Setelah mengatakan itu, Alma menatap ke atas dengan mata melotot. Ia memegangi dadanya dan terdengar sesak napasnya.Fabian yang panik pun lantas memanggil pembantu rumah tangga agar menelpon pihak rumah sakit untuk datang. Namun, semua sudah terlambat. Alma mengembus napas terakhir di dekat putra kesayangannya dalam keadaan membawa kekesalan. Fabian pun berteriak dengan air mata melelehi pipi. "Maaaa!" Pengumuman atas meninggalnya wanita tua itupun, lantas menggema di daerah tempat tinggal mereka. Semua berduyun-duyun untuk membantu proses pemakaman. Di atas gundukan tanah merah, lelaki berpakaian serba hitam itu masih menekan duka kepergian Ibunya. "Maafkan Bian, Ma. Belum bisa membahagiakan ataupun memberikan menantu."Fabian hanya seorang diri di sana, semua pelawat sudah pulang. Hingga mendung melambai gelap dengan aliran angin dingin yang terus merambat. Tubuhnya hampir basah kuyup, tetapi sebuah payung tiba-tiba datang menaunginya.Pria dewasa dengan mata sembab itu tersadar
Perginya istriku S2Pagi yang cerah menghangatkan dua raga yang duduk di dekat kolam renang. Dua cangkir teh hangat telah menambah kemesraan mereka meski usia sudah tak lagi muda."Ma, Pa, Davin ke kantor dulu."Pria tampan dengan setelan jas hitam itu telah siap dengan penampilan menawan, ada kacamata bening yang bertengger di atas hidung bangirnya."Hati-hati, Sayang. Mama nitip, ya?"Davin mengerutkan dahinya. Menatap Mamanya yang baru saja berdiri mendekat dan merapikan dasinya. "Nitip apa, Ma?" Indri tersenyum seraya melirik pada sang suami. "Nitip menantu. Kami sudah tak sabar melihat kamu membawa calon is ....""Halah, Mama. Itu terus yang dibahas. Davin masih ingin sendiri," balas pria itu. Dia segera cium pipi Mamanya, lalu berganti dengan Dave yang tetap santai menatap cahaya yang merambat lurus."Pa, Davin berangkat dulu." Putra pertama Dave dan Indri itu lantas berpamitan. Ia segera memasuki mobil mewahnya setelah sang sopir membukakan pintu.Sejauh perjalanan, semua tam
Davin masih terus memperhatikan sang gadis dengan tenang. Sejauh ini, gadis itu masih menunjukkan sikap sopan. Tak ada masalah baginya. Namun, sejurus itu ia punya rencana yang matang. Ada senyuman misterius yang lahir dari bibir semu merah itu. Mirip sekali dengan Papanya. Pria gagah itu terus menatap sang gadis hingga gadis sampai juga di hadapannya. Begitu saling menatap, gadis itu lantas gemetaran. Davin segera membuang wajah. Selesai dari sana, gadis itu keluar membawa debaran yang tak biasa. Lalu, ia menyandar dinding untuk menguatkan raga."Fi? Kenape, lu?" Tema Fia bertanya saat melihat sahabatnya itu seperti orang kesurupan. Sampai dua pipi chubby milik Fia ia cubit. "Duh, sakit, tau!" Fia meringis. Ia menggosok pipinya yang mendadak merah. "Habisnya, ditanyain malah melamun terus. Gua kira kesambet, lu." Alena segera menggeret tangan Fia dan mengajaknya kembali ke ruangan office girl."Len, lepasin gue!" Fia ingin berhenti. Gadis dengan kuncir kuda itu tampak lemas dan
Perginya istriku 57 S2Pria berdasi hitam itu masih memastikan setiap wajah, tampaknya ada yang baru saja datang dari belakang sana sambil berlari dan membenahi ikat rambutnya. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mendadak muncul dalam hati sang direktur utama."Hei, kamu! Sini!" Tangan Davin terangkat, ia menunjuk gadis yang berdiri paling belakang. Sementara sang gadis masih menoleh kanan kiri tak tahu apa-apa. Hingga beberapa karyawan membisik dan menoel lengannya agar cepat-cepat mendekat ke podium. "Hah, gue?" Masih celingukan, gadis itu tampak kesal.Meskipun begitu, dia tak punya pilihan. Akhirnya, ia maju dan menaiki anak tangga ringan dan berakhir di dekat Davin. Fia masih menunduk, ia tak mau sedetikpun menatap pria itu. "Karena kamu terlambat, maka dari itu kamu pulang telat nanti. Ada lemburan buat kamu. Jam delapan, meeting akan diadakan di kantor. Dan kamu, kebagian sift malam sampai selesai."Seketika, Dia ternganga mendengar penuturan pria itu. Namun, ia tak bisa apa
