Lintang memalingkan wajah sejenak demi menyembunyikan riak yang sempat menyeruak. Ia tidak ingin Satya melihatnya nyaris menumpahkan air mata agar keinginan lelaki itu untuk mencegah kepergiannya tidak semakin kuat. “Kebetulan programnya memang di sana, Mas. Insyaallah setelah ini saya tidak akan ikut program yang jauh. Kali ini saja karena sudah terlanjur daftar sebelum menikah. Oke?” Lintang mengacungkan dua jari membentuk huruf V sembari mengembangkan senyum. Jantungnya berdetak cepat. Dalam hati ia terus berharap Satya mengikhlaskan kepergiannya. Hening sejenak. “Kamu lebih keras kepala dari Bunda,” keluh Satya kemudian. Ia kehabisan akal. Bujuk rayunya tidak mampu merobohkan benteng kokoh di hati Lintang. Sepertinya ia memang harus menepis ego dan memberi kesempatan Lintang untuk menuntaskan apa yang selama ini diidamkannya. Waktu yang berlalu satu minggu ini seperti angin yang berkesiur mencumbu dedaunan. Terkadang ia bertiup sangat kencang, tetapi takjarang embusannya sangat
Satya bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu. Ia menatap lurus ke depan hingga bayangan bunga zinnia dan cosmos kuning yang bergoyang ditiup angin di tepian pagar tertangkap matanya. Suara jangkrik dan gemericik air meningkahi detak jantungnya. “Siapa yang mencoba menikamku dari belakang?” batinnya risau. Saraf-saraf otak di kepalanya membongkar file memori dengan cepat, menyusuri setiap nama yang ada dalam lingkaran bisnis keluarga Hadikusumo, baik kolega, karyawan, maupun saudara. Hatinya sibuk bertanya, kesalahan apa yang sudah dilakukan mendiang kedua orang tuanya sehingga membangkitkan dendam di hati orang lain?“Katakan pada Hamdan untuk menyelidiki semua manajer di Hadikusumo Group dan dua pamanku itu,” putus Satya setelah terdiam sekian waktu. Lebih baik tahu dari awal daripada ia harus menanggung lebih banyak kerugian di kemudian hari. “Berikan berapa pun yang diminta Hamdan asalkan kita mendapat data yang lengkap,” lanjut Satya. Tubuhnya kini menghadap Evan yang masi
Rena terdiam sejenak. Dipandanginya wajah bingung Lintang. Lantas, selarik senyum menghias paras manisnya. “Ya aku bisa tahu kalau Dana itu sebenarnya suka sama kamu. Dan kayaknya belum move on, deh.” “Itu lagi,” batin Lintang. Ia pikir, hanya El yang punya pikiran sekonyol itu. “Nggaklah. Dia memang perhatian sama semua orang. Nggak cuma sama aku. Sama temenku juga gitu.” Lintang masih ingat kalau Dini dulu sempat baper karena perhatian dan kebaikan Dana. “Dia memang perhatian sama semua orang. Tapi mata tidak bisa bohong. Aku berani bertaruh kalau dia suka sama kamu.” “Itu cuma perasaan Kak Rena. Mas Dana masih single and available.,” sahut Lintang diikuti tawa lebar.“Kamu jangan kasih harapan semu ke aku.” Rena pura-pura cemberut. “Sudah sana, pergi. Kasihan suami kamu nunggu kelamaan. Khawatirnya disamber orang.” Rena tak mampu menyembunyikan tawa. Lintang meraih ransel lalu mencangklongnya. “Emangnya jemuran, main samber saja,” seloroh Lintang yang disambut derai tawa Rena.
