Mbok Darmi menatap Satya dengan wajah bungah. “Mbak Lintang yang minta, Mas.”“Lintang?” Satya mengedarkan pandangan. Seingatnya, Lintang belum akan pulang.“Iya, Mbak Lintang pengen dinner sama Mas Satya.” Mbok Darmi sok ngenggres yang memantik senyum di bibir Satya.“Lho, Mas Satya sudah pulang?” Lintang yang baru muncul dari dapur tersenyum lalu mencium punggung tangan Satya. “Lah, bukannya kamu harusnya masih di Jogja?” Satya mendaratkan bibir di dahi Lintang. “Udah kangen sama aku, ya?” “Ternyata satu flashdisk saya ketinggalan di sini. Baru sadar pas kena marah Bang El.” Lintang nyengir. “Yuk, makan, Mas. Mbok Darmi sudah masak, nih.” Lintang menarik Satya dan mendudukkannya di kursi. “Cuma mau bilang kangen saja pakai alasan ketinggalan flashdisk.” Satya tidak terima.“Memang bener kok, flashdisknya ketinggalan.” Lintang tersenyum. Cekatan tangannya menuang jus jeruk ke dalam gelas lalu mengisi piring dengan salad sayur dan potongan ayam panggang. Mbok Darmi sudah memberika
Satya menghela napas. Begini rupanya perempuan kalau sudah ngegas. Pengalamannya dekat dengan perempuan hanya Bunda dan Hanum. Keduanya bukan model orang yang suka ngegas. Mereka memilih diam dan menghindar kalau sedang tidak enak hati atau marah.“Ya nggak gitu juga, Lin. Kita kan, konco mesra, konco satu selimut, urusan uang juga barengan, kan? Satya meraih jemari Lintang dan menautnya.“ Ya, udah kalau kamu masih marah. Aku beneran minta maaf. Katanya manusia tempatnya lupa.” Satya memejamkan mata. Ia baru tahu kalau Lintang bisa merajuk, tetapi tubuhnya sudah protes meminta jatah istirahat sehingga ia memilih tidak memperpanjang persoalan tentang transfer taksengaja itu. Ia pikir, besok juga suasana hati Lintang sudah lebih baik.“Apa aku sudah dimaafkan?” tanya Satya keesokan harinya usai salat Subuh berjamaah di rumah. Sampai saat ini Satya belum mau salat di masjid meski berulang kali Lintang membujuk. Malu menjadi alasannya karena sudah lama tidak menginjakkan kaki di masjid de
Hening sesaat. Lintang masih menatap bingung Satya sementara suaminya hanya tersenyum kecil.Satya menggeser posisi hingga tubuhnya dan Lintang nyaris tak berjarak. “Tapi aku mau hadiah. Aku mau nambah pagi ini,” bisiknya lembut dengan sorot mata meredup. Lintang menepuk jidat. “Ya, Salaam. Memang nggak ngantor?” Alih-alih menjawab, Satya justru kembali memulai aksinya dan membiarkan pertanyaan Lintang mengapung di udara. Suara alarm dari ponsel di atas meja menarik perhatian Satya yang masih terbaring di ranjang. “Astaga, aku lupa kalau ada janji penting pagi ini,” serunya panik usai membaca deretan kata yang terpampang di layar ponsel. Lintang beringsut turun dari ranjang sembari tersenyum geli. Diikatnya rambut asal kemudian mengambil handuk dan memberikannya pada Satya.“Astaga, kenapa aku bisa lupa urusan sepenting ini,” gumamnya seraya menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Bayangan bupati dan tim ahli dari kementrian BUMN berkejaran di kepala. Selama ini ia hampir tid
Staf ahli Kementrian Pariwisata dan perwakilan kraton Mangkunegaran saling pandang kemudian keduanya kembali menatap Satya.“Soal itu, tidak perlu khawatir. Tidak ada sengketa. Itu hanya kabar burung yang terlalu dibesar-besarkan.”“Syukurlah kalau begitu, Pak.” Satya tersenyum lega. Bagaimanapun juga, akan sangat mengganggu kalau status De Tjolomadoe masih dalam sengketa. Ia tidak mau proyeknya nanti terganggu.Setelah berbincang lebih dari dua jam, bapak bupati mengakhiri pertemuan itu. “Saya harap Anda tidak terlalu berharap banyak dulu. Kami akan seleksi semua peserta tender. Tapi semoga Anda mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan.” Bapak bupati menyalami Satya dan Evan ketika mereka berpamitan. Satya mengangguk hormat seraya mengucapkan terima kasih. Ia dan Evan meninggalkan rumah dinas bupati setengah jam sebelum waktu Zuhur. “Sebenarnya pertaruhan kita terlalu besar di proyek ini, Mas,” ujar Evan hati-hati ketika mereka makan siang. Satya mengunyah nasi perlahan. Ia menger
