Wajah Dana dan El mengapung di depan mata. Keduanya seolah sedang memandangnya dengan tatapan keberatan. Kalimat-kalimat yang diucapkan El kemarin kembali berjejalan di telinga. Lintang tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tetapi hatinya mengatakan ia harus mengikuti permintaan El. “Nggak apa-apa. Tapi Mas Satya di sini saja.” Lintang meraih jemari Satya lalu mencium punggung tangannya. Sorot mata penuh tanya milik Satya menerobos rongga mata Lintang. Alih-alih membiarkan Lintang melepas pegangan tangannya dan pergi ke gedung berlogo panda itu, Satya justru menggenggam erat jemari lembut Lintang. “Beneran nggak ada apa-apa. Cuma nggak enak sama Bang El dan Mas Dana.” Akhirnya Lintang memutuskan berterus terang. “Ada yang cemburu?” Kali ini senyum menggoda tersungging di wajah Satya. Lintang mengedikkan bahu. “Nggak juga. Tapi Mas Satya di sini saja. Oke?” Lintang mempersembahkan senyum termanis demi meluluhkan hati Satya. “Okelah.” Meski masih terlihat enggan, Satya ak
Evan terdiam. Sembari membaca neraca keuangan perusahaan ia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja. “Kalau menurutmu itu solusi terbaik, lakukan saja.” Satya kembali bersuara. “Tapi di klausul kontrak, kita hanya akan mendapat pengembalian lima puluh persen dari total uang yang dibayarkan. Keuangan pabrik pasti akan terpukul.” Deretan angka berjejalan di benak Satya. Lalu satu kata mendadak muncul dan membuat kepala Satya berdenyut. Defisit.“Tapi pabrik akan lebih terpukul ketika ditinggalkan pelanggan. Mencari pelanggan bukan pekerjaan mudah, terutama rekanan kita di Eropa. Satu kali kita mengirim batik dengan kualitas di bawah standar, pasar kita berakhir saat itu juga.” Tarikan napas Satya terdengar begitu berat. “Kamu benar, Van. Semua yang sudah kita bangun selama ini bisa runtuh seketika ketika tidak bisa mempertahankan kualitas.” “Saya akan segera menghubungi undername importer kita untuk reekspor semua pewarna dan menghubungi perusahaan di Cina. Order dari Jerman biar diurus
Pak Handoko terdiam sesaat, mencoba mengorek alibi di rongga kepalanya. “Saya pikir perusahaan butuh efisiensi dan penghematan dan pewarna dari Tiongkok bisa jadi salah satu cara untuk menghemat. Kita butuh banyak biaya untuk membangun kantor pusat, Mas.” Lelaki itu berkata dengan tenang. Ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.“Sebagian dana sudah tercover asuransi, Pak. Kita memang masih perlu banyak uang, tapi bukan begitu caranya.” Nada suara Satya penuh tekanan. “Lagi pula Anda tidak membicarakan dulu dengan Evan dan saya. Mestinya urusan sepenting itu dibicarakan dulu dengan kami berdua. Minimal dengan Evan.” “Urusan pabrik, saya lebih berpengalaman dibanding Mas Evan. Saya juga tidak mungkin gegabah memutuskan tanpa mempertimbangkan dulu masak-masak.” Emosi Pak Handoko mulai tersulut. Sejak lama ia memendam gelombang di dalam hati. Di bawah perintah pimpinan dengan usia jauh lebih muda sungguh sangat tidak menyenangkan. Ia muak dengan semua itu. “Saya tahu itu. Tapi, uru
Ujung telunjuk Satya mengetuk-ngetuk meja. Lantas, helaan napas panjang lolos dari mulut Satya. Berat baginya bertindak tegas pada Pak Handoko karena posisinya sebagai karyawan lama. Namun, mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Evan yang berakibat fatal tentu tidak bisa dibiarkan. Satya yakin, Pak Handoko menyembunyikan sesuatu.“Iya, Van. Kukira Pak Handoko bermain di belakang kita,” ujar Satya setelah berbalik hingga tubuhnya kembali menghadap Evan. “Panggil penyidik swasta kemarin. Aku mau ketemu.” Evan mengangguk. Ia mencatat beberapa hal yang diperintahkan Satya padanya sebelum membereskan bekas makan siang mereka. “Van ….” Panggilan Satya menghentikan Evan yang hampir bangkit dari kursi sehingga ia duduk kembali seraya menatap Satya dengan sorot mata menunggu. “Kamu nggak pengen deketin Laras?” Kali ini Satya memasang wajah serius. Ia memang berharap Evan mengakhiri masa jomlo. Entah kenapa, ia merasa perlu lebih peduli pada tangan kanannya itu. “Dia kayaknya baik,” lanjut
