Share

Bab 20

Yuna merasa suasana di sekitarnya semakin lama semakin sesak. Dia mendongak dan menatap Hengky. Detik selanjutnya Yuna merasakan bahwa lelaki itu sedang emosi. Dalam hatinya juga ikut merasa sedikit terkejut.

Hengky bukan seorang lelaki yang bersedia menunjukkan emosinya. Dalam bayangan Yuna, Hengky merupakan orang yang dingin, anggun serta misterius. Dia tidak pernah melihat sosok Hengky yang seperti sekarang ini.

Detik itu juga Yuna menyadari bahwa keanehan sikap Hengky hari ini bukan karena dirinya, melainkan karena perempuan yang bernama Winda ini. Apa hubungan di antara mereka berdua?

“Pak Hengky,” sapa Martin sambil maju mendekat sekalian menyembunyikan Winda di balik punggungnya. Dengan suara tenang dia kembali berkata,

“Bu Yuna yang bicara nggak sopan dengan Kak Winda. Saya hanya minta dia minta maaf saja. Seharusnya nggak keterlaluan, kan?”

Kak Winda?

Hengky menyapu pandangannya ke arah Winda dengan perlahan. Sudut bibirnya terangkat hingga membentuk seulas senyum dingin sambil bertanya, “Memangnya kenapa kalau nggak minta maaf?”

Senyuman di bibir Martin hilang secara perlahan dan berkata, “Pak Hengky bermaksud bersikap subjektif?”

Hengky diam dan tidak mencoba menepis, dia menatap Winda dengan pandangan dingin dan juga tajam. Yuna tersenyum ketika melihat Hengky tengah melindungi dirinya. Dia sengaja bersikap mengalah dan berkata, “Hengky, sudahlah. Acara seperti ini nggak pantas untuk ribut. Biar aku yang minta maaf sama Bu Winda saja.”

Yuna sengaja melangkah ke arah Winda dengan harapan agar Hengky bisa menahannya dan kembali membelanya. Akan tetapi, Hengky hanya menatapnya dengan datar dan tidak ada niat untuk menahan aYuna.

Sebersit sorot kecewa melintas di mata perempuan itu. Namun dengan cepat dia enyahkan ekspresi tersebut dan hanya tersenyum masam pada Winda sambil berkata, “Maaf, Bu Winda. Mungkin di antara kita hanya ada kesalahpahaman kecil saja. Semoga Bu Winda nggak masukkan ke hati.”

“Nggak, aku sangat keberatan,” potong Winda langsung.

Wajah Yuna berubah kaku dan sorot matanya tampak terkejut. Akan tetapi dia tidak bisa marah besar di hadapan Hengky.

“Yu-“

“Hengky.” Winda berjalan dari belakang tubuh Martin ke hadapan Hengky. Kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menarik dasi laki-laki itu dan memaksanya menunduk.

“Apa yang kamu lakukan?! Cepat lepaskan!” seru Yuna terkejut.

Winda mengabaikan seruan perempuan itu dan menatap Hengky dalam-dalam. Wajah cantiknya terlihat marah dan penuh emosi. Dia menunjuk Yuna dan bertanya, “Katanya dia pacar kamu, kamu nggak merasa kalau kamu harus menjelaskannya padaku?”

Wajah Winda berada sangat dekat dengan wajah Hengky. Kedua bola matanya berbinar seperti permata dan memancarkan sorot yang begitu memabukkan. Karena jarak yang begitu dekat, Hengky bahkan bisa merasakan hangatnya terpaan napas Winda di wajahnya serta aroma tubuh perempuan itu.

Dalam hatinya ada gejolak panas yang sulit dijelaskan oleh Hengky. Jakunnya bergerak naik turun dan berusaha keras menahan keinginan di bagian terdalam hatinya. Akan tetapi, melihat wajah perempuan itu membuat keinginannya tersebut semakin lama semakin besar dan kuat.

Hingga akhirnya sebelum dia meledak, Hengky menarik napas dalam dan menjauhkan tubuh perempuan itu. Winda terlihat terkejut, tidak mengerti dan juga kecewa. Dia menatap Hengky dengan tatapan kosong dan mendadak merasa asing dengan sosok yang ada di hadapannya.

Hengky memiringkan tubuhnya, wajah lelaki itu tampak menggelap dan terlihat emosi di sana. Dia mengulurkan tangannya untuk merapikan dasi miliknya yang berantakan. Dengan suara dingin dia kembali berkata, “Nggak ada yang harus dijelaskan.”

Detik itu juga Winda tidak tahu dia harus menunjukkan ekspresi seperti apa. Kalimat Hengky membuat hatinya hancur berkeping-keping. Lelaki itu tidak mengelak dan juga tidak memberikan penjelasan. Lelaki itu dan Yuna tidak seperti yang Winda bayangkan, hanya Yuna yang berasumsi sendiri saja.

