Perjalanan kembali ke kekaisaran Amerta, mampir ke kota masa kecilnya untuk melihat tempat latihannya dulu bersama Lisa. Ada perubahan besar dengan benteng tinggi yang mengelilingi kota dan kemiskinan warganya. Salah satu sebabnya karena sungai Oll yang sering banjir besar dan binatang sihir yang menyerang tanpa alasan.
.....Akara muncul dari sebuah mata air, terbang di atasnya dengan seorang gadis imut yang digendongnya. Di belakang pundaknya, ada energi dengan warna merah, biru, hijau, ungu dan putih membentuk sebuah sayap yang indah.......Menenteng kedua pedang kayunya, ia berhadapan dengan seseorang di atas istana kerajaan Glint. Bukan Marbun Bidara sebagai mantan Raja Glint, melainkan Raja Glint yang baru yaitu Vonci Kates......Terbang sendirian melewati ganasnya badai di segitiga Bermuda, lalu sampailah di kota Gnome. Duduk jegang di atas pegunungan Vodor, sedangkan di depannya ada Yog Aren dan puluhan pasukan penunggang Wyvern. Yollo!.....Di atas reruntuhan kota Gnome, Akara berdiri dengan dua energi bercahaya berbentuk ∞ berwarna oranye dan cokelat di tangannya. Berdirilah di depannya, Marbun Bidara dengan seorang berpakaian putih dengan tudung kepala yang lancip menutupi setengah wajahnya. Lencana berbentuk matahari berwarna keemasan ada di dadanya......Mampir ke kota Shuyal, lalu menuju Gua Pelindung Harapan yang ternyata ada banyak orang di tempat persembunyiannya itu......Akademi Amerta bagian dalam!Di area bertarung dengan ratusan ribu penonton, bocah rusuh ini mencium kekasihnya, Lina. Sang Primadona di alam atas, membuat dirinya seketika mendapatkan musuh yang begitu kuat.Note:Bulan Juni insyaallah aku crazy up 4 bab/hari semoga bisa full sebulan.Md Nasaruddin C Saad, join top vote..Joehandi, wah tidak bisa dibiarkan! langsung nambah vote.Terima kasih banyak buat kalian semua yang sudah vote! Berikan kritik juga guys, apakah alurku kecepetan atau masih lambat. Jika ada kekurangan lainnya silahkan ketik komentar di bab terbaru, pasti aku cek.Paviliun Madu EmasAkara tengah duduk santai bersama Ketua Paviliun Madu Emas, pak tua yang sedikit bungkuk dengan jenggot viking bernama Gigis. Ada juga muridnya yang berkacamata bernama Rey. Gigi berterima kasih atas bantuan Akara kepada muridnya saat berada di dunia Lestari."Tidak masalah, aku hanya kebetulan le..."Brakk!.. Pintu terbuka dengan begitu kuat, muncullah leluhur keluarga Sung yang berbadan kekar, Sung Gicung. Seperti biasa raut mukanya selalu garang, pandangannya langsung tertuju pada Akara."Jangan ngerusuh di tempatku!" ucap Gigis walau masih duduk santai."Ahahaha!" Pak tua itu lalu mendekati Akara dan ingin menepuk pundaknya. Pemuda itu reflek begitu cepat, bahkan sampai melompat dari tempat duduknya. "Tenang anak muda! Leluhur ini hanya ingin berterimakasih!" ucap Sung Gicung sedangkan Akara menepuk pundaknya sendiri dan mengelusnya. Reflek otomatis akibat teringat akan kelakuan Sin."Berterima kasih kenapa?" "Haha anak muda ini, kau menyelamatkan kedua cucuku
Mereka bertiga melenggang pergi, tidak memperdulikan puluhan pasukan Bintang Hijau yang sedang memadamkan api. Rey, pemuda berkacamata itu berjalan di belakang mereka sambil sesekali menoleh ke arah bangunan yang hancur."Tidak terjadi apa-apa 'kan? Kalian berdua tidak perlu mengikutiku," ucap Akara membuat kedua pak tua itu kesal. "Tidak terjadi apa-apa gundulmu! Gedung mereka hancur berantakan seperti itu!" teriak Gigis seraya ingin memukul bocah itu, namun dihentikan oleh leluhur Sung dengan susah payah....Beberapa saat yang lalu.Akara berada di suatu ruang latihan, duduk bersila dengan gulungan kertas yang terbuka dan melayang di depannya. Listrik ungu menyelimuti tubuhnya, bergerak bersamaan ke arah tangan kanannya. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya dan Blarr!.. Petir menyambar langit-langit, berbentuk seperti akar raksasa yang langsung menghancurkan bangunan itu...."Itu hanya kesalahan latihan," elak Akara.
