Apa aku mulai menuai karma? Anak-anakku tidak mengenal aku sebagai ayahnya. Dan kini harus menerima kenyataan, bahwa Sandi yang ternyata wanita murahan.Entah apalagi, kejutan dalam hidupku nanti? Allah seperti sedang menjungkir balikkan kehidupanku, sejak menikah dengan Sandi. Dulu aku adalah suami dominan, keinginanku adalah titah, tak boleh dibantah.Tapi dengan Sandi, aku harus banyak mengalah, menuruti semua maunya, tapi nyatanya? Sandi tak lebih dari wanita murahan dan matrealistis, harusnya aku menyadarinya dari awal, sebelum kami menikah."Mas, kita resepsinya di hotel bintang lima ya? Aku mau busana pengantinya yang terbaik, beli di Cantik Boutique," ucapnya, kala kami baru merancang acara pernikahan."Kenapa harus beli? Kan bisa sewa? sanggahku waktu itu. "Sewa? Ogah aku Mas, pakai baju bekas orang lain, nanti kulitku alergi," ucapnya menolak mentah-mentah usulanku."Butuh biaya nggak sedikit itu, Dek. Uangku sudah kepakai buat bayar maharmu yan
Perutku terasa melilit, dari pagi aku belum kemasukan apapun, hanya sebotol air mineral yang kuambil dari mobil tadi.Sandi sudah dipindah ke kamar perawatan, tapi masih belum sadar. Aku juga sudah menelfon ibu mertuaku, agar bisa menggantikanku menjaga Sandi. Tak lupa kutelfon Mbak Yeni, minta ijin karena hari ini tidak bisa masuk kantor."Kamu yang sabar ya, Af? Kamu nggak usah khawatir, biar pekerjaanmu aku yang handle. Semoga Sandi lekas sembuh," ujar Mbak Yeni, saat kukatakan Sandi keguguran dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Lama menunggu Ibu mertua, aku merasa tidak sabar, akhirnya aku memutuskan keluar ruangan, dan kulihat Ibu mertua sedang berjalan menuju kearahku."Bagaimana keadaan Sandi sekarang?" ucap wanita setengah baya yang selalu tampil modis dan full make up ini, persis seperti Sandi."Sandi belum sadar, Ma," jawabku pelan. "Kejadian sebenarnya bagaimana sih? Kok bisa sampai begini?" tanyanya lagi."Sandi menenggak obat penggugur kandungan, Ma.
"Halo Bu Dokter cantik, boleh saya mengajak anda makan siang, hari ini?" ucap Mas Prabu dengan ekspresi jenaka, membuatku tak bisa menahan tawa."Bagaimana kalau saya menolak ajakan, Pak Dokter?" jawabku iseng, sengaja aku menggodanya."Ya ... Bu Dokter kejam amat ya? Ini sama dengan melanggar sumpah anda, untuk menyelematkan nyawa manusia, Bu Dokter?""Apa hubungannya? Menolak ajakan anda dengan sumpah jabatan saya?""Dengan menolak ajakan saya, berarti anda membiarkan saya mati kelaparan, karena saya tidak mau makan, kalau tidak ditemani dokter cantik," ucapnya melas."Oh ya? Saya baru tahu itu, menolak ajakan makan siang berarti melanggar sumpah profesi, dan saya bukan tipe orang, yang suka melanggar sumpah saya sendiri," ucapku sok cuek."Berarti Bu Dokter menerima ajakan saya, nih?" tanyanya dengan mata berbinar."Tentu saja, saya tidak akan membiarkan anak orang mati kelaparan," jawabku, disambut uluran tangan Mas Prabu, bermaksud menggandeng tanganku, tapi kutolak dengan halus
Masih lima hari lagi? Bisa senewen aku lama-lama jagain Sandi di sini, mending kalau di suruh jagain Uma, seumur hidup juga aku mau, tapi sayangnya dia selalu bersikap acuh padaku.Kuantar Uma sampai depan pintu, tak lupa kuucapkan terima kasih. Namun apa yang kulihat, membuatku seperti mendapat tamparan keras di wajah."Kita pulang sekarang, Mas," ucap Uma, pada lelaki yang sudah menunggunya di luar ruangan. Dan yang paling menyakitkan, pria itu membawakan tas Uma, sepertinya hubungan mereka sangat dekat.Jujur aku cemburu, melihat Uma berjalan dengan pria lain, apalagi saat melihat mereka bertatapan, ada binar-binar cinta di sana.Padahal aku sempat berfikir, untuk kembali mendekati Uma, setelah resmi bercerai dari Sandi nanti. Kalau sudah begini, apa masih ada kesempatan? Bukankah menurut Alfa, ayahnya sudah meninggal? Dan terakhir saat aku ke ruang kerja Uma, foto yang terpajang adalah adalah foto Uma dan anak-anak, tak ada foto pria itu.Aku yakin Uma belum menikah,
