Share

Bab 7

“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.

Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.

“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.

“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam.

Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.

“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.

“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”

Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon tersuram. Bagaimana tidak, mengingat kemarin hanya formalitas akting seperti biasa ketika Bunda Zia menghubungi selebihnya dia hanya sebagai obat nyamuk menemani Anggara berkencan. Meski tidak ada cinta diantara hubungan dadakan ini, tetap hati sangat sakit dan memilih pulang lebih dulu langsung ke hotel takut terjadi sesuatu seperti kemarin dan berakhirlah dia tertidur di ranjang hingga pagi dan dibangunkan dengan paksa.

Bahkan ia tidak tahu kapan Anggara pulang dan apa dia benar pulang, tidurnya cukup nyenyak membuat tubuhnya sedikit lebih segar dari hari sebelumnya. Tidak peduli lagi dengan Anggara meski kenyataan pertanyaan besar masih memenuhi otaknya, ada berapa pacar Anggara dan apakah dia selalu melakukan itu, apa tidak takut dengan penyakit tertular?

“Kemana lagi? pulang! atau kamu masih tinggal dan mencari preman kemarin!”

Eva melotot tajam, ucapan Anggara begitu terdengar ringan tanpa beban mengatakan buruk padanya.

“Apa yang kamu katakan, Tuan Anggara Cakra? mulut Anda seperti perlu disekolahkan. Tidakkah, Anda bisa sedikit menghargai saya?”

Eva mendesah lelah. Melihat Anggara yang santai dengan ponselnya. Seperti sangat percuma berbicara dengan pria arogan itu. “Aku sekedar bertanya, kenapa tidak membalas seperlunya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Seperti percuma berbicara!”

Anggara melirik malas. “Cepat! waktu terus berjalan, tidak ada besok. Waktuku sangat berharga, jangankan katakan pada Eyang kalau kita pulang lebih awal!” tegas Anggara. Meski tidak yakin keputusannya singkat tidak diketahui Eyang.

“Kalau Eyang tahu sendiri dan bertanya? kamu tidak lupa pengaruh besar Eyang Cakra.” jawab Eva acuh. Memutar bola matanya malas, selalu Anggara dengan keputusan sendiri tanpa berbicara baik-baik kepadanya.

Anggara terdiam mencerna. Membenarkan bahwa Eyang meski sudah berumur dan selalu di rumah. Namun, kenyataan besar bahwa ibarat mata dan telinganya selalu tahu dan dimana-mana. Anggara membenarkan dugaan Eva.

“Kamu bisa mengatakan honeymoon lain waktu.” Anggara tiba-tiba berucap kembali.

“Kalau begitu aku bersiap.” Eva segera beranjak dan mengangguk. Pulang lebih awal bukan keputusan buruk, dia juga bisa bekerja kembali dan mencari alasan nanti ia pikirkan.

“Ini juga keputusan sangat lebih baik, ini memang bukan lagi honeymoon hanya numpang tidur dan makan, dan melihat orang berkencan!” Eva bergumam dengan sindiran. Melirik Anggara yang sudah menatap tajam dengan wajah arogannya.

Tawa Anggara terdengar. Tawa menggema yang seolah mengejek Eva. “Kamu memang mengharapkan apa? bercinta? ciuman atau ….”

“Tutup mulut kamu!” Eva memotong cepat ucapan Anggara. Tatapan Anggara begitu merendah, mengingatkan kembali pada malam itu seperti wanita hina. Padahal status mereka suami istri dan semua jauh dari pernikahan pada umumnya.

***

“Aku perlu berhenti di pusat oleh-oleh.” Eva mengusap, menyeka keringat dahinya dengan tisu.

Lelah sekali, bersiap harus dengan cepat, waktu begitu singkat dan Anggara tidak sedikitpun mengeluarkan sedikit tenaganya untuk membantu. Sekedar menarik kopernya tidak laki-laki itu lakukan. Kegiatannya tidak lepas dari ponsel dan mengatakan waktu yang terus berjalan.

“Tidak, kita ….”

“Hanya sebentar. Tidak mungkin kita tidak membawa sesuatu untuk Bunda!” Eva memotong ucapan Anggara. “Haruskah aku memohon dan meminta tolong dulu?”

Eva lelah berdebat. Tenaga terkuras habis, belum ada satu suap makanan sejak tadi.

“Aku juga perlu mengganjal perutku,” guman Eva merasakan sangat lapar.

“Merepotkan! lima belas menit atau ….”

“Kalau kamu beneran sibuk aku bisa beli tiket penerbangan selanjutnya.” Eva kembali memotong ucapan Anggara dengan suara datar. Dirinya perlu makan dan membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga dan mertuanya. Masih ada tiga puluh menit lebih dan menurutnya lebih dari cukup, apalagi jarak bandara tidak jauh.

Anggara mendesah panjang. Meski begitu tetap memberhentikan mobilnya di pusat oleh-oleh terdekat.

Eva tidak berharap lagi apapun. Ia segera masuk dan mempercepat waktu yang tersisa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status