Akara terbang di atas hampar semak belukar yang begitu luas dan menyapu pandangan ke segala sisi. Alisnya langsung berkerut turun, melihat lokasi yang dulu menjadi rumahnya dan perkebunan para warga, kini hanya hamparan semak-semak."Kenapa?" ucap Komo."Rumahku dulu!" jawab Akara sebelum akhirnya melesat pergi. Sampailah ia di pinggir sungai Oll, di depannya, lebih tepatnya seberang sungai, ada tebing tinggi. Ingatannya yang membekas membuatnya dapat melihat pertemuannya dengan gadis bernama Lisa. Saat gadis itu meniti pinggiran tebing, hingga terjatuh dan ditolongnya. Ia juga berjalan melewati hutan di pinggir sungai, dengan bayangan masa kecilnya bersama Lisa kejar-kejaran di sana. Tertawa kecil melihat ranting pohon yang hampir di tabrak Lisa dan malah membuatnya tersungkur. Semuanya baik-baik saja sebelum terdengar suara gemuruh. Ia terbang lebih tinggi di atas hutan, lalu melihat ke arah hulu sungai. Ada banjir bandang yang begitu besar di sana hing
Ranah Sinom tiga bulan energi, berputar di belakang pundak penjaga itu. Akan tetapi, ia nampak begitu percaya diri akan ranahnya itu. Akara hanya bisa mengernyitkan dahi merasa aneh, namun teringat ranah kepala keluarga Beton saat itu hanya di ranah Sinom. Ia lalu menghembuskan napas, merasa tidak semangat lagi."Sudah ketakutan kau boc.." crakk.. belum selesai ia berbicara, bor spiral menembus kepalanya. Ranahnya seketika padam dan ambruk, membuat para warga dan penjaga lainnya terkejut. Akara langsung menoleh ke arah penjaga lainnya, mengibaskan tangannya dan langsung membuat mereka tertembus bor spiral. Kepanikan warga terjadi hingga berhamburan menjauh, lalu datanglah pemimpin penjaga yang ada di suatu ruangan."Bawahan bodoh!" umpatnya seraya mengambil kampak besar yang tergantung di ruangannya. Ia lalu bergegas keluar dan mendekati arah kekacauan. "Apa yang terjadi sampai ribut seperti ini!?" teriaknya, lalu melihat seorang pemuda berjaket
Tidak satu atau dua orang saja, bahkan semua orang, tidak perduli tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Ada pak tua bungkuk yang jalannya kesusahan, menggunakan tongkatnya untuk memukul orang di depannya. Melihat kejadian itu, Akara jadi tambah geram, bahkan tak sadar energi meluap dari tubuhnya."Diam!" teriaknya sembari kobaran api besar menyelimuti tubuhnya. Gelombang energi yang menerpa para warga, membuat mereka seketika terdiam dan menoleh."Pantas saja tidak ada kenangan baik dari para warga di kota ini!" gumamnya sembari berjalan ke arah ketua penjaga tadi. "Jika ada yang bergerak, akan aku bunuh seperti para penjaga tadi!" bentaknya. "Sok pahlawan ya?" Ia menertawakan dirinya sendiri. "Bunuh saja mereka semua, jangan jadi bocah naif!" Komo keluar dari tempat persembunyiannya dan bertengger di pundaknya. "Naif ya? Jika aku bunuh mereka, apa tidak akan memunculkan masalah baru? Tindakan positif seperti menyelamatkan m
