“Kalau kamu mau lihat kebenarannya, tunggu besok. Jam tiga sore, bersiaplah.”Kalimat terakhir Panji semalam masih menjadi gangguan tidur yang nyata bagi Selma. Jantungnya berdebar-debar hanya dengan menatap putaran jarum waktu yang sudah berdentang hingga pukul satu lewat lima belas menit. Kurang dari dua jam, ia akan diberitahu sesuatu yang entah apa itu masih dirahasiakan.Tok, tok, tok!“Sel, kamu nggak mau ke luar? Ada yang cari itu, lho!”Pet!Mata yang semula sibuk mengawang-awang bersama panorama langit kamar pun seketika terkatup begitu rapat. Begitulah Selma semenjak pagi, pura-pura tidur setiap kali ada suara yang menginterupsi. Jangankan tidur, baru memejamkan mata saja lamaran Panji langsung membuat benih-benih mimpi berhamburan. Sebelumnya, ia tidak pernah sekosong ini. Dikira malas atau tewas sekalipun Selma tidak peduli, pose cicak mati langsung diperagakan begitu gagang pintu diputar dari luar.“Astaga, Selma! Mau sampai kapan kamu tertidur, dasar pemalas!”Plak! Buag
“Kalau kamu tahu diri, ini saatnya untuk membalas budi.” Bahu Selma naik turun, dadanya pun kembang-kempis–menahan tangis. “Maksud Kakek apa ngomong begitu? Ternyata selama ini dugaan aku benar, itu alasan kenapa aku ngerasa disingkirin sama kalian. Bahkan perjodohan ini, Kakek sengaja mau buang aku, ‘kan?” Air muka Sagara menegang. Ia berkata, “Tenang, Selma. Bisakah kamu dengarkan penjelasan Kakek tanpa banyak menyahut?” Apa ini sejenis rahasia keluarga? Sungguh, Panji hanya bisa terbengong oleh drama kakek dan cucu di depan matanya. Seumur berkiprah dalam dunia bisnis, tidak pernah sekelebat pun ia mendengar pasal anak keturunan Vallence yang berasal dari panti asuhan. Jangankan masalah itu, wajah dua cucu perempuan keluarga tersohor itu saja baru ia kenali setelah gong perjodohan ini ditabuh. Sepertinya ini bukan pembicaraan yang singkat, Panji pilih mendarat di sofa kembali. Pria itu menyenggol paha Selma, seraya mengatakan, “Duduk!” “Apaan, sih!” balas Selma, tetapi akhirny
“Ayo, turun! Tadi di jalan minta-minta, sekarang waktunya turun malah mati!”Memang tidak ada pengertiannya sama sekali pria itu. Tidak tahukah Panji bahwa Selma kehilangan tenaga untuk melanjutkan hidupnya? Lobby hotel berbintang yang sudah ada di depan mata begitu ramai oleh lalu-lalang manusia, beberapa di antaranya sibuk mengusung sejumlah properti. Itu gedung yang dipesan Panji, gadis itu tahu.Blam!Selma mengembuskan napas berat, mulutnya mendadak pahit hanya untuk mencaci pria yang tengah berbincang dengan pramusaji hotel itu. Jiwa mudanya serasa layu hanya dengan mendengar Panji memperkenalkannya sebagai si calon mempelai wanita.“Ayo, masuk! Kita periksa sudah sejauh mana persiapannya.” Panji menyerahkan lengannya yang ditekuk segitiga, bermaksud agar digandeng Selma.Ah, lama! Pria itu mengambil sendiri telapak tangan Selma dan menyangkutkannya pada lipatan siku. Ia tidak berpikir jika gadis yang digandengnya seangkuh itu, bahkan menoleh kanan-kiri pun tidak. Kalau Panji se
“Beraninya kamu muncul di depanku!” Panji mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi.Duagh!Bekas hajaran preman semalam saja belum hilang betul, sekarang pria itu malah menambah beban wajah dengan aksi saling serang dengan sosok yang asing di mata Selma. Umurnya mungkin sepantaran dengan Panji, bergaya necis dengan rambut gondrong sebatas leher. Siapa si anonim, itu urusan nomor sekian. Sekarang, Selma memiliki tugas lain untuk memisah dua pria yang saling hajar di depan matanya. Berat, gadis itu masih sedikit trauma oleh kejadian Panji kontra preman kemarin.Brugh!Momen yang bagus. Begitu sosok anonim itu tersungkur di lantai, Selma langsung tampil di depan Panji dan menggagalkan satu kepalan yang hampir mengenai dahi mulusnya sendiri. Napas gadis itu memburu, terbayang seperti apa sakitnya andai kepalan tangan berotot itu mencium keningnya.“Udah, Om, ini bukan ring tinju!” decak Selma, memberanikan diri beradu sorot setan dengan Panji.Selma tidak tahu, perkara apa yang singkat
