Share

2 Pengusiran

“Sekarang aku harus bagaimana Lex? Sebenarnya semalam apa yang terjadi?” Renata bertanya dengan tatapan mata yang menerawang hampa. Dia menatap ke jendela luar dan terlihat pucat.

Alex, dia mencoba mengingat kejadian semalam. Namun, ingatannya hanya berhenti pada saat dia mengantar Renata memesan kamar hotel. Setelahnya, yang dia ingat adalah kejadian pagi tadi di mana dia dihajar oleh tunangan nona majikannya.

“Sshh ....” Alex mendesis memegangi sudut bibirnya yang terasa begitu perih dan ngilu. “Aku juga sama sekali tidak tahu, yang aku ingat semalam di acara pesta itu semuanya baik-baik saja. Kita memang minum, tapi aku tidak minum sebanyak itu sampai bisa mabuk dan hilang kesadaran.”

Renata melirik sinis pada pengawalnya itu lalu memukul kepala Alex dengan tas tangannya. Satu-satunya benda yang ia miliki saat itu.

“Argh! Semua ini gara-gara kau!” Rena melampiaskan kemarahannya.

“Aduh! Hentikan! Apa kurang puas melihatku dihajar oleh tunanganmu tadi hah?” sembur Alex sembari mencekal pergelangan tangan nona majikan.

Renata berhenti, namun dengan air mata yang jatuh berderai. Dia kembali meneteskan air mata saat teringat dengan hancurnya hubungannya. Hubungan yang sudah terjalin lama harus kandas oleh sesuatu yang tak masuk akal.

“Apa semalam kau benar-benar melakukannya di atas tubuhku?” gumam Renata dengan wajah yang menunduk.

“Nona, aku tidak mengingatnya. Semuanya samar dan terjadi begitu saja. Maaf sebelumnya, aku ingin menanyakan sesuatu tetapi kau jangan marah ya.” Alex memikirkan hal ini sedari mereka keluar dari hotel tadi.

“Apa kau masih perawan kemarin?”

Pertanyaan itu sontak membuat Renata menjadi emosi. Pertanyaan yang sederhana namun cukup membuatnya tersudut dan terlihat rendah di mata pria.

“Apa maksudmu! Kau pikir aku ini apa? Kau juga ‘kan yang selama ini mengawalku? Apa pernah membiarkanku berduaan hanya bersama Justin? Tidak ‘kan?” tukas Renata sangat marah dan Alex menggeleng cepat dengan raut bersalah.

Renata menatap lekat kedua manik Alex. “Kau yang telah merusaknya semalam Lex. Kau tahu, ini sakit sekali!”

Renata berbicara seperti itu sambil menjambak rambut Alex yang bisa pasrah tanpa berani melawan.

“Ampun Nona, iya maafkan aku. Aku sama sekali tidak sadar. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kita melewatinya semalam, apa kau ingat?” Alex bertanya dan Renata hanya bisa tertegun. Dia lalu menggeleng.

“Tidak sama sekali, aku hanya ingat kita sama-sama menikmatinya. Jujur kukira itu hanya sekedar mimpi tadinya.” Renata mengakui apa yang dirasakannya semalam.

Sial sekali bukan? Kalau memang keduanya sama-sama tidak mengingat dan melakukannya hanya seperti di dalam mimpi, itu berarti mereka sama-sama berada di bawah pengaruh obat. Tetapi siapa yang melakukan itu?

****

Terhenti mobil yang Alex sewa di depan gerbang kediaman Harisson. Satpam depan sudah mencegat mobil keduanya yang begitu asing dan sama sekali tidak pernah masuk ke dalam perumahan tersebut.

“Maaf, pesan tuan tadi nona dan kau tidak boleh masuk Lex. Tuan menitipkan koper ini di sini,” Satpam tersebut membawakan koper Renata.

Renata langsung turun dan bertanya pada Satpam. Dia tidak mengira kalau akan sampai seserius ini mengusirnya. Dia pikir kemarahan ayahnya tadi hanya seperti kemarahan sementara. Akan tetapi nyatanya justru sangat nyata.

“Apa Bapak serius mengatakan ini? Apa ibu saya juga tidak mau keluar menemui saya?” tanya Renata pada Satpam yang berusaha untuk menemui ibunya sebelum pergi.

“Maaf, tetapi selain tuan yang menitipkan koper ini, sama sekali tidak ada  yang lain lagi.” Satpam menjawabnya dengan datar.

Kecewa dan sedih, itulah perasaan Renata. Keluarganya sama sekali tidak ada yang sudi lagi menemuinya. Dia tahu semua itu karena pengaruh sang ayah semata. Ibu dan adiknya tidak akan bersikap seperti itu padanya.

Renata nyaris bersimpuh di jalanan dan Alex dengan sigap menangkapnya. Dia masih tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai pengawal yang bertanggung jawab. Terlebih, semenjak kejadian semalam.

“Aku harus pergi ke mana lagi Lex?” tanya Rena dengan tatapan mata yang begitu hampa menggambarkan kesedihan di jiwa.

*****

Dua orang itu berkeliling kota awalnya dengan maksud untuk mencari hunian untuk Rena. Namun, setiap kali mendapatkan tempat, Rena selalu saja membatalkannya. Dia selalu menolaknya dengan berbagai alasan.

Pertama mereka mendapatkan apartemen yang kecil dan biaya sewanya murah. Rena bilang itu terlalu jauh dari tempat tinggal Alex dan dia menolaknya. Berpindah lagi sampai malam tiba. Alex yang kesal lalu menepikan mobil sewaan itu di basement apartemennya.

“Bagaimana besok lagi kita mencari tempatnya? Sekarang kita beristirahat dulu di apartmenku Nona.” Alex menatap lekat Renata.

“Sebenarnya, aku tidak mau jauh darimu Lex. Aku takut tinggal sendirian di dalam rumah tanpa siapapun. Lalu, kalau nantinya aku hamil bagaimana? Pokoknya kau harus bertanggung jawab!”

Alex sempat membuang muka lalu menghela nafasnya jengah. Dia terkadang merasa stress dengan sikap dan perilaku Renata yang terlalu manis bak tuan putri. Renata terlalu lembek di mata Alex.

“Kita baru melakukannya sekali Nona, perlu usaha berkali-kali supaya benih itu jadi. Kalau hanya sekali kemungkinan besar tidak akan semudah itu jadi.” Alex menjawabnya dengan perasaan dongkol.

Renata membulatkan matanya. Baginya Alex saat ini adalah orang yang wajib menopang hidupnya. Sebab, karena Alex-lah dirinya terlantar dan menjadi sebatang kara.

“Begitu ya?” Renata seperti tengah berusaha mencerna apa yang baru saja Alex katakan. “Tapi kau tetap harus bertanggung jawab atas aku. Gara-gara kau meniduriku keluargaku mengusirku Lex. Mau bagaimana aku sekarang?” pekik Renata kesal.

Benar memang, andai saja Alex dan Renata tidak tidur bersama dan melakukan itu semalam. Pastinya tidak akan jadi seperti ini bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status