Share

Bab 6

Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.

Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman.

“Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.

Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.

“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.

Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupun berdebat segera Eva meninggalkan Anggara.

Eva bergegas mandi cepat. Berharap, Anggara belum selesai makan dan bisa sarapan bersama. Setidaknya pagi ini Eva ingin berdamai. Namun, ketika keluar kamar semua bersih dan sepi. Tidak ada sosok Anggara, tidak pula ada sisa menu makanan untuknya.

Sungguh tega, hanya memesankan makanan untuknya tidak pria itu lakukan. Eva mendesah panjang, harapan memang sekedar harapan.

“Aku takut keluar,” gumannya mengingat kejadian semalam. Mengurungkan niatnya untuk makan di restoran dan memilih memesan makanan seperti yang Anggara sebelumnya lakukan.

Selepas makan hanya terdiam, Eva hanya menghabiskan waktu dikamar dengan ponselnya. Meski berusaha untuk sibuk keindahan diluar menarik Eva menuju balkon kamar.

Hotel yang menyajikan view yang indah. Menghadap keindahan laut yang terlihat biru. “Indah sekali, sayang ini honeymoon macam apa!”

Eva lagi-lagi merasakan dorongan untuk menikmati liburan kali ini sendiri lagi, mengharamkan Anggara tentu tidak mungkin. Namun, pengalaman semalam membuat rasa takut. Hingga terdengar Anggara masuk ke kamar hotelnya dengan terburu-buru.

“Mas Gara ….”

“Eyang sedang telepon, Sayang.” Anggara berkata manis. Memotong ucapan terkejut Eva. Seakan menunjukkan bahwa akting kembali dimulai.

Meski bukan pertama kalinya tetap Eva merasa merinding mendengarkan Anggara bersikap manis. Selalu seperti ini ketika berhadapan dengan Eyang. Benar-benar bermuka dua.

“Apakah kamu selesai bersiap? mari kita keluar.” Anggara mengecup mesra pipi Eva dengan kamera ponsel panggilan video menyorot keduanya. “Aku menunggu kamu di luar, kenapa lama!”

Eva mengangguk kikuk. Eyang terlihat jelas tersenyum senang dari layar ponsel Anggara pegang. Sangat pantas Anggara menjadi aktor ternama akan aktingnya saat ini daripada CEO.

“Eyang ….”

“Kalian lanjutkan saja, maafkan pria tua ini mengganggu kalian. Semoga bahagia, lebih lama tidak masalah,” ucap Eyang sebelum ponsel terputus. Tercetak rasa puas, apalagi rambut setengah basah milik Eva terlihat tergerai indah.

Anggara mendesah panjang ketika obrolan sepenuhnya berakhir. Menyimpan ponselnya segera.

“Cepat bereskan tampilan kamu! kita keluar.”

“Kenapa dengan tampilan, ku?” Eva membalikan dengan bertanya. Menatap tampilan tubuhnya sudah seperti biasa.

Anggara memindai tajam tampilan Eva dari atas hingga ke bawah. Tidak ada lekuk tubuh sama sekali, baju terlihat kebesaran hingga sebatas bawah lutut, rambut hanya model lurus panjang tidak lebih dari itu. Sangat jauh dari kata sempurna menurut Anggara. Dari sekian model jaman sekarang.

“Aku selalu begini. Apa kamu malu dengan penampilan ini?” Eva merapikan beberapa kali dressnya. Merasa risih dengan tatapan.

“Buruk!” Anggara mencela dengan kalimat pedas, pelan, menyakitkan dan penuh penekanan.

Eva memejamkan matanya sesaat. Lagi-lagi Anggara melontarkan kalimat pedasnya. Padahal dia tidak mengakuinya kecuali di depan keluarganya, kenapa harus sedetail ini. Tidak puaskan sebelumnya sudah menilainya begitu menyakitkan.

“Tidak perlu nangis. Cepat! sebelum Eyang meneror ku dengan panggilan teleponnya!” Anggara kembali berucap. Jari tangannya menunjukkan otot lehernya menonjol seolah semua yang terjadi semua selalu akibat ulah Eva.

