Dejan menggulung lengan kemeja putih garis-garisnya hingga siku. Celananya sudah disetrika rapi tanpa ada bekas lipatan sedikit pun. Rambutnya dipotong hingga hanya tersisa sekitar 2 cm saja panjangnya. Dia ingin terlihat berbeda dari Devan saat bertemu dengan Kintan.Untuk menunjang kesan perubahan tersebut, Dejan juga mengganti jam tangan dan aroma parfum. Nomor yang diberikan kepada Kintan pun adalah nomor yang biasanya dipakai untuk keperluan bisnis. Itu adalah hasil konsultasinya dengan Dinda selama beberapa hari terakhir setelah gadis itu sempat marah-marah karena insiden telepon Kintan.Saat itu, Dejan panik setengah mati karena Lula bilang ada telepon dari Kintan saat dia tertidur. Berkali-kali dicek, Kintan tidak lagi menelepon dan mengirim pesan setelah panggilannya dijawab oleh Lula. Namun, setelah sakit kepalanya mereda dan bisa berpikir jernih, Dejan justru tertawa terpingkal-pingkal. Secara tidak langsung, hal itu memuluskan jalannya untuk menyingkirkan Devan.Dejan seng
"Enggak bapak, enggak anak, sama saja! Kenapa, sih, harus kasih suntikan modal buat toko Kintan?"Bu Dian duduk bersedekap di ruang tamu dengan wajah gusar. Di hadapannya, Pak Doni dan Dejan diam saja mendengarkan omelan wanita yang enggan menerima buah tangan dari mereka. Roti gulung kayu manis dari toko Kintan itu dibiarkan tergeletak di meja meski penampakannya sangat menggoda."Memangnya tidak ada bisnis lain yang lebih menjanjikan dibanding toko kue itu?" Bu Dian masih belum puas mengomel."Papa juga tidak sembarangan pilih, Ma. Tadi Papa sudah menyimak penjelasan rencana bisnisnya dan itu cukup bagus. Dengan kata lain, Papa sudah mempertimbangkan potensi keuntungan, bukan sekadar karena saling kenal." Pak Doni membela diri."Tapi, Pa, Mama tidak setuju kalau Kintan jadi bagian keluarga kita.""Bussiness is bussiness! Papa sudah sampaikan ke Kintan bahwa kita akan profesional, harus bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan."Bu Dian mencibir. "Kenapa bisa seyakin itu?""Kami
Bekas memerah di pipi Dejan akibat tamparan Dinda masih sedikit terlihat. Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sampai ke ubun-ubun. Kalau keributan itu sampai terunggah di internet, entah seperti apa reaksi orang tua dan keluarganya. Selama ini, Dejan dikenal sebagai sosok berwibawa dan tidak neko-neko."Itu Lula, Din. Cewek yang pernah gue ceritain ke lo karena dijodohin sama nyokap."Dejan memelankan suaranya dan memberi penekanan. Dia berusaha sabar meski rahangnya mengeras dan tangannya mengepal karena menahan amarah."Dan lo suka?" Dinda melotot."Enggak. Sumpah! Gue terpaksa—""Kintan lagi sedih karena lo ngilang gitu aja, tapi lo sendiri malah asyik jalan sama cewek lain. Enggak habis pikir gue, Jan.""Gue sama sekali enggak ada pikiran untuk mempermainkan Kintan. Tadi pun kami masih WhatsApp-an kayak biasa.""Beberapa hari ini Kintan sering curhat ke gue. Dia tertekan karena terus didesak sama orang tuanya. Dan apa yang gue lihat hari ini? Lo ternyata enggak jauh beda sama
Kintan duduk di balkon sambil memandangi bulan yang mengintip malu-malu di balik awan. Embusan angin malam menembus jaket tebal, tetapi tidak sampai membuatnya meringkuk kedinginan. Gadis itu hanya termangu, sesekali menyeruput seduhan coklat yang uapnya masih mengepul.Acara peresmian cabang toko pertama akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Semua persiapan telah selesai dilakukan. Kintan juga sudah mengundang beberapa tamu penting, termasuk Pak Doni dan Dejan sebagai rekan bisnis.Namun, satu-satunya orang yang sangat dia harapkan kedatangannya justru tidak memberi kabar apa pun sejak sebulan terakhir. Yang Kintan tidak tahu, nomornya memang sudah diblokir oleh Dejan. Dejan pun kini leluasa berkomunikasi dengan Kintan sebagai dirinya sendiri.Kintan tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Dia hanya bisa menghubung-hubungkan kepergian Devan dengan keberadaan Talita serta menyimpulkan beberapa hal yang sepertinya cocok. Yang masih tidak dia mengerti, sudah berapa lama Devan di Jambi?