Aroma harum masakan yang menguar, menusuk-nusuk hidungku, hingga tanpa sadar aku melangkah mencari sumbernya. Aku tertegun sejenak, demi melihat siapa yang tengah sibuk memasak di dapur, Sandi. Pemandangan yang langka, baru kali ini aku melihat dia berjibaku di dapur. Biasanya jam-jam segini Sandi masih bergelung dengan selimut, jangankan menyiapkan sarapan, suami berangkat kerja saja dia tidak tahu. Dia memakai dres selutut, rambutnya diekor kuda, meski tanpa make up, dia masih terlihat cantik, tubuh Sandi yang memang indah dari sananya, membuat dia tetap tampak menarik, meski tampil sederhana. "Eh, sudah bangun Mas?" tanya Sandi, senyum manisnya mengembang sempurna.Adegan seperti ini yang kuinginkan dari dulu, bangun pagi disambut istri cantik, ditemani sarapan. Tapi mengapa baru sekarang di melakukannya? Aku hanya tersenyum sekilas, membalas sapaan Sandi, seraya mengambil duduk di kursi makan. Kurasa usahanya perlu dihargai, lagi pula aroma yang menggoda, membuat perutku tera
Aku mematut diri di depan cermin, kaos polo putih, dipadu celana training biru, membuat kegantengan ku naik satu tingkat.Jangan pikir aku akan pergi olahraga, aku berpakaian seperti ini, karena sedang menjalankan misi rahasia. "Ma, tolong jangan ricuh di sini. Mas Afnan di rumah." Sayup-sayup terdengar suara Sandi, entah dengan siapa dia bicara. Aku yang bersiap untuk berangkat ke alun-alun kota, menghentikan aktivitasku sejenak. Demi melihat siapa, yang sudah bertamu sepagi ini. Aku keluar dan menuju ke lantai bawah, langkahku terhenti di ujung tangga. Rupanya ibu mertuaku sedang bicara dengan Sandi. Untuk apa dia datang ke rumah ini? Sedangkan saat anaknya sakit saja, dia tidak perduli. "Kamu kenapa meblokir nomor Mama?" tanya Mama dengan suara tinggi. "Sstt... Mama jangan keras-keras bicaranya, nanti Mas Afnan dengar, aku nggak enak Ma, " jelas Sandi, berusaha membuat Mama mau memelankan suaranya. Tapi sayang, aku sudah berdiri di sini, dan mendengar pe
Aku pulang dengan rasa yang campur aduk, antara senang, benci dan cemburu. Senang karena bisa melihat Uma dan anak-anak dalam jarak dekat, meski kenyataan tidak sesuai harapan. Benci, kenapa harus ada Prabu bersama mereka? Kan, Uma bisa pergi dengan anak-anak sendiri? Kenapa bawa-bawa Prabu segala. Cemburu? Jelas aku cemburu, siapa yang sanggup melihat pujaan hatinya, bersikap mesra pada pria lain, meski tak ada sentuhan fisik, tapi tatapan mereka mengisyaratkan cinta, dan aku tidak suka. "Mas, aku sudah memasak sup ayam kampung kesukaanmu," ucap Sandi, saat aku sedang di dapur mengambil minuman di kulkas. Sandi memang sudah banyak berubah, dia mulai tahu apa saja masakan favorit ku, dia belajar dari Bi Murni. Rasa masakan Sandi, pun sekarang jauh lebih enak. Sebenarnya aku tergiur mendengar tawaran Sandi, sup ayam kampung bukan hanya makanan kesukaan ku, tapi juga Uma. Dulu dia sering memasak makanan ini, saat masih menjadi istriku. "Mas, makan ya? Aku ambilin, dari pagi kamu b
Pov UmaSudah Jam dua lebih, tapi Alfa belum juga datang. Di WA grup kelas hari ini, guru sudah menyampaikan anak-anak dipulangkan sejak jam dua belas tadi, karena dewan guru ada rapat.Jarak antara sekolah dan rumah sakit ini, kurang dari satu kilo meter. Harusnya Alfa sudah ada di depanku dari tadi, ini sudah dua jam lebih tidak nongol juga, kemana anak itu? Bikin aku bingung memikirkannya.Bolak balik kutelfon orang tua teman-teman Alfa, mungkin mereka ada melihat Alfa, atau malah Alfa sedang berada di rumah mereka. Nihil Alfa tidak ada di rumah siapapun. "Semua anak sudah pulang dari tadi, Bu," jawab wali kelas Alfa."Tapi Alfa belum pulang sampai sekarang, saya sudah menelfon semua wali murid, tapi nggak ada yang tahu di mana Alfa. Saya takutnya Alfa jadi korban---" ucapku menggantung."Ibu jangan negativ thingking dulu, nggak mungkin Alfa diculik. Satpam tidak akan membiarkan anak-anak dijemput orang tidak dikenal. Mungkin dia main di rumah teman lain atau saudaranya mungkin?"