“Mau kemana? aku akan seperti ini. Terserah kamu mau atau tidak!” Eva menyela cepat.

“Cepat! waktu ku tidak banyak.”

Anggara menggeram. Tanpa menjelaskan langsung melenggang pergi lebih dulu.

Eva tidak langsung keluar kamar mengejar Anggara. Dia menatap cermin menampilkan seluruh tubuhnya. Beberapa menatap tampilannya, menurutnya masih sangat sopan dari wanita kemarin yang menjadi pacar Anggara.

“Apa aku harus berpakaian seksi dulu dia baru mengakui aku cantik?” guman Eva dengan senyum miring. Kemudian menggeleng, perempuan kemarin seperti murahan menurutnya, begitu juga kurang sopan. Ia gak mau disamakan dengan penampilan seperti golongan dia.

***

“Sialan, lama sekali?” umpatan Anggara menyambut Eva yang baru saja membuka pintu samping kemudi.

“Siapa dia?” ucapnya bertanya melihat tempat yang seharusnya untuknya. Tetapi kini ada sosok yang duduk bersandar santai tanpa bersalah menatapnya acuh dan sombong.

“Bukan urusan kamu! cepat masuk!” Anggara menyela dengan ketus dan kesal.

Eva masih menatap perempuan bergaun merah muda cerah itu. Sangat berbeda dari perempuan kemarin. Meski tidak berinteraksi lama cukup kuat ingatannya mengingat perempuan kemarin. Sangat yakin kali ini beda orang. Pertanyaan muncul, berapa banyak pacar Anggara?

“Apa kamu tuli! merepotkan dan selalu merepotkan!” pekik Anggar kesal.

“Sudah aku katakan lebih baik tinggal saja, tetap saja kamu tunggu, Sayang.” Suara perempuan itu menambahkan.

Suara begitu menjadi mendayu-dayu dibuat-buat langsung memberi efek ingin mual yang Eva rasakan.

“Akan semakin merepotkan dan mengganggu kencan kita seperti tadi kalau tidak membawanya. Anggaplah dia menumpang,” kata Anggara dengan senyum dan tawa kecil.

Eva ingin sekali menampar pipi keduanya. Berapa kejamnya mulut mereka, ingin sekali rasanya menjerit dan menangis. Namun, Eva sadar ini tempat umum dan tidak mau mengotori tangannya.

“Aku mabuk kendaraan bila duduk dibelakang,” dusta Eva berbohong. Tentu sengaja ingin membuat perempuan centil itu sedikit mendapatkan oleh-oleh darinya.

“Tapi kalau kalian tidak keberatan dengan aroma begitu tidak masalah. Aku akan ke belakang.” Eva menekan ucapannya.

“Kamu ke belakang sebentar Tasya. Tidak akan lama, dari pada kita terganggu dan menjijikan,” balas Anggara.

Eva menyeringai pelan. Merasa menang meski sebenarnya hatinya sakit. Anggara selalu melibatkan perempuan lain untuk menyakiti hatinya.

“Tapi ….” Tasya tentu tidak langsung setuju.

“Nanti bisa belanja sepuasnya atau kita bermain sepuasnya. Hanya sebentar, Tasya Sayang.” Anggara menyela dan tersenyum. Senyum selalu menjadi pemikat para wanita yang menatapnya.

“Oke! ini tidak gratis!”

Tasya menghentakkan kakinya kesal. Menabrak keras pundak Eva dengan sengaja.

“Pelakor sialan,” umpat Eva tanpa bisa dicegah mengumpat untuk sekian kalinya.

Anggara mulai melajukan mobilnya. Eva berharap perjalanan tetap kondusif dan tenang ternyata salah. Dua manusia bisa melakukan apa saja membuat hatinya sakit. Meski sebenarnya berusaha untuk tidak melihat, tapi telinganya tidak tuli mendengarkan obrolan menjijikan itu.

Rayuan demi rayuan, belum lagi suara memuakkan dari wanita yang didengar bernama Tasya itu.

“Kita akan kemana?” tanya Eva tidak tahan lagi.

“Terserah aku!” Anggara menjawab dengan seringai puas di wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status