“Memangnya ada yang salah dengan kata-kata saya, Mas?” Evan semakin bingung. Senyum Satya masih belum tanggal dari wajahnya.“Nggak ada yang salah dengan omongan kamu.” Satya sedikit mencondongkan tubuh. “Wajar kalau pertimbangan kamu lebih ke perasaan. Aku maklum karena kamu jomlo.” “Astagfirullah.” Evan meremas tissue dan memasang tampang jengkel. Kalau bukan karena perbedaan posisi dan status sosial, sudah dibalasnya ejekan Satya. “Kamu terlalu menutup diri dari perempuan, Van. Padahal yang mau sama kamu pasti banyak. Tampang nggak kalah cakep dari artis ibukota. Sudah mapan. Kalau bukan kamu yang bermasalah, nggak mungkin masih jomlo.” Seketika paras Evan semerah kepiting rebus. “Saya bayar makannya dulu,” ujarnya seraya bangkit lalu pergi menuju kasir meninggalkan Satya yang terbengong-bengong. ***Sesuai rencana, Satya mengantar Lintang ke Jakarta pada Hari Minggu. Tepat ketika tirai malam telah sempurna memeluk bumi, Kereta Senja Utama dari Stasiun Solobalapan membawa merek
Lintang memperlambat kunyahan sepotong kue yang telah masuk ke mulut seraya menatap El heran. “Maksud Abang apa, sih?”Diam-diam Lintang agak jengkel pada El karena sejak kemarin terus-menerus menyudutkannya.‘Kalau kamu bermesraan sama suamimu di depan kami, itu artinya kamu nggak menghormati aku dan Dana yang masih jomlo. Kamu keterlaluan.” El meremas gelas kertas di tangan lalu melemparnya ke tempat sampah. Lintang melongo. Potongan kue di mulut seolah begitu sulit melewati tenggorokan meski ia berusaha menggelontor dengan tegukan teh hangat. “Aku mengatakan ini demi membela hakku sebagai jomlo dan hak sahabatku yang belum bisa move on setelah kamu tinggal nikah.” Ekor mata El melirik Dana. Dana bergeming. Ia sibuk menggoyang gelas dan mengunyah kue. Luka hatinya yang belum sepenuhnya kering seperti disiram air jeruk. Sakit dan pedih. Selama ini tidak ada yang tahu perasaannya selain El. Lelaki itu lebih dari teman kerja. Ia sahabat sekaligus musuh dalam satu tubuh.Lintang men
“Sudah, Mas. Semua sudah sesuai prosedur.” Evan menjawab cepat. “Ini rekanan lama dan selama ini tidak pernah ada masalah kecuali saat dulu nilai tukar rupiah anjlok,” jelas Evan.“Ya, sudah, nanti aku urus,” putus Satya. Satya memutuskan untuk ke hotel terlebih dahulu sebelum ke kantor undename importer langganan perusahaannya. Bukan kebiasaannya menemui siapa pun dalam keadaan kusut. Ia selalu berusaha tampil prima di depan semua orang. Lelaki bertubuh ranggi itu berjalan cepat ke kamar usai check in. Di bawah guyuran shower, ia berusaha mengingat semua hal yang bisa membuat barang import tertahan di bea cukai. Menurut Evan, dokumen mereka sudah lengkap. Pajak dan biaya pabean lainnya pun sudah disiapkan. Kapan pun dikonfirmasi untuk pelunasan, perusahaan siap mentransfernya. Selama ini mereka tidak pernah mengalami masalah berarti di pabean. Hadikusumo Group selalu taat pada peraturan. Ratusan botol pewarna itu sudah tiba di pelabuhan tiga minggu lalu. Tidak biasanya pemeriksaa
“Oh, maaf, Pak, saya tidak tahu.” Petugas bernama Bayu itu menangkupkan tangan di depan dada seraya sedikit membungkukkan badan.“Tidak apa-apa. Kita memang belum pernah ketemu.” Satya tersenyum menenangkan.“Biasanya Pak Handoko yang mengurus pengambilan barang di sini.” Raut mukanya yang semula penuh selidik berangsur melunak.“Kebetulan Pak Handoko sedang ada urusan dan saya ada kerjaan di Jakarta. Jadi sekalian saya yang urus.”“Baik, Pak. Silakan duduk dulu. Saya ambilkan dokumen-dokumennya.” Bayu meninggalkan ruangan setelah Satya mengangguk.Cukup lama Satya menunggu sampai Bayu kembali dengan satu bendel berkas di tangan. “Sebelumnya kami minta maaf, Pak,” ujarnya setelah duduk di hadapan Satya. Disibaknya beberapa bagian rambut yang menutupi dahi kemudian menyodorkan hasil pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan petugas bea cukai. “Tapi perusahaan Anda sudah membeli barang yang dilarang untuk digunakan di Indonesia dan beberapa negara lain.” Kedua mata Satya sedikit melebar.