Ribuan kilauan cahaya berbagai warna dan bentuk dari sayap peri, telah memenuhi langit akademi Amerta. Mereka terbang menuju tempat yang sama, yaitu pulau melayang yang begitu besar, dengan sebuah arena berbentuk kubah yang memenuhinya. Ratusan ribu penonton telah memenuhi tribun, namun ada sisi tribun yang lega digunakan oleh para peserta dan pendukungnya. Suara riuh dari ratusan ribu penonton dengan cepat mulai sunyi. Pandangan mereka tertuju pada kilauan cahaya merah muda yang mendekat. Gadis cantik bergaun merah muda yang merumbai tertiup angin, menambah kecantikan wajahnya. Sang Primadona Dewi Kecil, yang didambakan oleh setiap laki-laki setelah Peri Salju tidak bisa mereka dapatkan lagi. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa kecantikannya tiada tara, benar-benar membius, bahkan para kaum hawa sekalipun.
Dewi Kecil turun di tribun peserta, lalu ada dua orang pemuda yang mendekatinya. Omso, pemuda berambut pendek dengan alis yang dikerik hingga seperti garis-garis.Gadis berpakaian minim itu langsung melompat memasuki Arena, memicu keberanian peserta lain untuk mengikutinya."Jika tidak kondusif, kalian akan didiskualifikasi, tidak peduli dari mana kalian!"Mereka semua langsung berhenti, namun Akara malah terkekeh kekeh."Hmph! Kalian mengataiku udik, ternyata kalian lebih udik dariku! Kalian takut tidak mendapatkan hadiah!? Hahaha... Sampah!" Ia langsung membuka aura ranahnya, enam bulan energi dengan 7 bintang yang berputar di belakang pundaknya. Energi dari segala penjuru langsung mengalir menuju aura keemasan itu, membuat semua orang tercengang. Bukankah saat masuk dia masih di ranah Asmaradana penuh!? Selain sudah mendapatkan Esensi Surgawi baru, kecepatannya menaikkan bintang benar-benar menakutkan! Aros yang tadi gemetaran, kini malah tertawa sambil melangkah maju. "Lalu kenapa jika sudah naik ranah!? Kau tetaplah di bawah kami semua!""Hmph!" Akara langsung melesat, meninggalkan cincin Son
Para penonton bergidik ngeri, bukan karena apa yang terjadi di dalam arena. Akan tetapi, ada energi dingin dan kilatan listrik merah muda yang meluap dari tubuh kedua gadis yang duduk berdampingan. Para peserta masih duduk santai dengan kubah pelindung yang menyelimuti tubuhnya, padahal area di sekitarnya sudah membeku dan dialiri petir. Di dalam arena, Aros menekan kakinya semakin kuat, lalu membungkuk untuk menatap Akara dengan tajam. "Di mana kesombongan hah!?" Ia terkekeh sambil melihat ke arah para penonton. "Bocah ini berkata ingin menghancurkanku dan melawan kalian semua! Tapi sekarang bahkan tidak berdaya melawanku!" Suara gelak tawa langsung menggema di seluruh sudut tribun. Akan tetapi, ekspresi wajah Akara tidak pernah berubah. Ia bahkan menyeringai sebelum api surgawi menyelimuti tubuhnya. Api dengan enam warna itu langsung membakar alas kaki Aros, membuatnya terpaksa melompat mundur. Akan tetapi, ada beberapa belati yang langsung ia lemparkan.
Ia langsung mengayunkan tangan satunya, melemparkan 5 belati ke arah petikan benang. Petikan bergerak, namun belatinya tidak menemukan apa-apa. Dengan masih bergetar, petikan benang terjadi di sisi lain, membuatnya langsung menyebarkan belati. Akan tetapi, benang yang bergetar semakin banyak hingga semuanya bergetar. Dia benar-benar panik sambil menyebarkan semua belatinya, lalu meraih pusat benang dan ditariknya. Semua benang bergerak memutar dengan arah zig-zag, namun ia telat. Ada secercah cahaya yang menembus tebalnya kabut, melesat begitu cepat ke arahnya hingga terlihat sepasang pedang kayu yang diselimuti oleh api Surgawi. Cakaran Naga Hitam dengan posisi menyilang, siap mengapit lehernya. Whooph!... Seketika suasana berubah, diikuti tepuk tangan dan sorakan para penonton. Bukan pertandingan berakhir, namun mereka masuk ke dalam domain dengan lokasi di sebuah lorong persegi memanjang ke atas. Akara yang melayang di udara, memadamkan kobaran apinya, disusul oleh selu
Mendengar erangan kesakitannya, Aros tertawa begitu puas, lalu menoleh ke segala sisi dan berkata seolah-olah ia dapat melihat para penonton."Lina, Alice! Lihatlah bocah ini!" teriaknya membuat Alice dan Lina berdiri. Energi yang meluap dari tubuh mereka sudah lebih sedikit, namun terlihat lebih menakutkan seperti air yang tenang tanda bahaya."Darahnya akan terus aku peras dan tidak akan aku selesaikan pertandingannya sebelum kalian berjanji kepadaku! Dengan disaksikan oleh semua penonton, kalian harus meninggalkan bocah ini!" Walau Alice dan Lina memasang wajah acuh tak acuh, namun tidak ada yang berani berkomentar. Akara juga terlihat masih begitu tenang, walau meringis menahan sakit, sedangkan air lelehan es terus menetes hingga membasahi kaki Aro. Akan tetapi, Aros malah melanjutkan perkataannya."Alice! Walaupun kau tidak mau denganku! Setidaknya biarkan aku merasakanmu selama satu malam!" Ia menyeringai sambil menoleh ke arah Akara, namun
