Share

Bab 8

Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.

Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.

Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.

Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan mereka. Pertanyaan menghantui Eva, apakah ia perlu menyerah sekarang. Apa tidak terlalu dini?

“Singkirkan wajah buruk kamu!” suara serak Anggara terdengar. Membuat Eva tersadar dari apa yang dilakukan. Kemudian posisi pria beralih memunggunginya.

Eva mendengus kesal. Meski sudah tidur satu ranjang tetap tidak ada perubahan yang terjadi, itu tentu terpaksa karena hanya kamar utama yang tersedia ranjang lengkapnya dan tidak ada hasil lebih baik selepas dari honeymoon yang sia-sia itu. Semua sama hanya mungkin lelah aktivitas kantor yang kedua sudah dilakukan sejak kemarin membuat Anggara tidak berdrama.

Eva segera beranjak. Meski kenyataan menampar bahwa tidak diharapkan tetap ia tidak pernah lupa bertugas menjadi istri yang baik. Menyiapkan semua kebutuhan Anggara untuk ke kantor dan bersiap, kegiatan yang menuntut Eva bangun lebih awal.

“Bik, apakah sarapan selalu dimakan oleh Mas Gara?” ucap Eva sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya dan mengusahakan satu porsi juga untuk Anggara.

Tidak pernah sekalipun sarapan pagi bersama. Eva akan mendapati Anggara di ruang kerjanya setelah bersiap dan tidak akan bisa diganggu atau mendengarkan kalimat tajamnya yang dihindari Eva untuk menjaga hatinya sendiri.

“Selalu, Bu. Bapak selalu menghabiskan,” jelas Bik Darmi Asisten rumah tangga yang baru Eva dapatkan beberapa hari lalu menjelaskan dengan lancar.

“Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Eva sedikit berharap Anggara memuji masakannya atau sekedar menilai.

Bik Darmi menggeleng. “Tidak, Bapak akan turun selepas mobil ibu keluar gerbang. Memakan dengan cepat sampai habis tanpa berbicara. Kenapa, Bu?”

Bik Darmi merasa aneh. Baru hitungan hari selama bekerja merasa rumah tangga majikan barunya terasa ganjal. Katanya pengantin baru, tapi tingkah keduanya seperti permusuhan, tidak ada kata romantis bahkan saling berbicara belum Bik Darmi lihat. Atau dirinya salah penyimpulan, pasalnya ia hanya membantu sebagian membersihkan selebihnya akan pulang mendekati petang dan semua sebagian masih Eva yang menghendelnya selepas pulang kerja.

Keduanya akan berangkat ke kantor dengan kendaraan berbeda meski arah kantor keduanya satu arah. Eva akan menyelesaikan tugasnya sebagai istri tanpa mengatakan apapun sama Anggara. Begitu ketika berangkat, pernah seketika akan berpamitan Anggara ternyata tidak di tempat dan akan di ruang kerja atau menolak uluran tangannya untuk pamit layaknya tidak ada orangh. Benar sombong entah tangannya terdapat kuman dan membuat Eva mulai malas.

“Tidak hanya penasaran, Mas Gara suka tidak. Hari ini aku akan menunggunya,” ujar Eva tiba-tiba. Ia berencana mengatakan akan pulang telat.

“Sepertinya cocok, Bu. Tidak ada sisa sedikitpun setiap ibu memasaknya.”

Eva mengangguk puas. Tidak lupa selalu berkata jangan katakan pada orang luar apa yang terjadi di rumah tangganya ketika berbicara dengan Art barunya itu. Bahkan dia begitu hati-hati memilih agar keburukan di rumah tidak sampai hingga rumah utama.

“Terima kasih, Bik, infonya.”

Eva menatap jam tangannya. Seharusnya Anggara sudah turun. Biasanya dirinya sudah berangkat untuk kali ini.

Tidak lama terdengar suara langkah kaki terburu-buru. Sekian bersama Eva juga menyimpulkan Anggara selalu tepat waktu. Kecuali pulang kerja, ia tidak tahu kapan pulang dan tidak pula bertanya pada pemilik wajah sombong dan arogan itu .

“Aku menunggu kamu, Mas Gara. Mari kita sarapan bersama,” kata Eva beranjak dari duduknya. Membuka piring Anggara dan mulai menyajikan porsi Anggar seperti sebelumnya.

“Tidak ada yang memintamu menunggu!”

“Aku sendiri yang ingin. Aku mau pamit nanti ke rumah Mama.” Eva sudah duduk kembali. Tersenyum puas melihat hidangan hasil tangannya tertata sempurna di piring terlihat menggoda.

Anggara melirik Eva melalui ekor matanya. Tidak menanggapi apapun, ia memilih segera memulai sarapan di depannya.

Eva berharap cemas menatap sodokan pertama masuk mulut Anggara. Tidak ada kalimat keluar dari mulutnya, lagi-lagi tidak dianggap. Kalaupun dianggap lontaran jawaban menyakitkan akan keluar.

Senyum tipis kembali menguatkan Eva, bahwa Anggara menggunakan setelan baju kerja pilihannya apa yang disiapkan. Kali pertama melihat pasalnya beberapa hari selalu tidak tahu kapan Anggara pulang dan tiba-tiba mendapati sudah di ranjang dengan baju tidurnya.

Keheningan meja makan terjadi, hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Kemudian keheningan kembali dipecahkan dengan suara decitan kursi. Siapa lagi kalau bukan Anggara yang lebih dulu selesai.

Masih tanpa sepatah kata Anggara pergi. Selepas menyelesaikan makanan tanpa sisa di piring dengan cepat.

Eva segera meraih gelas airnya dan meneguk hingga tandas. “Tunggu, aku boleh ke rumah Mama?” Eva segera menghampiri Anggara yang jalan sungguh sangat cepat.

“Aku akan melakukan nanti ketika pulang kantor,”. lanjutnya menunggu jawaban dari Anggara yang tidak menghentikan langkahnya sama sekali.

“Kamu mengharapkan apa? kalau mau kesana terserah. Jangan harap aku datang! aku sibuk, waktuku tidak seluang itu!” balas Anggara sebelum membuka pintu mobil.

Sakit, tentu sakit. Memang Eva berharap kedatangan bersama. Bahkan ia tidak keberatan harus menunggu menyesuaikan jadwal Anggara karena ini merupakan kunjungan pertama selepas menikah, tapi semua sirna dengan jawaban menyakitkan itu.

Eva menatap datar mobil merah sudah melaju meninggalkan halaman rumah. Tangannya tanpa sadar meremas tas kerja yang ia pegang. Meski bukan pertama dengar, tapi kali ini sangat sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status