Langkah Lintang seketika terhenti. Dilihatnya raut muka kesal Rena. “Ya, aku --“ “Denger ya Nyonya Satya yang baik hatinya, sekali lagi kamu ngebelain ular derik itu, aku putus hubungan teman sama kamu!” sentaknya lalu kembali berjalan cepat menuju ruang tunggu meninggalkan Lintang yang sempat bengong sekian detik. “Teman-teman, kita menginap semalam di sini dan baru ke Talaud besok pagi dengan kapal pertama.” Kevin sebagai pimpinan rombongan dari WWF pusat memberi penjelasan. “Kita sudah siapkan penginapan dekat pelabuhan. Malam ini kalian bisa jalan-jalan dulu menikmati Kota Manado sebelum bekerja keras selama sebulan.” Penjelasan Kevin disambut seruan bahagia anggota tim. “Mobil yang akan membawa kita ke penginapan sudah siap.” Kevin melanjutkan penjelasan usai mengecek ponselnya. “Kita cabut sekarang.” Lelaki berperawakan sedang itu memberi isyarat dengan gerakan dagu untuk mengikuti langkahnya. Sebuah minibus berwarna abu metalik telah menunggu di parkir ketika mereka telah
Satya dan Evan berlari di belakang Pak Pardi menuju dapur di mana Mbok Darmi tergeletak tak sadarkan diri. Sigap Satya mengecek kondisi Mbok Darmi. Ia menarik napas lega ketika tidak melihat luka serius. Denyut nadi perempuan itu juga masih di ambang batas normal meski agak melemah. "Sepertinya Mbok Darmi cuma pingsan biasa. Tapi kita bawa ke rumah sakit saja, Kang. Biar kalau ada luka dalam cepat tertangani." Satya memandang wajah cemas Pak Pardi lalu memintanya menyiapkan mobil. "Biar saya saja yang siapin dan bawa mobil, Pak." Evan memegang lengan Pak Pardi yang bersiap bangkit lalu berjalan cepat menuju halaman sementara Satya menyusul di belakangnya sembari membopong tubuh Mbok Darmi. "Kang, biar semua diurus Evan. Saya mau nunggu Hamdan di sini." Satya menepuk bahu Pak Pardi. “Semoga Mbok Darmi nggak ada luka dalam yang serius.”"Nggih, Mas." Pak Pardi mengangguk sopan lalu masuk ke dalam mobil. "Titip simbok, Van," ujar Satya sebelum Evan menginjak pedal gas. Tanpa menung
Hamdan membiarkan gumaman Satya dipeluk angin malam. “Tunggu hasil penyelidikan sidik jari saya,” putus Hamdan. Ia masih berusaha merangkai keping-keping puzzle yang berhasil dikumpulkannya dan masih belum lengkap. Ia tidak ingin gegabah memberi saran dan masukan. “Jangan-jangan kebakaran tempo hari juga bagian dari rencana mereka,” ujar Satya lesu. Bola matanya memandang ke arah luar. Lalu, ingatannya kembali melayang pada peristiwa belasan tahun silam saat kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi. Apakah semua saling terkait. Mendadak kepala Satya berdenyut nyeri ketika menyadari betapa pelik masalah yang dihadapinya. “Hasil pengamatan dan penyelidikan saya tidak ada unsur kesengajaan. Begitu pula hasil penyidikan polisi. Saya kira kasus itu murni kecelakaan. Anda teledor tidak memasang fire detection.” Nada suara Hamdan berubah dingin. Ia tidak suka ada yang menyangsikan hasil pekerjaannya. Ia bukan penyidik kemarin sore. “Well, bukan aku meragukan hasil penyelidikanmu da
Rena tersenyum lebar. “Justru itu. Sengaja aku nyebur ke laut biar ditolong Dana. Kan, romantis,” ujarnya kemudian. “Ya, kalau Mas Dana mau nolong. Kalau dibiarin gimana?” “Ya, nasib. Gitu saja, nggak usah dipikir dalem-dalem. Namanya juga lagi mengkhayal, bebas aja, kan, mau gimana?” Tawa keduanya pecah berderai. Mereka menyudahi duduk di belakang jendela ketika matahari telah sempurna keluar dari peraduannya. Keduanya bergegas bergabung dengan anggota tim lainnya untuk sarapan.Usai makan pagi, akhirnya Lintang berhasil menghubungi Satya. Belum sampai Sangihe saja komunikasi mereka seperti jembatan putus. Apalagi nanti kalau sudah tiba di pulau terluar Indonesia itu. Ia harus bisa menahan rindu.“Mas Satya sakit?” tanya Lintang cemas ketika telinganya menangkap suara Satya yang terdengar lesu.“He-em.” Satya menjawab malas-malasan. “Sudah minum obat?” Lintang semakin khawatir. Ia belum pernah melihat Satya sakit dan mendengar suaranya selesu ini. “Obatnya nggak ada di rumah.”
