Flavia memilih diam. Dia merasa canggung dengan pria di sampingnya itu. Apalagi dia baru kenal. “Papamu banyak menceritakan tentang kamu.” Owen membuka suaranya. Mengisi keheningan di dalam mobil. “Oh … ya?” Flavia tersenyum. Tidak menyangka jika papanya menceritakan dirinya pada orang lain. “Iya, dia bangga anaknya sukses. Katanya tidak menyangka jika anaknya bekerja di bagian kontruksi sebuah bangunan. Padahal anaknya adalah anak perempuan.” Owen menceritakan bagaimana Papa Harry menceritakan tentang anaknya tersebut. “Papa memang tidak setuju dengan keputusanku, tetapi tidak pernah menolak sama sekali.” Flavia mengingat bagaimana dulu papanya menentangnya. Namun, bersyukur akhirnya mengizinkan dan terus mendukung. “Dia ingin kamu bahagia dengan pilihanmu. Karena itu dia membiarkan kamu.” Mengenal Pak Harry beberapa tahun cukup mengenal baik. “Iya.” Flavia mengangguk.Perjalanan mereka ke mal dihiasi dengan obrolan ringan saja. Sampai akhirnya perjalanan mereka sampai di mal.
Bian yang sedang makan seketika tersedak ketika mendengar jawaban Flavia. Flavia yang berada di meja sebelah langsung segera menoleh ketika mendengar suara tersedak. Bian pun segera menundukkan kepalanya. Takut Flavia melihatnya. Sambil menunduk Bian segera melegakan tenggorokannya. Flavia kembali pada Owen. Melanjutkan kembali obrolan mereka. “Kamu sendiri, apa punya pacar?” Gantian Flavia bertanya. “Aku tidak punya pacar.” Owen tersenyum. Jika dia punya tidak mungkin juga pergi dengan Flavia. “Kamu tidak pergi dengan pacarmu saat libur seperti ini?” tanyanya mengorek kembali cerita tentang kekasih Flavia. Flavia tidak menyangka jika Owen akan terus bertanya. “Semalam dia ada acara keluarga. Jadi aku rasa hari ini dia kelelahan.” Bian semakin dibuat tercengang. Entah kebetulan atau memang kenyataan itu seperti merujuk pada daddy-nya yang sedang ada acara keluarga. “Sepertinya dia penyayang keluarga, sampai-sampai malam minggu digunakan untuk bertemu keluarga.” Owen tersenyum. “
Pagi-pagi sekali Flavia segera berangkat. Dia malas jika sekali jika harus bertemu dengan Bian. Sampai di kantor, belum banyak yang datang. Karena itu, Flavia memilih untuk membuat coklat hangat untuk menganjal perutnya. Sekaligus agar tubuhnya lebih bersemangat lagi. Secangkir coklat hangat sudah dibuat. Flavia segera meminumnya. Perasaannya selalu tenang ketika menikmati coklat hangat. “Kamu sudah datang?” Anika yang melihat temannya sedikit terkejut. Dia tahu jika Flavia tidak pernah datang lebih awal. “Iya.” Flavia menyesap coklat yang berada di cangkir. “Kenapa kamu datang pagi-pagi?” Anika merasa heran. Karena jarang-jarang temannya itu datang ke kantor pagi-pagi jika tidak ada alasan. Seingatnya, tidak ada jadwal rapat sama sekali. “Di apartemenku ada tetangga menyebalkan. Jadi aku buru-buru pergi dari apartemen sebelum dia pergi.” Flavia menceritakan pada temannya itu. Tanpa menjelaskan detail siapa gerangan tetangga apartemennya. “Lalu kamu menumpang sarapan di sini?” A
Bian bersiap untuk pulang. Sore ini dia akan mengambil mobil ke rumah. Jadi dia ingin segera bersiap. Ketika Bian hendak pulang, Flavia juga keluar. Mereka berjalan bersama ke lift. Tidak hanya Flavia dan Bian saja yang ada di dalam lift, tetapi juga teman-teman yang lain. “Nanti kita masak apa kira-kira?” Anika menatap temannya. Rencananya, dia akan ke apartemen Flavia sore ini. “Kita masak yang simple saja. Jadi tidak perlu repot.” Flavia tersenyum. “Baiklah, bagaimana jika steak saja.” Anika memberikan ide. “Ide bagus. Kita akan makan steak malam ini.” Flavia tersenyum. Bian yang berada di belakang Flavia dan Anika hanya mendengarkan obrolan dua wanita di depannya itu. Bian yang melihat senyum Flavia ketika bercerita merasa senyum itu sangat berbeda sekali. Ada kesenangan yang dirasakan yang tersampaikan lewat senyuman itu. Namun, Bian segera menghilangkan pikirannya yang terkagum dengan Flavia. Dia harus sadar jika Flavia adalah gadis yang menggoda daddy-nya. Lift terbuka. F
