“Sudah, Mas. Semua sudah sesuai prosedur.” Evan menjawab cepat. “Ini rekanan lama dan selama ini tidak pernah ada masalah kecuali saat dulu nilai tukar rupiah anjlok,” jelas Evan.“Ya, sudah, nanti aku urus,” putus Satya. Satya memutuskan untuk ke hotel terlebih dahulu sebelum ke kantor undename importer langganan perusahaannya. Bukan kebiasaannya menemui siapa pun dalam keadaan kusut. Ia selalu berusaha tampil prima di depan semua orang. Lelaki bertubuh ranggi itu berjalan cepat ke kamar usai check in. Di bawah guyuran shower, ia berusaha mengingat semua hal yang bisa membuat barang import tertahan di bea cukai. Menurut Evan, dokumen mereka sudah lengkap. Pajak dan biaya pabean lainnya pun sudah disiapkan. Kapan pun dikonfirmasi untuk pelunasan, perusahaan siap mentransfernya. Selama ini mereka tidak pernah mengalami masalah berarti di pabean. Hadikusumo Group selalu taat pada peraturan. Ratusan botol pewarna itu sudah tiba di pelabuhan tiga minggu lalu. Tidak biasanya pemeriksaa
“Oh, maaf, Pak, saya tidak tahu.” Petugas bernama Bayu itu menangkupkan tangan di depan dada seraya sedikit membungkukkan badan.“Tidak apa-apa. Kita memang belum pernah ketemu.” Satya tersenyum menenangkan.“Biasanya Pak Handoko yang mengurus pengambilan barang di sini.” Raut mukanya yang semula penuh selidik berangsur melunak.“Kebetulan Pak Handoko sedang ada urusan dan saya ada kerjaan di Jakarta. Jadi sekalian saya yang urus.”“Baik, Pak. Silakan duduk dulu. Saya ambilkan dokumen-dokumennya.” Bayu meninggalkan ruangan setelah Satya mengangguk.Cukup lama Satya menunggu sampai Bayu kembali dengan satu bendel berkas di tangan. “Sebelumnya kami minta maaf, Pak,” ujarnya setelah duduk di hadapan Satya. Disibaknya beberapa bagian rambut yang menutupi dahi kemudian menyodorkan hasil pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan petugas bea cukai. “Tapi perusahaan Anda sudah membeli barang yang dilarang untuk digunakan di Indonesia dan beberapa negara lain.” Kedua mata Satya sedikit melebar.
“Rahasia. Pokoknya awas kalau kamu nggak segera balik.” Satya memutus sambungan telepon. “Kenapa juga penelitian sampai ke Sangihe yang jauh banget?” batin Satya kesal.Senja baru saja terlipat ketika Satya menemui salah satu koleganya di restoran hotel. Kebetulan temannya melewati daerah Simatupang sehingga menyempatkan untuk mampir. “Mana istrimu?” Heru menjabat erat tangan Satya. Bertahun lamanya mereka tidak bertemu dan hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. “Lagi ada acara di Simatupang.” Satya mempersilakan Heru duduk lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Alunan music jazz yang cozy menembus rongga telinga, menemani pertemuan dua teman lama itu. “Ngomong-ngomong, kamu beneran nggak jadi nikah sama pacar kamu yang desainer itu?” Heru melepas peluru tajam tepat ke jantung Satya. Lelaki berambut lurus itu duduk di seberang meja yang tidak terlalu lebar berhadapan dengan Satya. Satya sengaja memilih meja kecil di dekat jendela agar pembicaraan mereka lebih nyaman. Dari temp
[Kamu nggak usah buru-buru. Aku tungguin sampai selesai.]Pandangan Lintang belum beralih dari ponsel ketika pesan Satya kembali masuk. Konsentrasinya seketika buyar. Alih-alih memperhatikan penjelasan, Lintang justru sibuk menimbang keputusan apa yang akan dipilih.Dengan berat hati akhirnya Lintang memilih untuk memenuhi permintaan Satya. Ia segera merapikan alat tulis dan minta izin kepada panitia untuk menginap di luar. Diiringi tatapan ganjil El, Lintang keluar ruangan dan berjalan cepat menuju lobi. Senyum semanis madu milik Satya menyambut kedatangannya. “Sorry, Lin, aku jemput mendadak. Besok pagi habis subuh aku antar lagi sekalian ke bandara.” Lintang mengembalikan koran di tangannya lalu memesan taksi online. Lintang tersenyum hambar. Sejujurnya ia malu meninggalkan forum. Apalagi sejak kejadian pagi tadi sikap El dan Dana belum berubah. Dana lebih banyak diam dan menyendiri sementara El seolah sengaja menghindarinya. Untuk bertanya kepada mereka, ia tidak punya cukup ny