Dari sudut matanya Hengky melirik wajah Winda yang tampak memucat. Bibirnya menipis dan dengan suara dingin berkata, “Kita pergi.”

Dalam hati Yuna terus memikirkan ucapan Hengky. Mendengar ucapan lelaki itu membuat Yuna berdeham merespons dan buru-buru mengikuti langkah Hengky.

Martin memandangi punggung kedua orang tersebut sambil berpikir. Dia menoleh ke belakang dan mendapati wajah sedih Winda. Dengan raut perhatian dia bertanya, “Kamu kenapa? Wajahmu tampak nggak sehat. Mau aku antar istirahat?”

Sudut mata Winda tampak sedikit merah. Dia berusaha menahan tangisannya agar tidak pecah saat ini juga. Winda menggelengkan kepala dan berkata, “Nggak apa-apa, kita masuk.”

Martin menatap Winda dengan sorot khawatir sambil berkata dengan nada lembut, “Kamu beneran nggak apa-apa? Jangan memaksakan diri.”

Winda menggelengkan kepala dan memaksakan seulas senyum masam. Martin berinisiatif mengulurkan tangan ke arah Winda dan berkata, “Kalau gitu kita masuk saja.”

Winda tampak diam sejenak kemudian menyambut tangan lelaki itu. Dia menggandeng lengan Martin untuk memasuki ruangan acara. Winda menyapu pandangannya ke sekitar dan hatinya terasa sesak ketika tidak menemukan Yuna dan Hengky.

“Katanya Pak Erik dari Negara Fontana juga akan datang. Aku bawa kamu ketemu dia,” ujar Martin sambil berbisik di telinganya. Winda hanya mengangguk dan mengikuti langkah lelaki itu menuju lantai bawah. Di sana Winda melihat lantai bawah tanah yang dibangun dengan sangat lengkap. Ruangan itu terlihat seperti sebuah kelab malam.

Begitu pintu terbuka, aroma asap rokok membuat Winda refleks menutup hidungnya sambil mengerutkan kening. Cahaya lampu yang remang membuat Winda dapat melihat bahwa di ruangan itu terdapat puluhan orang yang terdiri dari lelaki dan perempuan.

Yang paling jelas terlihat adalah sosok Hengky! Lelaki itu duduk dengan posisi malas di sebuah sofa. Tangannya memegang segelas anggur merah sambil menggoyangkannya dengan pelan. Yuna duduk di sebelah lelaki itu dan tengah berbincang dengan orang bule.

Meski cahaya di sana cukup gelap, Winda tetap bisa melihat seulas senyum licik yang menghiasi bibir Yuna. Mata Winda menyapu ruangan itu sekilas dan dia melihat hanya ada satu orang bule di sana. Usianya sekitar 30 tahunan dengan rambut berwarna emas dan sedikit bergelombang. Mata lelaki itu berwarna biru dan wajahnya cukup tampan. Akan tetapi, kelakuan lelaki itu sedikit brutal.

Seharusnya lelaki itu adalah Pak Erik yang dimaksud oleh Martin. Seharusnya acara hari ini menjadikan lelaki itu sasarannya karena Hengky juga tampak duduk bersama dengan erik.

Dikarenakan suasana yang musik serta lagu yang cukup berisik, sehingga tidak tahu dengan sengaja atau tidak Martin menunduk dan berbisik di samping telinga Winda, “Kita cari tempat dan duduk.”

“Ok,” sahut Winda sambil menarik pandangannya. Dia mengikuti Martin mencari sebuah tempat di bagian sudut.

Detik itu juga Hengky mengangkat kepalanya dan memicingkan matanya dengan tajam. Dia sedang melihat ke arah Winda dan lelaki itu. Martin yang seperti merasakan tatapan tajam itu mendadak menoleh dan menyunggingkan seulas senyum miring. Matanya bertubrukan langsung dengan mata milik Hengky.

Jelas sekali Martin tengah menantangnya!

Hengky menggenggam gelas anggurnya dengan erat. Kemudian dengan satu kali tegukan dia menghabiskan cairan dalam gelas itu. Mata gelapnya berkilat dan memancarkan akan hadirnya badai.

“Bu Yuna, aku pernah melihat karyamu dan aku sangat kagum sama kamu,” kata Erik sambil mencoba untuk mengelus tangan Yuna. Matanya memancarkan sorot menggoda yang begitu jelas. Yuna menggigit bibir bawahnya dengan wajah tampa menggelap.

Dia mencoba menarik tangannya tanpa suara, tetapi ditahan oleh Erik. Bahkan lelaki itu mulai bertindak lebih berani lagi. Erik sengaja mendekatkan diri hingga menempel ke arah Yuna dan dia berkata di samping telinganya,

“Bu Yuna, ada yang pernah bilang kalau kamu cantik sekali? Kamu sangat memikat. Sejujurnya, sejak kamu masuk tadi aku sudah merasa nggak ada perempuan yang bisa menandingimu hari ini.”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status