “Ada apa?”

“Em … aku minta maaf.”

Emma merasa sangat terkejut begitu melihat sifat Joana yang berbeda 180 derajat dari sebelumnya. Kemudian dia tersenyum dan mengangguk sembari berkata, “Iya tidak apa.”

Kemudian mereka berbincang seolah tidak ada yang terjadi, mereka terlihat sangat akrab. Tertawa dan berbincang hal-hal yang mereka sukai. Kemudian Joana berkata, “Emma kamu suka bunga dan makanan kan?” Pertanyaannya dibalas dengan senyuman dan anggukan antusias dari Emma.

“Aku tahu tempat dimana banyak sekali bunga dan pohon-pohon Buah Peri tumbuh.” Ucap Joana sembari tersenyum menatap Emma.

“Apa itu Buah Peri?”

“Buah Peri adalah sejenis buah-buahan yang berasal dari kampung halaman Erland. Buah itu sangat manis, apa kamu mau coba?” 

Emma mengangguk dengan antusias dan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan Joana. Dia menerima uluran tangan Emma, mereka berlari menyusuri lorong. Tepat berada di ujung lorong tiba-tiba, Joana berhenti dan berkata, “Tutup matamu.” Emma menurutinya tanpa kecurigaan, lalu Joana mengelus kedua mata Emma.

“Buka matamu, kita sudah sampai.” 

“Wah … indahnya.” Ucap Emma dengan perasaan bahagia. Disana dia sangat menikmati pemandangan dan suasana yang sangat menyejukkan. Dia merasa seperti di dunia dongeng yang sering dia dengar, dia seolah menjadi seorang putri di dunia dongeng.

“Emma barangku ketinggalan, aku ambil dulu ya. Kamu tunggu sini.”

Setelah mendapat persetujuan Emma, Joana lantas kembali ke Kastil tempatnya sebelumnya. Dia berjalan dengan perasaan senang dilengkapi dengan senyum jahat yang terukir. ‘Gadis bodoh!’ Gumamnya.

“Bisa-bisanya dia bisa percaya begitu saja dengan orang yang baru dia kenal.” Tambahnya sembari berjalan menuju kamarnya.

Disisi lain Erland yang berjalan menuju kamar Emma seusai menenangkan pikirannya, merasakan sesuatu ditangan kanannya. Dia melihat tangannya dan terdapat luka cakar yang mengeluarkan darah segar. 

‘Emma!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status