“Kalau bisa, Mas Satya minta salah satu pewarna ilegal itu untuk dibawa pulang dan kita cek kandungannya di lab.” Lintang mengusulkan setelah melihat hasil lab di dokumen yang diberikan Satya. “Ada yang aneh dengan hasil lab itu?” “Pewarna yang dibeli Mas Satya mengandung senyawa turunan azo yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Pemakaian pewarna jenis itu jelas akan mencemari lingkungan dan mematikan kehidupan di sekitar pabrik.” Kata mematikan yang diucapkan Lintang seperti peluru yang menembus kepala Satya. Ia bergidik ngeri membayangkan kerusakan akibat senyawa beracun itu. “Kalau bisa bawa satu buat sampel dan kita cek sendiri akan lebih baik. Tidak ada salahnya kita coba cari pembanding, Mas. Lab saya bisa kok, menganalisis. Biayanya nggak mahal,” lanjut Lintang. “Tapi itu ilegal dan nggak mungkin bisa keluar. Gimana caranya supaya bisa dikirim sekalian?” Satya menyandarkan tubuh di dinding sembari memikirkan jalan keluar. “Besok aku coba hubungi petugas undername impo
Wajah Dana dan El mengapung di depan mata. Keduanya seolah sedang memandangnya dengan tatapan keberatan. Kalimat-kalimat yang diucapkan El kemarin kembali berjejalan di telinga. Lintang tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tetapi hatinya mengatakan ia harus mengikuti permintaan El. “Nggak apa-apa. Tapi Mas Satya di sini saja.” Lintang meraih jemari Satya lalu mencium punggung tangannya. Sorot mata penuh tanya milik Satya menerobos rongga mata Lintang. Alih-alih membiarkan Lintang melepas pegangan tangannya dan pergi ke gedung berlogo panda itu, Satya justru menggenggam erat jemari lembut Lintang. “Beneran nggak ada apa-apa. Cuma nggak enak sama Bang El dan Mas Dana.” Akhirnya Lintang memutuskan berterus terang. “Ada yang cemburu?” Kali ini senyum menggoda tersungging di wajah Satya. Lintang mengedikkan bahu. “Nggak juga. Tapi Mas Satya di sini saja. Oke?” Lintang mempersembahkan senyum termanis demi meluluhkan hati Satya. “Okelah.” Meski masih terlihat enggan, Satya ak
Evan terdiam. Sembari membaca neraca keuangan perusahaan ia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja. “Kalau menurutmu itu solusi terbaik, lakukan saja.” Satya kembali bersuara. “Tapi di klausul kontrak, kita hanya akan mendapat pengembalian lima puluh persen dari total uang yang dibayarkan. Keuangan pabrik pasti akan terpukul.” Deretan angka berjejalan di benak Satya. Lalu satu kata mendadak muncul dan membuat kepala Satya berdenyut. Defisit.“Tapi pabrik akan lebih terpukul ketika ditinggalkan pelanggan. Mencari pelanggan bukan pekerjaan mudah, terutama rekanan kita di Eropa. Satu kali kita mengirim batik dengan kualitas di bawah standar, pasar kita berakhir saat itu juga.” Tarikan napas Satya terdengar begitu berat. “Kamu benar, Van. Semua yang sudah kita bangun selama ini bisa runtuh seketika ketika tidak bisa mempertahankan kualitas.” “Saya akan segera menghubungi undername importer kita untuk reekspor semua pewarna dan menghubungi perusahaan di Cina. Order dari Jerman biar diurus
Pak Handoko terdiam sesaat, mencoba mengorek alibi di rongga kepalanya. “Saya pikir perusahaan butuh efisiensi dan penghematan dan pewarna dari Tiongkok bisa jadi salah satu cara untuk menghemat. Kita butuh banyak biaya untuk membangun kantor pusat, Mas.” Lelaki itu berkata dengan tenang. Ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.“Sebagian dana sudah tercover asuransi, Pak. Kita memang masih perlu banyak uang, tapi bukan begitu caranya.” Nada suara Satya penuh tekanan. “Lagi pula Anda tidak membicarakan dulu dengan Evan dan saya. Mestinya urusan sepenting itu dibicarakan dulu dengan kami berdua. Minimal dengan Evan.” “Urusan pabrik, saya lebih berpengalaman dibanding Mas Evan. Saya juga tidak mungkin gegabah memutuskan tanpa mempertimbangkan dulu masak-masak.” Emosi Pak Handoko mulai tersulut. Sejak lama ia memendam gelombang di dalam hati. Di bawah perintah pimpinan dengan usia jauh lebih muda sungguh sangat tidak menyenangkan. Ia muak dengan semua itu. “Saya tahu itu. Tapi, uru