Flavia tetap tenang membuka pintu rumahnya. Mengabaikan Anika yang merasa tidak enak dengan Bian. Anika pun hanya tersenyum dan berlalu ke apartemen Flavia. Flavia masih tampak tenang masuk ke apartemen. Anika pun ikut masuk ke apartemen menyusul Flavia. “Fla, kenapa tidak bilang jika yang menjadi tetanggamu adalah Pak Bian?” Anika melemparkan protesnya. “Kamu tidak tanya.” Flavia dengan enteng menjawab. Dia masuk dan menuju ke meja makan. Di sana dia meletakkan tasnya. Anika menatap malas. “Jadi Pak Bian yang kamu bilang tetangga menyebalkan.” “Iya.” Flavia menuju ke dapur. Mengeluarkan belanjaan yang dibelinya tadi di atas meja dapur. “Dia baik, kenapa bilang menyebalkan?” Anika penasaran dengan pandangan Flavia. Karena sejauh dia mengenal Bian, pria itu adalah orang yang baik. “Iya, karena dia memang menyebalkan. Selalu membuat mood-ku buruk.” Flavia kemudian mencuci tangannya. Bersiap untuk memasak. “Padahal dia selalu jadi mood buat aku jika di kantor. Pesonanya mengalahka
“Bukankah aku sangat menyebalkan?” Bian menyeringai ketika menatap Flavia. Flavia melirik malas. “Jika sudah tahu, kenapa bertanya?” Dia menyeringai. Flavia membakar daging. Dia mengabaikan Bian dan fokus dengan apa yang dilakukannya. Bian hanya tersenyum ketika melihat reaksi Flavia. “Medium well.” Bian mengatakan seberapa tingkat kematangan steak yang diinginkannya. Flavia tidak menjawab, tetapi tetap melakukan apa yang diminta Bian. Membuat daging medium well. Bian memilih diam. Membiarkan Flavia memasak. Dia memerhatikan Flavia yang tampak cantik sekali ketika memasak. Tentu saja membuatnya cukup terpesona. Sejujurnya, Flavia adalah wanita yang cukup cantik. Mungkin, jika Flavia tidak dengan daddy-nya, Bian bisa menaruh hati padanya.Akhirnya Flavia selesai membakar steak. Dia segera meletakkan steak di atas piring saji. Bian memilih membantu. Meraih piring untuk dibawa ke meja makan. Flavia membawa satu piring dan Bian membawa dua piring.“Bagaimana rasanya memiliki tetangga m
“Apa kamu sering makan siang dengan Flavia?” Mommy Shea yang sedang mengolesi cream anti aging, menoleh sejenak pada suaminya.“Tidak.” Daddy Bryan yang sedang membaca majalah pun menjawab sambil matanya tetap fokus pada majalah. “Bagus kalau begitu.” Mommy Shea masih sibuk mengoles cream ke wajahnya. Memastikan jika cream rata di wajahnya. Agar kerutan di wajahnya sedikit berkurang. Mendengar ucapan istrinya itu Daddy Bryan menurunkan majalahnya. Mengalihkan pandangan pada istrinya. “Apa kamu sedang menunjukan rasa cemburumu?” Dia tersenyum menatap sang istri. Mommy Shea yang sudah selesai segera menghampiri sang suami. Duduk tepat di samping sang suami. Tatapannya begitu teduh ketika melihat pria yang sudah dinikahinya selama tiga puluh enam tahun itu. “Banyak yang bilang pria seusiamu ini sedang mengalami puber kedua. Mereka akan tergoda dengan apa yang ada di luar sana. Jadi aku pun takut kamu akan tergoda dengan daun muda di luar sana.” Ucapan Mama Chika kala itu memang sedik
Bian berlari ke lobi. Daddy-nya tadi menghubunginya mendadak. Jadi dia harus buru-buru ke lobi agar daddy-nya tidak terlalu lama menunggu. Saat sampai di lobi, Bian melihat jika ternyata tidak hanya sang daddy di sana. Ada Papa Felix juga di sana. “Maaf lama.” Bian merasa tidak enak sekali. “Santai saja.” Papa Felix tersenyum. “Ayo kalau begitu.” Daddy Bryan segera mengajak anak dan temannya itu untuk segera pergi. Mereka bertiga pergi dengan menggunakan satu mobil. Memilih restoran yang tak jauh dari kantor. Tak mau bermacet-macetan. “Bagaimana bekerja di sini?” tanya Papa Felix menatap Bian. “Aku rasa harus banyak perubahan yang dilakukan Adion. Terlalu kuno cara-cara yang digunakan.” Bian mencibir daddy-nya yang masih tak menggunakan teknologi lebih baik untuk pembangunan sebuah proyek. “Kalau kamu bisa membuatnya lebih maju usulkan saja apa yang menjadi idemu. Siapa tahu perusahaan ini akan jauh lebih maju lagi.” Daddy Bryan justru menunggu apa yang akan dilakukan anaknya u