“Khusus buat Rena dan Lintang, kalian tinggal di rumah yang berbeda dengan Dana dan El meski satu kelompok. Rumah yang kalian tempati masih satu desa. Jadi tidak masalah.”Penjelasan Kevin melegakan hati Lintang. Ia sempat khawatir jika harus serumah dengan Dana. Rupanya Kevin sudah mengaturnya sehingga mereka akan tinggal terpisah. Bukan apa-apa, ia merasa tidak nyaman jika harus serumah dengan El dan Dana. Pesan Satya untuk tidak terlalu dekat dengan Dana masih terekam jelas dalam ingatan. “Saya harap semua bisa beradaptasi dengan tim, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Jangan ada yang melanggar larangan masyarakat di sana. Jangan cari masalah.” Nada suara Kevin penuh tekanan ketika mengucapkan dua kalimat terakhir. Melanggar adat dan kebiasaan masyarakat memang bisa berakibat fatal. “Bisa dimengerti penjelasan saya?” Lelaki berkulit cokelat terang itu kembali menyapukan pandangan. “Bisa!” Serempak semua anggota tim menjawab dengan lantang. “Oke. Silakan kembali ke kamar masing
Satya tersenyum lega melihat Mbok Darmi yang terlihat segar. Ia bersyukur tidak ada luka dalam dan pagi ini sudah diizinkan pulang. Tadi setelah menelepon Lintang, ia mendapat kabar dari Pak Pardi kalau istrinya dinyatakan sehat dan tidak ada gangguan kesehatan serius. Tanpa menunggu lebih lama, Satya memacu mobil ke rumah sakit untuk menjemput keduanya karena Evan sudah pulang semalam. “Semalam kenapa, Mbok, kok, bisa pingsan?” tanya Satya setelah berada di bangsal. Mbok Darmi terdiam sebentar, seolah berusaha mengumpulkan ingatan yang terserak. “Tadi malam saya baru selesai salat Isya. Waktu keluar dari musala, ada yang membekap mulut dan hidung saya dengan sapu tangan dari belakang. Setelah itu saya nggak ingat apa-apa lagi, Mas.” Satya tersirap. Berarti penjahat itu sudah berada di dalam rumah tanpa sepengetahuan Mbok Darmi. “A-apa ada barang yang hilang, Mas?” tanya Mbok Darmi khawatir. “Nggak ada, Mbok. Cuma perpustakaan saja diobrak-abrik.” “Barang-barang ibu?” “Kamar bu
Sejejenak Evan terdiam sebelum akhirnya membuka mulut. “Yang disebut dalam rekaman?” “Iya. Kamu sudah dengar, kan? Paklik Soeroso sempat bertanya kalau rencananya gagal dan disanggah Pak Handoko?” Evan mengangguk. “Sampai sekarang saya tidak bisa menebak rencana mereka, Mas.” Lelaki bertubuh tegap itu menjawab pasrah. Sel-sel kelabu di kepala Evan seolah mengejang dan tidak mampu berpikir jernih lagi. Tekanan bertubi-tubi membuatnya oleng dan nyaris jatuh. Di satu sisi ia harus memikirkan perusahaan, di sisi lain, ia juga harus membantu Satya memecahkan teka-teki yang semakin rumit. Alih-alih memberi titik terang, rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Ndoro Soeroso justru menambah benang ruwet di kepala Evan. “Oh iya, Pak Handoko juga pernah salah mengirim pesanan Hendrijk. Kamu tidak pernah bilang padaku?” “Oh itu, sudah lama kejadiannya, Mas. Waktu itu masih ada Bu Sekar.” “Kenapa Bunda tidak memecatnya?” “Pak Handoko berjanji akan memperbaiki kinerja. Kebetulan itu pertama
Raut muka Bayu sama sekali tidak berubah meski ucapan Satya terdengar intimidatif. “Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama, Mas. Sekitar enam bulan lalu kalau tidak salah. Pesanan Tuan Rheindt dari Munchen dan Tuan Hendrijk datang hampir bersamaan dan Pak Handoko salah menulis nama pada nota pesanan. Akibatnya pesanan keduanya tertukar.” Satya menggeleng. “How come?” serunya heran. “Mungkin Pak Handoko sedang banyak pekerjaan dan keduanya meminta untuk dilayani secepat mungkin, atau mungkin ada sebab lain saya kurang tahu. Tapi namanya manusia, kadang ada salah juga. Tidak ada pekerjaan yang sempurna.” “Lalu, kenapa barang Hendrijk tidak diganti?” “Pak Handoko tidak mengatakan pada kami untuk mengganti. Saya pikir masalahnya selesai karena Tuan Rheindt bersedia menerima batik modern yang terkirim. Kebetulan batik itu cukup diminati. Beliau memesan kembali ke customer service dan sampai sekarang masih repeat order. Musim panas ini beliau memesan cukup banyak batik modern dan klasi