“Selamat pagi, Tuan dan Nona.” Madam Runi baru memasuki butik, di mana Selma dan Panji sudah duduk di dalamnya.Wanita berusia hampir kepala lima itu terheran-heran meihat calon mempelai yang duduk dari sudut ke sudut kursi panjang. Daripada disebut sepasang pengantin, mereka–Selma dan Panji–lebih pantas disebut sebagai orang asing yang kebetulan memiliki kepentingan di butiknya.Panji berdiri. “Pagi, Madam,” sambutnya. “Bisa kita langsung ke intinya saja? Masih ada banyak yang harus kita urus setelah ini,” pinta pria itu.“Tentu, Tuan. Mari, Nona Selma bisa mengikuti saya, sementara Tuan sendiri bisa menunggu di sini.” Madam Runi setengah membungkuk, kedua tangannya mengarah ke tirai ruang ganti.Tanpa pamit, Selma menuntun kakinya ke lokasi yang ditunjukkan Madam Runi. Gadis itu mengunci suara sejak insiden amuk mendadak di depan rumah tadi. Seperti itulah dirinya yang cerewet dibuat anteng dengan mudah. Entah bagaimana kelanjutan ‘Renjani’ yang ia sebutkan, pria yang seharusnya
“Ah, segala hal yang ada di diri gue emang nggak pernah salah.” Selma mengedipkan sebelah mata pada bayangannya dalam cermin. “Kecuali tentang suami,” imbuhnya, bernada sesal. Senyum yang semula mengambang pun perlahan terbenam.Hari ini adalah tanggalnya, momen di mana gadis 21 tahun itu meresmikan status sebagai Nyonya Antaraxa, duda kaya yang memaut sepuluh tahun dari usianya. Sejarah hidup terkelam dalam lembaran Selma, kebahagiaan ratusan manusia yang memenuhi ballroom sama sekali tidak menjangkit pada hatinya.Masih dengan gaun cantik yang dijuluki sebagai busana duka oleh calon suaminya, tambahan kalung permata safir semakin membuat gadis itu bak putri dongeng yang kebetulan berjodoh dengan tokoh anime. Entah apa yang tengah dilakukan Panji di ruang sebelah, gadis itu tinggal menunggu nyonya penata busana kembali dari mengambil sepatunya.Ceklek!Selma menoleh ke arah pintu. “Apa sepatuku sud—Viko!” Kelopak mata gadis itu melebar, bulu mata lentiknya sampai terasa menusuk.
“Ah, kenapa mereka lama sekali?” Jemari Panji meremas-remas tidak tenang, tatapannya terpaku pada pintu besar yang akan menjadi jalan masuk bagi calon mempelai wanita.Ini sudah lewat sepuluh menit dari jam yang seharusnya. Akan tetapi, mata Panji tidak kunjung disapa gadis cantik yang ia tinggakan 25 menit lalu. Seharusnya dari pintu emas itulah Selma muncul bersama Sasmara, berjalan di tengah perhatian seluruh tamu undangan yang telah duduk menjamur, seraya membawa buket mawar putih ke arahnya.“Panji!” desis Damar, melambaikan tangan dari bawah pelaminan. “Ke marilah!” suruh pria itu.Tampak ada yang tidak beres, Panji merasakan gelagat aneh dari orang-orang sekitarnya. Akhirnya, pria itu turun dan menyapa iparnya tersebut. “Ada apa ini? Harusnya kita mulai dari tadi, tapi mana Selma?”“Itu dia masalahnya.” Damar menggaruk leher. “Selma … tidak ada,” lirih Damar, sangat hati-hati.“Apa maksudmu dengan tidak ada?” Bukan hanya volume, bahkan sekujur urat Panji ikut menanjak.“H
"Aaaa!" Selma memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengobat-abit. Sekian detik kemudian, terdengar pekikan Panji. "Mati saja kau, Gatra!" Pria itu bersiap menyerang musuh meski dengan tangan kosong. "Kamu yang sepantasnya mati!" Gatra beralih mengurusi Panji, mengangkat bangku kecil yang sebelumnya hendak dilemparkan pada Selma. Melihat kegaduhan dua pria itu, Selma berusaha melonggarkan ikat yang membelenggu kaki tangannya. Apalagi melihat Panji kewalahan menghadapi kegilaan Gatra, gadis itu semakin ingin terbebas. "Duh, gimana, nih? Om Panji bisa kalah kalau gitu caranya." Jika tidak ingat waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk memoles wajah, Selma tidak perlu menahan air cengengnya. Brak! Panji bergulung di lantai, beruntungnya bangku itu tidak berhasil mendarat di kepalanya. Dengan napas yang terengah, pria itu menyempatkan diri melirik Selma, memastikan gadis itu tidak mengakami hal buruk. Aman, tetapi ia harus mengulur waktu sebisa mungkin hingga