Indri lega pada akhirnya. Ia tersenyum lagi dan mengantar Dave keluar dari kamar. Sengaja mereka tak membawa Davin kecil karena tengah tertidur pulas. Di ruang tengah, Ali dan Shalsabila sudah menunggu mereka. Ada senyum bahagia menyambut sepasang suami istri yang tampak menciptakan senyum semringah. "Tuan, sudah siap?" tanya Ali. Ia segera meraih kunci mobilnya."Sudah. Mari kita berangkat sekarang."Indri dan Shalsabila mengantar mereka sampai di depan pagar rumah mereka. Pagar tanam yang memang sengaja dirawat sepenuh hati itu agar selalu terkenang masa-masa kedua orangtuanya masih ada."Ndri, kita masuk aja, yuk. Sekarang, keadaan masih belum benar-benar membaik. Khawatir aja anak buah Rasya mengawasi rumah ini. Seperti yang sudah-sudah."Indri mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah lagi. Saking khawatirnya, mereka mengunci semua celah. Sesekali mengintip keadaan luar sana dari balik korden putih pada jendela kaca.Tak lama setelah itu, terdengar deru mobil memasuki halaman.
"Bukan, aku bukan adiknya Mbak Indri. Aku keponakannya. Banyak yang bilang kalau kami ini mirip." Gadis itu terkekeh. "Kemarin lihat Mas Fabian pas melawat di rumah duka. Kebetulan aku kuliah di California dan tahu alamat Mas Fabian dari berbagai sumber." Gadis itu meringis kuda. "Oh ya?" Fabian merasa lucu dan membalas dengan senyuman juga. "Terus, ngapain kamu sampai di sini?""Aku dari toko buku. Dan enggak sengaja, lihat Mas Fabian di sini. Boleh, kan, kenalan? Aku di sini enggak banyak kenal orang Indo. Cuman berdua aja sama temen dan dia sekarang udah balik duluan."Fabian tersenyum lagi. Ia menatap lekat gadis berparas cantik yang mirip sekali dengan Indri itu. Lantas, mereka jalan berdua menikmati senja dan berakhir di sebuah kafe setelah Maghrib. Mengobrol banyak hal dan tentang perasaan ... pandangan pertama membawa cinta itu tumbuh kembali dengan sosok lain.Dalam gemerlap lampu jalanan, mereka berjalan hingga sampai di sebuah penginapan. "Makasih, Mas, udah ditraktir. Lai
Setelah mengatakan itu, Alma menatap ke atas dengan mata melotot. Ia memegangi dadanya dan terdengar sesak napasnya.Fabian yang panik pun lantas memanggil pembantu rumah tangga agar menelpon pihak rumah sakit untuk datang. Namun, semua sudah terlambat. Alma mengembus napas terakhir di dekat putra kesayangannya dalam keadaan membawa kekesalan. Fabian pun berteriak dengan air mata melelehi pipi. "Maaaa!" Pengumuman atas meninggalnya wanita tua itupun, lantas menggema di daerah tempat tinggal mereka. Semua berduyun-duyun untuk membantu proses pemakaman. Di atas gundukan tanah merah, lelaki berpakaian serba hitam itu masih menekan duka kepergian Ibunya. "Maafkan Bian, Ma. Belum bisa membahagiakan ataupun memberikan menantu."Fabian hanya seorang diri di sana, semua pelawat sudah pulang. Hingga mendung melambai gelap dengan aliran angin dingin yang terus merambat. Tubuhnya hampir basah kuyup, tetapi sebuah payung tiba-tiba datang menaunginya.Pria dewasa dengan mata sembab itu tersadar
Perginya istriku S2Pagi yang cerah menghangatkan dua raga yang duduk di dekat kolam renang. Dua cangkir teh hangat telah menambah kemesraan mereka meski usia sudah tak lagi muda."Ma, Pa, Davin ke kantor dulu."Pria tampan dengan setelan jas hitam itu telah siap dengan penampilan menawan, ada kacamata bening yang bertengger di atas hidung bangirnya."Hati-hati, Sayang. Mama nitip, ya?"Davin mengerutkan dahinya. Menatap Mamanya yang baru saja berdiri mendekat dan merapikan dasinya. "Nitip apa, Ma?" Indri tersenyum seraya melirik pada sang suami. "Nitip menantu. Kami sudah tak sabar melihat kamu membawa calon is ....""Halah, Mama. Itu terus yang dibahas. Davin masih ingin sendiri," balas pria itu. Dia segera cium pipi Mamanya, lalu berganti dengan Dave yang tetap santai menatap cahaya yang merambat lurus."Pa, Davin berangkat dulu." Putra pertama Dave dan Indri itu lantas berpamitan. Ia segera memasuki mobil mewahnya setelah sang sopir membukakan pintu.Sejauh perjalanan, semua tam