Fia semakin mempercepat langkah kakinya. Sungguh, meski ia seorang gadis mandiri, tetapi jika dihadapkan dengan kegelapan begini, jantungnya tak bisa berdetak tenang. Kini, gadis itu berlari melawan arah kendaraan-kendaraan yang lewat. Suara hentakan kaki berlari dari arah belakang sana pun, semakin nyata. Dalam hatinya terus berteriak meminta pertolongan pada yang Kuasa. Sesaat, tubuh Fia terlempar karena batu sandungan yang tak ia lihat. Ia memeluk pavingan dan menahan sakit akibat terjatuh. Saat kedua matanya melihat ke belakang, benar saja ada seorang pria bertopi yang semakin mendekat. Keringat sebiji jagung pun mulai merembes melalui pori-porinya, Dia berteriak meminta tolong. Baru saja, pria berjaket dan topi hitam itu hendak menyentuh Fia, tiba-tiba datang seorang lelaki berbadan tegap menghempaskan tangan pria misterius. Mereka pun akhirnya beradu tinju. Saling serang dan saling memukul. Fia yang ketakutan, kini bersembunyi di dekat tong sampah. Ia memperhatikan dua lelak
PERGINYA ISTRIKULelaki berwajah tampan dengan kemeja setengah lipat itu menutup pintu mobilnya. Sampai di rumah, ia disambut hangat oleh Indri yang tampaknya tengah merindukannya. "Sayang, bagaimana kerjaan kantor? Kamu tampak lelah sekali. Oh, ya, Papa sudah menunggumu di ruang kerja. Setelah Maghrib, beliau menunggumu di sana.""Memangnya, Papa mau bicara penting, Ma? Davin capek banget." Ada rona letih yang terlihat di wajahnya. "Baiklah, Sayang. Mama akan bicarakan sama Papa kamu. Bagaimana kalau setelah makan malam? Sepertinya, beliau juga ingin segera membahasnya denganmu.""Insyaallah, Ma. Davin ke kamar dulu, ya?" Indri mengangguk. Membiarkan putra semata wayangnya pergi dari hadapan. Indri segera menemui suaminya yang sejak tadi sudah di dalam ruangan kerja. Terdapat jejeran buku-buku penting di dalam sana, Dave sedang menyentuh salah satu.Saat pintu terbuka, pria matang itu membalik badannya. Ia tersenyum manis pada sang istri. Indri pun segera mendekat."Pa, Davin sudah
Dave terkekeh. Pria berkaca mata itu menatap putranya dengan heran. Membuat dua orang di depannya bingung. Davin mengendikkan bahunya mengarah pada Indri yang masih diam. "Ada yang lucu, Pa?" tanya Davin."Heran Papa. Bisa-bisanya kamu berpikir hanya sekadar kenalan saja. Bagaimana jika dia nanti menaruh banyak harapan padamu? Kalau orang tua sudah mengenalkan putra-putri mereka, berarti kami berharap ada keseriusan di antara kalian."Davin menghela napas panjang. Lemas pundaknya mendengar penuturan Dave. "Davin rasa ... Davin masih belum mampu membimbing anak orang ke jalan yang benar, Pa."Dave kembali tertawa seraya menggeleng kepala . "Davin ... Davin." Dave berdiri lagi. Ia menepuk pundak putranya lalu keluar ruangan. "Davin, kamu ngerti maksud Papa kamu?" Kali ini, Indri yang bertanya. Melihat Davin yang terpaku menatap kosong, wanita itu mendadak ingin tertawa juga. Biar saja putranya itu mulai berpikir dewasa. Ia tak mungkin terus menerus menjadi jomlo. "Tau, ah, Ma. Davin
Gadis itu meremas jemarinya sendiri. Ia ingin sekali mencubit hidung lelaki yang tengah menopang kaki di hadapannya. Lelaki nomor satu di kantor itu tampak seperti mengejek. Fia menarik napasnya pelan-pelan. "Aa--."Baru saja membuka mulut, Fia kemudian dijejali lagi dengan ucapan Davin. "Apa susahnya tinggal terima? Gaji kamu akan naik dua kali lipat. Kamu juga akan dapat barang-barang mewah seperti tas, sepatu, gaun, ponsel, dan lain-lain."Fia masih menundukkan kepalanya. Demi sang Ibu yang kini belum juga sehat, ia terpaksa menerima tawaran Bosnya. "Ya, sudah, Pak. Saya terima.""Baru saya sebutin benda-benda itu, kamu langsung terima. Ternyata, mudah sekali buat menaklukkan wanita sepertimu."Seketika bola mata Fia membulat sempurna. Napasnya tampak naik turun karena mendengar ledekan pria sok berkuasa itu. "Bapak, jangan mempermainkan saya!" "Siapa yang mempermainkan kamu? Memang kenyataannya begitu, kan?" "Ya, tapi ...."Tangan Davin terangkat. Ia tak mau lagi mendengar apa