Kintan tak henti-henti menebar senyum pada tamu undangan yang hadir. Kilat cahaya kamera berulang kali menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata jernih itu menyapu satu per satu tamunya dan memperhatikan detail khusus untuk mengenali mereka."Halo, Tante Lina. Terima kasih sudah hadir," sapa Kintan pada wanita paruh baya yang mengenakan setelan putih. Penampilannya terlihat nyentrik karena menenteng tas merek ternama dengan motif kulit ular."Selamat, ya, Kintan. Tante enggak nyangka kamu bisa sesukses ini."Meski tersenyum, komentar wanita bernama Lina itu lebih terdengar sinis. Tangannya sibuk mengayunkan kipas lebar seolah-olah ruangan dengan AC itu masih terasa gerah.Kintan mengabaikan sikap dingin tantenya itu. Harinya terlalu baik untuk dirusak oleh hal sepele. Acara pembukaan cabang pertama Key and Cake itu bersamaan dengan restoran Rasa Nusantara milik Pak Wishnu, rekan sekaligus investor Kintan. Banyak tamu penting hadir dan itu bagus itu memperluas koneksi.Rest area tempat
"Maaf tidak bisa mengantar Mas Dejan. Hati-hati di jalan."Dejan tersenyum membaca pesan yang dikirim oleh Kintan. Dia bisa memahami, Kintan tidak mungkin mengantarnya ke bandara tanpa ada yang menemani. Dinda juga masih enggan menemuinya semenjak keributan di mall."Tidak apa-apa, Tan. Minta doanya saja semoga perjalanan saya lancar."Sebenarnya Dejan ingin menambahkan kalimat: supaya bisa segera pulang ke Indonesia. Akan tetapi, Dejan menghapus sebelum mengirim pesan balasan. Kintan cukup sensitif untuk hal semacam itu. Hatinya masih rapuh karena ulah Devan. Jika Dejan terlihat terang-terangan mendekatinya, gadis itu justru akan menghindar.Dejan terbang ke Belanda dengan membawa setumpuk permasalahan. Semenjak dirinya terlalu nyaman tinggal di Indonesia dan banyak membagi waktu untuk membersamai Kintan, urusan pekerjaan menjadi berantakan.Satu per satu masalah yang datang tidak segera dia selesaikan. Akibatnya, berbagai permasalahan itu menimbun serupa gunung es. Terlihat sepele d
Devan mendapat jatah libur dari kantor selama lima hari. Tadinya dia ingin bersantai saja dan tinggal di Jambi, tetapi Talita merengek ingin ditemani ke Jakarta. Dia sudah kangen dengan hiruk pikuk suasana metropolitan dan menyambangi pusat perbelanjaan.Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya ajakan Talita itu menarik juga. Devan bisa pulang mengunjungi orang tuanya dan berkoordinasi langsung dengan rekan kerja dari kantor pusat. Selain itu, dia juga penasaran dengan alasan orang tua Kintan marah-marah lewat telepon beberapa waktu sebelumnya.Kalau dipikir-pikir, Kintan sendiri juga tidak pernah menghubungi Devan semenjak dia pindah tugas. Jika akhirnya hubungan mereka kandas, kesalahan itu bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Devan.Maka hari itu, di suatu akhir pekan yang cerah, Devan dan Talita berangkat dengan penerbangan paling pagi pukul 06.45. Proyek mereka sementara ditangani oleh Penanggung Jawab Lapang yang sudah lebih dahulu ditugaskan di sana.Kintan. Nama itu seakan-ak
Sepeninggal Devan, Kintan hanya bisa terduduk lemas di lantai ruang kerja. Semuanya terlalu sulit untuk dicerna akal sehat. Tatapannya kosong. Air matanya sampai tidak bisa lagi menetes. Satu-satunya penanda bahwa dia masih sadar adalah kelopak matanya yang masih berkedip perlahan. Detak jam dinding seolah-olah mengantarkan ingatan Kintan akan kebersamaannya dengan Devan palsu. Ya, bagi Kintan semuanya palsu.Sikap Dejan pasti palsu. Perhatian Dejan juga palsu. Pun dengan rasa cinta yang sempat membuat jantung Kintan berdebar kencang. Itu juga palsu.Dalam bayangannya, dua lelaki kembar tersebut tengah mentertawakan kebodohannya. Mau marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Toh, muara semua kesalahpahaman itu sebenarnya dari kekurangannya yang tidak bisa membedakan wajah.Suara ketukan di pintu membuat Kintan akhirnya tersadar bahwa dirinya masih berada di ruang kerja. Ratri memanggilnya dari luar berulang kali. Kintan pun akhirnya menguatkan kedua lutut untuk berdiri dan mem