Davin masih terus memperhatikan sang gadis dengan tenang. Sejauh ini, gadis itu masih menunjukkan sikap sopan. Tak ada masalah baginya. Namun, sejurus itu ia punya rencana yang matang. Ada senyuman misterius yang lahir dari bibir semu merah itu. Mirip sekali dengan Papanya. Pria gagah itu terus menatap sang gadis hingga gadis sampai juga di hadapannya. Begitu saling menatap, gadis itu lantas gemetaran. Davin segera membuang wajah. Selesai dari sana, gadis itu keluar membawa debaran yang tak biasa. Lalu, ia menyandar dinding untuk menguatkan raga."Fi? Kenape, lu?" Tema Fia bertanya saat melihat sahabatnya itu seperti orang kesurupan. Sampai dua pipi chubby milik Fia ia cubit. "Duh, sakit, tau!" Fia meringis. Ia menggosok pipinya yang mendadak merah. "Habisnya, ditanyain malah melamun terus. Gua kira kesambet, lu." Alena segera menggeret tangan Fia dan mengajaknya kembali ke ruangan office girl."Len, lepasin gue!" Fia ingin berhenti. Gadis dengan kuncir kuda itu tampak lemas dan
Perginya istriku 57 S2Pria berdasi hitam itu masih memastikan setiap wajah, tampaknya ada yang baru saja datang dari belakang sana sambil berlari dan membenahi ikat rambutnya. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mendadak muncul dalam hati sang direktur utama."Hei, kamu! Sini!" Tangan Davin terangkat, ia menunjuk gadis yang berdiri paling belakang. Sementara sang gadis masih menoleh kanan kiri tak tahu apa-apa. Hingga beberapa karyawan membisik dan menoel lengannya agar cepat-cepat mendekat ke podium. "Hah, gue?" Masih celingukan, gadis itu tampak kesal.Meskipun begitu, dia tak punya pilihan. Akhirnya, ia maju dan menaiki anak tangga ringan dan berakhir di dekat Davin. Fia masih menunduk, ia tak mau sedetikpun menatap pria itu. "Karena kamu terlambat, maka dari itu kamu pulang telat nanti. Ada lemburan buat kamu. Jam delapan, meeting akan diadakan di kantor. Dan kamu, kebagian sift malam sampai selesai."Seketika, Dia ternganga mendengar penuturan pria itu. Namun, ia tak bisa apa
Fia semakin mempercepat langkah kakinya. Sungguh, meski ia seorang gadis mandiri, tetapi jika dihadapkan dengan kegelapan begini, jantungnya tak bisa berdetak tenang. Kini, gadis itu berlari melawan arah kendaraan-kendaraan yang lewat. Suara hentakan kaki berlari dari arah belakang sana pun, semakin nyata. Dalam hatinya terus berteriak meminta pertolongan pada yang Kuasa. Sesaat, tubuh Fia terlempar karena batu sandungan yang tak ia lihat. Ia memeluk pavingan dan menahan sakit akibat terjatuh. Saat kedua matanya melihat ke belakang, benar saja ada seorang pria bertopi yang semakin mendekat. Keringat sebiji jagung pun mulai merembes melalui pori-porinya, Dia berteriak meminta tolong. Baru saja, pria berjaket dan topi hitam itu hendak menyentuh Fia, tiba-tiba datang seorang lelaki berbadan tegap menghempaskan tangan pria misterius. Mereka pun akhirnya beradu tinju. Saling serang dan saling memukul. Fia yang ketakutan, kini bersembunyi di dekat tong sampah. Ia memperhatikan dua lelak
PERGINYA ISTRIKULelaki berwajah tampan dengan kemeja setengah lipat itu menutup pintu mobilnya. Sampai di rumah, ia disambut hangat oleh Indri yang tampaknya tengah merindukannya. "Sayang, bagaimana kerjaan kantor? Kamu tampak lelah sekali. Oh, ya, Papa sudah menunggumu di ruang kerja. Setelah Maghrib, beliau menunggumu di sana.""Memangnya, Papa mau bicara penting, Ma? Davin capek banget." Ada rona letih yang terlihat di wajahnya. "Baiklah, Sayang. Mama akan bicarakan sama Papa kamu. Bagaimana kalau setelah makan malam? Sepertinya, beliau juga ingin segera membahasnya denganmu.""Insyaallah, Ma. Davin ke kamar dulu, ya?" Indri mengangguk. Membiarkan putra semata wayangnya pergi dari hadapan. Indri segera menemui suaminya yang sejak tadi sudah di dalam ruangan kerja. Terdapat jejeran buku-buku penting di dalam sana, Dave sedang menyentuh salah satu.Saat pintu terbuka, pria matang itu membalik badannya. Ia tersenyum manis pada sang istri. Indri pun segera mendekat."Pa, Davin sudah