Satya bergeming sesaat. Ia memandang Hamdan lekat-lekat dengan tatapan menelisik. Setelah sempat menoleh pada Evan, Satya mengambil foto Pak Handoko kemudian menunjukkan pada Hamdan. “Saya ingin Anda menyelidiki orang ini. Apakah ia ada hubungan dengan beberapa orang yang dulu sempat berseteru dengan mendiang ibu saya.” Satya menyebut nama dua kerabatnya. “Kenapa Anda mencurigai orang ini?” Hamdan mengambil foto Pak Handoko dan mengamatinya.“Well, baru-baru ini dia melakukan kesalahan fatal lalu mengundurkan diri. Saya kira itu aneh.” Fokus penglihatan Hamdan kembali tertuju pada Satya. “Apa dia ada masalah dengan Anda? Masalah pribadi? Selama bekerja dengan ibu Anda apa dia baik-baik saja?” “Saya tidak pernah bermasalah secara pribadi dengannya. Kalau dengan Bunda, saya kurang tahu.” Satya mengalihkan pandangan pada Evan dan memberi isyarat untuk melanjutkan menjawab pertanyaan Hamdan. “Setahu saya tidak pernah ada masalah pribadi, Mas. Selama ini semua baik-baik saja.” Evan men
Ada banyak kisah yang tak terucap oleh awan pada langit, oleh daun pada ranting.Sebagaimana rinduku yang takpernah menjelma menjadi kata.Ia memilih berdetak seiring denyut nadi dan degup jantung. ***Sejenak Satya terdiam. Ada yang berdenyar di dada setiap kali ia melihat paras Lintang. “Aku mau denger suara kamu lagi ngaji,” ujarnya kemudian. Seketika sepasang mata Lintang berpendar secerah kejora. Permintaan Satya seperti seperti tetesan embun di pagi hari. Untuk pertama kalinya Satya memintanya membaca Al Quran. Meski sering mendengar di sampingnya ketika ia membaca mushaf, Satya tidak pernah berkomentar sedikit pun. “Surah apa?” tanya Lintang penuh semangat. “Yang biasa kamu baca sebelum tidur.” “Oke. Tutup dulu teleponnya ya, Mas. Saya ambil wudu dulu.” “He-em. Tapi kamu jangan tidur sebelum surahnya selesai dibaca, lho,” ujar Satya lalu tersenyum menggoda. Lintang tersenyum malu mengingat dirinya sering tertidur saat belum selesai membaca surah Al Waqiah atau Al Mulk.
Lintang memalingkan wajah sejenak demi menyembunyikan riak yang sempat menyeruak. Ia tidak ingin Satya melihatnya nyaris menumpahkan air mata agar keinginan lelaki itu untuk mencegah kepergiannya tidak semakin kuat. “Kebetulan programnya memang di sana, Mas. Insyaallah setelah ini saya tidak akan ikut program yang jauh. Kali ini saja karena sudah terlanjur daftar sebelum menikah. Oke?” Lintang mengacungkan dua jari membentuk huruf V sembari mengembangkan senyum. Jantungnya berdetak cepat. Dalam hati ia terus berharap Satya mengikhlaskan kepergiannya. Hening sejenak. “Kamu lebih keras kepala dari Bunda,” keluh Satya kemudian. Ia kehabisan akal. Bujuk rayunya tidak mampu merobohkan benteng kokoh di hati Lintang. Sepertinya ia memang harus menepis ego dan memberi kesempatan Lintang untuk menuntaskan apa yang selama ini diidamkannya. Waktu yang berlalu satu minggu ini seperti angin yang berkesiur mencumbu dedaunan. Terkadang ia bertiup sangat kencang, tetapi takjarang embusannya sangat
Satya bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu. Ia menatap lurus ke depan hingga bayangan bunga zinnia dan cosmos kuning yang bergoyang ditiup angin di tepian pagar tertangkap matanya. Suara jangkrik dan gemericik air meningkahi detak jantungnya. “Siapa yang mencoba menikamku dari belakang?” batinnya risau. Saraf-saraf otak di kepalanya membongkar file memori dengan cepat, menyusuri setiap nama yang ada dalam lingkaran bisnis keluarga Hadikusumo, baik kolega, karyawan, maupun saudara. Hatinya sibuk bertanya, kesalahan apa yang sudah dilakukan mendiang kedua orang tuanya sehingga membangkitkan dendam di hati orang lain?“Katakan pada Hamdan untuk menyelidiki semua manajer di Hadikusumo Group dan dua pamanku itu,” putus Satya setelah terdiam sekian waktu. Lebih baik tahu dari awal daripada ia harus menanggung lebih banyak kerugian di kemudian hari. “Berikan berapa pun yang diminta Hamdan asalkan kita mendapat data yang lengkap,” lanjut Satya. Tubuhnya kini menghadap Evan yang masi