“Kebiasaan kamu banyak nanya.” Satya menatap Lintang gemas lalu meraih tangan kiri perempuan itu.Meski kaget, Lintang membiarkan suaminya menggenggam jemarinya yang sedikit gemetar. Jantungnya serasa mau copot ketika Satya meletakkan tangannya di dada. “Lah, bengong lagi. Katanya mau ngaji?” Satya tersenyum menggoda melihat Lintang hanya diam. “Eh, iya,” ujar Lintang gugup sebelum akhirnya mulai membaca surah Al Waqiah. Susah payah ia menjaga agar tetap konsentrasi. Meski Satya memejamkan mata, tetap saja ulahnya membuat hati Lintang kebat-kebit. Kedua mata Satya kembali terbuka ketika Lintang mengakhiri bacaan Qurannya. Ia menatap intens istrinya sembari mengukir senyum. Tatapan dan senyum yang membuat hati Lintang meleleh seperti es krim yang dibiarkan di udara terbuka. Pesona senyum Satya benar-benar membiusnya. “Suaramu saat mengaji yang membuatku selalu ingin kembali dan tidak ingin pergi darimu.” Satya bangun lalu duduk bersila di hadapan Lintang. Akhirnya ia berkata jujur
Satya menghela napas lalu mengukir senyum. “Kemarin-kemarin, aku masih banyak mikir. Aku melakukan semua sebagiannya karena tanggung jawab sebagai suami. Tapi mulai saat ini aku melakukan semuanya dengan cinta karena hatiku sudah menjadi milikmu.” Sekian detik Lintang tercenung. Semua yang didengarnya seolah tidak nyata. Ucapan Satya seperti mantra gaib yang melempar dirinya ke dalam angan-angan. Ia kembali menjejak dunia nyata ketika bibir Satya mendarat di dahinya. Segera Lintang mencium punggung tangan Satya setelah suaminya menarik wajahnya menjauh. “Saya ….” Belum sempat Lintang melanjutkan kalimat, Satya sudah menempelkan telunjuknya di bibir Lintang. “Bisa nggak mulai sekarang kamu nggak formal-formal gitu kalau ngomong sama aku?” Satya tersenyum jenaka. “Masa ngomong sama temen bisa akrab banget tapi ngomong sama temen satu selimut malah kaku.” “Eng ….” “Jangan bilang “saya” lagi kalau ngomong sama aku. Nanti aku mogok ngomong kalau kamu masih kayak gitu,” sergah Satya ce
Durasi rekaman pembicaraan telepon Pak Handoko dengan Paklik Soeroso memang tidak lebih dari lima menit, tetapi sudah cukup membuat otak Satya seperti dihempas badai.“Rencana satu sudah dilaksanakan, Ndoro.” Suara Pak Handoko terdengar lirih. “Katanya kemarin gagal?” Kali ini suara Paklik Soeroso terdengar penuh tekanan. Dari suaranya Satya bisa membayangkan raut muka pamannya ketika berbicara. “Sudah bisa diatasi.” “Bagus.”Satya menghentikan rekaman. Ia mencoba membuka file ingatan di kepala, pekerjaan apa saja yang dilakukan Pak Handoko selama sebulan terakhir. Ingatannya melayang pada ulah Pak Handoko yang memesan pewarna dengan kandungan senyawa berbahaya. Setelah mendengar rekaman itu, Satya yakin jika ada maksud lain selain mengurangi beban biaya produksi. Namun, Pak Handoko menyebut rencana yang gagal sudah berhasil diatasi, artinya dia sudah melakukan sesuatu. “Kapan rencana kedua dijalankan, Ndoro?”
Hendrijk membuka ransel dan mengeluarkan kantung kain berwarna putih. “Oleh-oleh buatmu dari Bajawa.” Lelaki berambut pirang itu menyodorkan kantung pada Satya. “Yellow cattura.” Sepasang mata berwarna biru milik Hendrijk memendarkan cahaya. “Serius?” Satya meraih kantung dari atas meja lalu membukanya. Aroma kopi segera menyergap hidung ketika tali pengikat terbuka. “Coba saja kalau kamu tidak percaya dan rasakan sensasinya.” Pendar cahaya di mata Hendrijk semakin terang. “Kamu habiskan sebulan di Bajawa?” Satya menatap heran teman lamanya. “Tentu saja tidak. Aku ke Bajawa, Toraja, dan Wamena. Cukuplah untuk dapat beberapa karung kopi yang bisa dibawa pulang.” Hendrijk terlihat bungah dan puas. Ia sengaja datang ke Indonesia untuk menjelajah perkebunan kopi di timur Indonesia dan mencari rekanan untuk bisnis kopinya di Amsterdam, dan usahanya kali ini tidak sia-sia. Ia bisa pulang dengan biji kopi terbaik dari tanah yang menurutnya sangat diberkati ini. “Gila!” seru Satya. “Se
Sesaat pandangan Satya menerawang, lalu ia menggeleng lemah. Ia benar-benar seperti terlempar ke lubang gelap, jatuh dan terpukul. “Jangan memelihara ular kalau tidak ingin terkena bisanya. Kamu harus singkirkan Handoko secepatnya.” Helaan napas panjang keluar dari mulut Satya. “Terima kasih infonya, Hendrijk.” Satya tidak mampu lagi berkata-kata. Pikirannya mulai centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Bisa jadi yang dibicarakan Pak Handoko dalam rekaman sebenarnya bukan rencana pertama, melainkan rencana entah keberapa. “Well, mengurus perusahaan memang tidak mudah, Kawan. Ada banyak kepala dan pikiran. Ada banyak kemauan. Tapi itulah seninya.” Hendrijk tidak kehilangan optimisme. “Kamu masih muda dan pintar, pasti bisa membawa bisnis keluargamu lebih besar. Handoko hanya masalah kecil.” Lelaki Belanda itu menjentikkan jari kelingking. “Pasti mudah bagimu untuk membereskan orang itu.” Satya tersenyum getir. “Yah, teori dan kalimat-kalimat motivasi memang selalu mudah diucapkan