Pertandingan 10 besar, para siswa akademi Amerta menyayangkan pertandingan sebelumnya. Pertandingan antara kedua siswa dari akademi Amerta, membuat mereka kehilangan salah satu peserta teratas dalam kompetisi. Kini siswa yang tersisa hanyalah Jeku sang Pemburu Tengkorak peringkat pertama, lalu dua siswa baru yaitu Triden sang Bayangan Misterius, dan Akara sang Bocah Rusuh. Dari akademi Cahaya Ilahi juga menyisakan 3 orang yaitu Rose sang Penari Kematian, Slamet Kopling sang Palu Magma dan Suksa sang Laser Jitu. Akara memasuki tribun tidak lagi menggandeng Lina, namun ada Alice yang memeluk lengannya, sedangkan Lina berjalan di sampingnya. Baru beberapa langkah memasuki tribun, ada seorang gadis cantik berpakaian minim yang mendekati mereka. Panggulnya yang ramping dan terbuka, melenggak-lenggok, melemparkan bokongnya yang diselimuti oleh kain ke kiri dan kanan. Jari-jari lentiknya yang dipenuhi perhiasan, menjulur ke arah pundaknya. Akan tetapi, gadis berambut putih langsu
Saat peserta lainnya melompat keluar arena, pemuda bercaping mendekati Akara dan menepuk pundaknya."Berhati-hatilah!" Ia lalu melompat menuju tribun, meninggalkan kedua petarung di dalam arena. Dung!... Sonic Boom terbentuk bersamaan dengan pukulan gong tanda mulainya pertandingan. Akara melesat dengan aura ranah Gambuh puncak yang menyala di belakang pundaknya. Akan tetapi, ada sinar laser keemasan yang membuatnya harus menyilangkan kedua pedang untuk menangkisnya. Cahaya laser jadi seperti sebuah benda yang terbelah menjadi empat dan menyebar, dua menuju langit dan dua lainnya menggerus tanah di belakangnya. Sedangkan Akara masih melesat walau kecepatannya berkurang. Wush!... Ia sudah berada di depan pemuda berpakaian putih tanpa lengan, memperlihatkan otot lengannya yang langsung diselimuti oleh energi keemasan dan membentuk bilah pedang. Mereka saling mengayunkan kedua pedangnya dengan sangat cepat, bahkan terjadi percikan yang tak terhitung jumlahn
Di gelapnya malam dengan cahaya remang-remang dari bulan, menyinari seorang gadis cantik bergaun merah muda. Berdiri di ujung balkon, wajah cantik polosnya menghadap ke arah lautan biru yang semakin jauh semakin gelap. Ditemani suara dempuran ombak, angin malam yang dingin menerpa tubuhnya, membuat gaun dan rambut hitam panjangnya merumbai indah. Ia lalu menghirup napas dalam-dalam dan memejam hingga kepalanya menatap langit, lalu menghembuskan napas sembari membuka matanya. Kilauan jutaan bintang terpampang di depannya, lalu menoleh ke belakang saat gadis berambut putih mendekatinya secara perlahan-lahan."Kak Akara di mana kak?" Sapanya sambil mengikuti pergerakan gadis yang mendekatinya."Dia masih latihan," jawabnya pelan sambil melihat ke arah lautan. Mereka berdua jadi melihat ke arah lautan, membuat suasana sunyi dan hanya ada suara semilir angin dan dempuran ombak hingga akhirnya Lina menoleh ke arahnya."Alice, suruh Oren ke sini," ucapnya pelan,
Babak semifinal, para peserta sudah memasuki arena, namun kurang satu orang. Mereka yang seharusnya berlima, kini hanya berempat saja. 2 orang dari akademi Cahaya Ilahi yaitu Rose, si gadis cantik berpakaian seksi dengan sehelai kain merah panjang. Satunya lagi Slamet Kopling, pemuda berambut putih. Sedangkan dua lainnya dari akademi Amerta. Jeku si pemuda bertopeng dan Akara, pemuda berjaket hitam. Satu orang yang belum adalah Triden, pemuda berjubah dan bermasker hitam yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Saat para penonton bertanya-tanya akan ketidakhadirannya, akhirnya pembawa acara segera membuka suara. Ia menjelaskan ketidakikutsertaan Triden karena suatu hal, namun tidak menjelaskan secara pasti. Tentu saja mereka kecewa akan berkurangnya peserta, juga pertandingan jadi lebih singkat dan hanya tersisa 3x lagi. 4 kartu undian langsung berjejer, melayang di tengah-tengah arena. Kecuali Rose, mereka mengalirkan energinya untuk menarik kartu undian dengan santai. Lay