"Hei pak tua!" seru Akara membuat pria paruh baya itu menoleh, sekaligus orang-orang yang ada di sana. "Hentikan ocehanmu, gadis kecil itu bahkan lebih kecil dari cucumu!" lanjutnya sembari mendekati gadis kecil itu. Siapa dia? Berani sekali perkataannya, tidak tau siapa yang sedang ia lawan!"Hah!? Siapa kau berani ikut campur?" hardik pria itu, sedangkan Akara dengan lembut mengusap kepala gadis kecil itu. Mengetahui ada yang mendukungnya, ketakutan gadis itu mereda, bahkan membalas senyuman yang dilemparkan Akara.Akara lalu menoleh ke arah pria tua itu dan berkata. "Apa yang membuatmu berkata buruk tentang bakatnya?" Aliran energi tipis keluar dari tangannya dan memasuki kepala gadis itu."Berkata buruk? Memang dia tidak memiliki bakat dalam Alkemis! Hanya mengandalkan pengetahuan tentang tanaman obat saja, tidak akan bisa menutupi fakta bahwa ia tidak memiliki energi api di tubuhnya!""Di umurnya yang begitu belia, sudah b
Akara kembali menghembuskan angin, memperlihatkan detik-detik Putra Galon menyentuh cairan dingin itu hingga semua orang dapat menontonnya. Tanpa ba-bi-bu pria tua itu membungkuk untuk menyentuhnya dan kreszz..."Aghh!" teriaknya sambil berdiri kembali, mengangkat tangannya sudah membeku hingga ke lengannya. Kepanikan para penonton terjadi, hingga muncullah seseorang yang membuat mereka semua menoleh ke arahnya."Ketua Aula!" seru mereka sambil membungkuk menghormatinya. Seorang pria tua dengan topi lebar ke samping, tangannya yang keriput memegangi jenggot putihnya dan mengelusnya."Apa yang sedang terjadi?" ucapnya dengan tenang, tanpa melepaskan tangannya di jenggot putihnya. Pandangannya lalu tertuju pada gadis kecil yang sedang memurnikan pil dan Putra Galon di sana. ...Di suatu ruangan.Akara dan gadis kecil bernama Vania duduk di sebuah sofa. Di depannya ada Putra Galon dengan tangan masih membiru dan di sisi samping, menghad
Kekuatan di kota Glint jadi tidak imbang, ditambah lagi menghilangnya kepala keluarga Beton. Sekarang hanya Vonci Kates satu-satunya kekuatan besar di sana, membuatnya jadi semena-mena. Akhirnya keluarga lainnya dari kota Glint pindak ke kota Oll Hulu ini, hingga akhirnya bencana aneh muncul setahun terakhir. "Oll hulu? Bukankah masih ada dua kota di hulu sana?" ucap Akara."Benar, namun di sisi lain kota ini merupakan sumber mata air sungai Oll," jelas Joko Melinjo. Mendengar semua penjelasan itu, Vania nampak begitu murung....Akara dan Vania telah keluar dari Aula Alkemis. Melihat wajah murung gadis itu tadi, ia akhirnya bertanya kepadanya."Ada apa? Kenapa tadi murung saat mendengar penjelasan pak tua Joko Melinjo?""Ahh kak Akara?" Ia malah kaget, pikirannya masih berjalan-jalan. "Hanya saja...""Vania!" panggil seorang gadis yang berlari ke arah mereka. Gadis berambut pendek di atas pundak, dengan mata bulat yang inda